Cerpen Misteri - Gadis Senja | Nurul Handayani
Senja pertama.
Aku menyelonjorkan kakiku di teras depan. Hari ini baru saja aku pindahan dari kost lamaku. Sudah lama aku ingin pindah tapi baru kali ini niatku terlaksana. Kost lamaku cukup jauh dari kampus sehingga aku harus menghabiskan hampir lebih dari satu jam perjalanan setiap hari untuk pulang pergi ke kampus.
Meski begitu, kost baruku ini tidak lebih
baik dari yang sebelumnya. Aku harus berbagi ruangan sempit ini dengan dua
orang kawanku. Tidak betah rasanya berlama-lama di dalam sana. Aku lebih senang
seperti ini. Duduk selonjoran di teras, hanya berkaus oblong sambil kipas-kipas.
Nikmatnya…
Kampusku ini cukup dekat dengan bandara.
Aku bisa melihat pesawat terbang rendah di atas kepalaku. Pesawat-pesawat itu
sudah seperti nyamuk saja, mondar mandir setiap saat tanpa peduli padaku yang
sedang istirahat. Saat aku mendongakkan kepala, mencari pesawat terbang yang
gemuruhnya memekakkan telinga, tatapanku terpaku pada sosok di atas sana. Di
loteng kost yang berdampingan dengan tempatku. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan
jelas karena terhalang oleh rambutnya.
Senja ke-5.
Sore ini, seperti biasa aku melihat
gadis itu duduk di loteng kostnya. Rambut hitam panjangnya selalu seperti itu.
Menutupi sebagian wajahnya. Hingga sat ini aku tak tahu pasti tempat apa itu.
Siapa pula yang mengizinkanku masuk ke dalam sana? Bahkan jika aku sekedar
berdiri di depan garasi mereka pun bisa menimbulkan tanda tanya besar. Siapakah
dia? Apa hubungannya dengan penghuni kost ini? Mungkin begitulah yang akan
mereka pikirkan. Aku? Aku adalah aku. Hubunganku dengan mereka? Tidak ada. Aku
hanya tetangga baru mereka sekitar empat hari yang lalu. Kostku hanya dua langkah
dari tempat mereka tinggal.
Ngomong-ngomong soal gadis yang duduk di
loteng itu, aku selalu penasaran terhadapnya. Aku penasaran apa yang ia lakukan
di sana setiap sore. Selepas adzan Asar hingga terdengar suara orang tadarus
dari mesjid kampusku yang berarti sebentar lagi waktu Magrib tiba. Tak ada yang
istimewa memang. Menurutku ia tidak begitu cantik. Ya, karena ‘bagiku’ orang
cantik itu akan terlihat tetap cantik walau dilihat dari ujung dunia sekali
pun. Jangan protes! Sudah kutegaskan ini hanya menurut pendapatku.
Hari ini pengamatanku terhadap
aktivitasnya cukup mengalami kemajuan, meski hanya satu langkah. Ternyata ia
sedang membaca buku. Aku tak tahu secara persis apa judul buku tersebut. Lebih
tepatnya aku tak mau tahu. Tidak penting. Setelah kupikir-pikir tak ada yang
istimewa juga. Memang menurut kalian apa yang akan dilakukan oleh seseorang
yang bengong di atas loteng selain baca buku-atau pura-pura baca buku?
Sepertinya tidak ada.
Seharusnya hari ini tepat menjadi senja
ke-10 aku melihatnya termenung di atas sana. Eh, jangan salah sangka dulu! Aku
tidak pernah menghitungnya secara sengaja. Aku hanya mengikuti perhitunganku
tinggal di kost baru ini. Bukankah sepuluh hari sudah aku tinggal di sini
-bersama dua orang kawan karibku? Tapi hari ini cuaca sedang tidak bersahabat.
Hujan deras tak berhenti turun sejak siang tadi. Angin kencang menggoyahkan
pohon-pohon pisang di halaman tetanggaku. Bunyi guntur berpadu dengan gemuruh
pesawat yang menantang maut di udara. Situasi sangat kacau. Semoga dia tidak
sedang duduk di sana-doaku dalam hati.
Senja ke-19.
Aku duduk di beranda kostku lagi.
Seperti biasa, dari sana aku bisa melihatnya duduk di atas loteng sambil
membaca buku yang tak pernah sama setiap harinya. Kover buku itu selalu
berbeda-merah kuning hijau di langit yang biru-upss ngawur, hehe. Aku heran.
Sudah lama aku mengamatinya seperti ini, tapi ia tak pernah menyadari-atau
memang sengaja tidak peduli? Ah, mengapa aku seperti ini? Mengapa aku malah
memiliki kebiasaan aneh seperti dirinya-bahkan lebih aneh? Setiap sore selama
dua puluh hari terakhir -kecuali hari ke-10 dan ke-13, karena hujan- aku duduk
di sini menunggunya keluar dan ia duduk di atas sana lalu kembali masuk saat
muadzin memanggil.
Hei lihat! Ada apa dengan gadis itu?
Apakah ia menangis? Perkembangan yang luar biasa dari pengamatanku! Aah,
sepertinya bukan. Aku bahkan sudah bisa menebak cerita ini dari awal. Orang
yang suka bengong biasanya suka menangis sendiri bahkan tertawa sendiri. Cerita
ini sudah tidak menarik lagi. Mengapa harus ada adegan menangis segala sih?
Mengapa pula aku peduli?
Saat aku beranjak masuk setelah
mendengar adzan berkumandang, aku merasakan sesuatu jatuh di atas pundakku. Aku
kira ada cicak jatuh. Jujur, aku paling benci cicak. Untungnya bukan. Itu
hanyalah secuil penjelasan.
Senja ke-23.
“Aku ingin bertemu dengan dia.” Ucapku
takut-takut.
Bagaimana tidak takut? Lima pasang mata
serentak menghujamkan tatapan seramnya di mataku. Kuterka-terka arti dari
masing-masing tatapan tersebut. Sepasang mata di ujung kanan menyiratkan
kewaspadaan-hei memangnya aku ini mau maling apa? Dua pasang mata di sampingnya
menatapku tanpa berkedip, seolah ingin menelanjangiku dari ujung kaki hingga
rambutku dengan sorot tajamnya. Dua pasang mata berikutnya hanya tatapan ingin
tahu dan minta penjelasan-mau apa datang kemari? Sepasang terakhir? Uh,
sepertinya ia tidak sedang memperhatikanku. Ia malah sibuk dengan entah tablet,
pil, kapsul atau apalah namanya. Mungkin hadiah terbaru sang kekasih atau hasil
rengekan kepada maminya seperti anak kecil yang meminta mainan. Ayolah, tentu
saja aku tidak serius! Aku bahkan tidak berani memandang mereka-apalagi sampai
balas menatap sorot tajam mereka kepadaku.
“Dia siapa?” bentak yang paling ujung
kanan-yang mengira aku mau maling.
“Oh-eh aku…dia…” aku malah tergagap.
Duh bego banget sih aku. Mau ditaruh di
mana mukaku? Masak baru ditantang lima cewek aja udah KO duluan. Perlahan aku
menarik napasku dalam-dalam. Kupejamkan mataku untuk beberapa saat. Uh
memangnya sedang mengahadapi siapa aku ini? Hei, kalian pikir gampang
menghadapi lima harimau buas di kandang mereka? Ini bahkan lebih sulit dari
menghadapi lima harimau itu.
“Aku ingin bertemu dengan temanmu yang
biasa duduk di atas loteng.” Ucapku tegas.
Entah dari mana kepercayaan diriku itu
berasal. Aku bahkan bisa lebih pede dari kelima makhluk di hadapanku. Memang
harusnya seperti itu, kan?
Bulu kudukku merinding. Apakah mereka
serius? Mungkinkah mereka sengaja meyembunyikan salah seorang teman mereka? Aku
kira seharusnya ada enam orang yang tinggal di sana. Tapi aku dapat melihat
dengan jelas ekspresi lima wajah itu. Juga sorot mata mereka. Semuanya
menampakkan keheranan dan kebingungan plus mendadak ketakutan. Bukan tatapan
galak seperti ketika aku datang pertama kali tadi. Ah, ini bisa membuatku
benar-benar gila! Aku kembali membuka lipatan kertas kecil di genggamanku.
Aku menyukai senja. Aku mencintai merah
langitnya. Jangan tanya mengapa karena aku tak punya alasan untuk itu. Aku
menangis karena aku bahagia. Aku bahagia karena akhirnya ada seseorang yang
peduli padaku. Menyenangkan rasanya jika ada yang perhatian pada dirimu, bukan
begitu? Tapi, cukuplah sekedar memperhatikanku dari bawah sana. Jangan pernah
kau penasaran terhadapku, apalagi mencariku. Dan mulai saat ini, kau tak perlu
lagi menungguku-
Aku mendongakkan kepala ke loteng itu.
Lihat! Dia ada di sana. Tidak! Dia tidak sedang duduk. Dia berdiri memandangku
dari atas sana. Aku melihat senyum tergurat di bibirnya. Apa? Dia tersenyum? Oh
tidak, tidak! Aku mengucek-ngucek mataku tak percaya. Kutarik napasku
dalam-dalam dan kembali mendongak. Aku terkesiap. Tubuhku menggigil. Keringat
dingin membasahi sekujur tubuhku. Ibu, dia tidak ada!
Cerpen yang berjudul "Gadis Senja" merupakan sebuah cerita pendek kehidupan karangan dari seorang penulis yang bernama Nurul Handayani. Kamu dapat mengunjungi facebook penulis di link berikut: http://www.facebook.com/nh.dyni
Posting Komentar untuk "Cerpen Misteri - Gadis Senja | Nurul Handayani"