Cerpen Horror - The Train | Jibril
Decit suara kereta terdengar memekik di gendang telingaku. Beberapa orang terlihat turun dari mulut pintu gerbong di depanku dan beberapa lagi naik dari pintu gerbong lainnya. Aku menarik koper sesaat setelah berpamitan pada Ayah, Ibu, juga kakaku. Mereka melambaiakan tangan mengiringi langkahku saat menapaki satu persatu anak tangga kereta ini. Sungguh, ini saat-saat yang sulit. Berpisah dengan keluarga untuk beberapa lamanya.
Bisa
setahun, dua tahun, tiga tahun. Bahkan bertahun-tahun. Berat hati ini berpisah
dari keluargaku bukan karena aku tergolong anak manja yang suka merengek atau
tidak bisa hidup jauh dari mereka. Tetapi ini akan menjadi pengalaman pertamaku
yang awesome, mungkin. Kalau diriku hanya pergi lalu tinggal di kota sebelah
yang masih satu wilayah dalam provinsi, itu masih tergolong wajar, sebulan
sekali aku bisa pulang. Atau aku tinggal di pulau lain di Indonesia ini, itu
masih tidak perlu di khawatirkan, kapan aku mau aku juga bisa pulang.
Tapi
ini berbeda, aku akan hijrah ke negeri orang untuk melanjutkan pendidikan.
London. Alhamdulillah, beasiswa S1 Hubungan Internasionalku di terima. Dan aku
akan belajar di negeri Harry Potter itu sampai selesai Strata pertamaku di
sana. Di depan tangga aku membalikkan badan dan menatap dalam wajah orang-orang
yang selama ini menemaiku. Ku lemparkan senyum semangat pada mereka. Meski
hatiku ketar-ketir dan tidak menentu. Mereka tersenyum.
The
Train
Ku
masukkan koper menjorok agak kedalam di bagasi atas kereta. Lalu memilih duduk
di kursi mengharap searah dengan laju kereta. Tiga bangku masih kosong.
Syukurlah. Semoga sampai Jakarta akan begini. Aku bisa lebih nyaman. Aku orang
yang cenderung lebih suka sendiri, atau suasana tenang, karena dengan tenang
suasana hatiku juga akan demikian. Bisa kebayang ‘kan? Kalau seandainya dua
kursi di depanku dan satu kursi lagi di sebelah kiriku di tempati ibu-ibu atau
tante-tante cerewet yang suka ngerumpi. Sumpah, mungkin aku akan menderita
sepanjang perjalanan kelak. Aku tidak suka wanita cerewet.
Ku
lirik keluargaku yang masih duduk setia menatapku dari kursi tunggu itu.
kakakku melebarkan senyumnya tatkala mata kami berpautan. Dia memang cantik,
baik, dermawan, andai aku bisa memiliki hati seperti dia. Selang sedetik
seorang lelaki muda memakai pakaian kasual tampak menempati kursi di depanku.
Untuk sesaat mata kami berpandangan sejenak. Ia tersenyum padaku seiring
memasukkan ranselnya ke atas bagasi persis di sebelah koperku.
“Boleh
duduk di sini, ‘kan?” lirihnya tersenyum. Perlahan aku mengangguk. Punya hak
apa aku melarang? Pikirku dalam hati. Lelaki muda itu pun duduk di kursi di
hadapanku.
“Mau
kemana?” lanjutnya lagi.
“Jakarta!”
“Sendirian?”
lagi-lagi ia tersenyum.
“Menurutmu?”
Lelaki
itu terkekeh. Bunyi pluit panjang pertanda kereta segera berangkat. Dengan mata
agak berkaca-kaca ku tatap wajah-wajah familiar di sana. Aku melambaikan tangan
seiring laju kereta perlahan meninggalkan stasiun Bandung ini.
“Mereka
keluargamu?” tanya lelaki yang sepertinya masih berusia dua puluh tahunan itu
saat aku melambaikan tangan pada ayah, ibu dan kak Maya. Aku mengangguk.
Goyangan demi goyangan terjadi saat decitan kereta terdengar menderu. Kereta
melaju seiring meninggalkan stasiun ini. Pemandangan di sepanjang rel mulai
terlihat. Atap-atap rumah penduduk, pohon, jalan raya di seberang sana, hingga
pertokoan. Kereta semakin melaju. Sejak kali pertama aku dan pemuda itu
bertatapan mata, aku merasa ada sentuhan lembut di hati ini. Sejuk. Dan
menentramkan. Wajahnya bersih rupawan. Bibirnya tipis menawan. Rambutnya spike
dan terlihat cool. Mata kami sejenak kembali bertautan. Cesss. Lagi-lagi aku
merasa debar jantung ini semakin menjadi-jadi. Aku tidak tahu arti tatapan
matanya itu. Kembali dia tersenyum dengan tatapan matanya yang teduh.
“Mau?”
lirihnya menyodoriku sekaleng minuman berkarbonasi. Awalnya aku ragu, pemuda
itu mengangguk meyakinkan kalau itu adalah ucapan salam perkenalan. Aku belum
yakin. Takut ada udang dibalik batu.
“Apa
mukaku mirip dengan penculik?” Aku pun menerimanya di sertai senyuman.
Menghilangkan rikuh ku tatap view dari balik jendela. Rumah-rumah yang tadi
kulihat kini telah berubah menjadi hamparan padang rumput yang luas. Ceples.
Suara penutup kaleng itu terdengar jelas saat aku membukanya. Dan kacauanya
aku, saat seperempat bagian dari isinya tumpah di atas karpet. Aku panik.
Pemuda itu memberiku sapu tangannya yang berwarna biru tua.
“Pake
ini aja…” lirihnya menatapku dalam. Sumpah, aku salah tingkah jadinya.
“So-sory, celanamu jadi agak basah…” kataku melihat bagian lutut jeansnya ikut
tersiram. “It’s Okay. Never mind.”
Aku
mengelap bagian bawah kemeja yang ku pakai. Pemuda itu tersenyum melihatku yang
sepertinya kewalahan. Mata kami lagi-lagi bertautan.
Beberapa
saat kemudian seorang pramusaji datang dan meletakkan beberapa box berisi menu
makan siang di meja kami. “Terima kasih…” ucap pemuda di depanku tersenyum pada
pramusaji itu yang kemudian berlalu menuju gerbong selanjutnya. Butuh beberapa
saat kami pun terlibat dalam obrolan ringan dan akhirnya saling mengenal satu
sama lain. Tidak ku sangka pemuda yang aku kira pendiam itu ternyata tergolong
humoris. Namanya, Rashka. Usianya baru 23 tahun. Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Paramadina semester 6 tahun ini. “Kamu anaknya, lucu yah…” lirihnya
dengan nada menggoda. Dahiku mengkerut.
“Apanya
yang lucu?” tanyaku seraya mengunyah. Mata kami bertautan kesekian kalinya,
cukup lama. Rashka melihatku dengan tatapan yang hanya membuatku semakin GR.
Dia ini… Tuhan, jangan kau uji aku dengan dia, aku tidak akan sanggup. Tahu
begini aku lebih baik duduk bersama tante-tante atau ibu-ibu arisan.
“Kamu
mau kuliah, tapi badanmu masih kayak anak SMP!” lirihnya terkekeh. Sontak
darahku rasanya mendidih, kepalaku mau meledak. Kurang ajar, baru kenal sudah
menghina. Dasar pedofil. Aku menatapnya dengan wajah seperti udang di rebus. Marah.
“Memangnya
kenapa? Kalau badanku masih kecil? Hah.”
“Eith,
sabar. Bukan bermaksud menyinggungmu.” Lirih Rashka sok bijak. “Tapi, kalau di
lihat-lihat, kau memang lebih manis saat cemberut seperti sekarang ini. Aku
suka jadinya…” ia mencolek daguku.
“Apaaaaa?!”
teriakku mengejutkan beberapa penumpang lain. Tatapan orang heran langsung
menghujat kami. Aku dan Rashka berlagak cuek. Ku habiskan sisa makan siangku.
Menatapnya kesal.
“Kamu
membuat orang jadi ngeliatin kita…” seloroh Rashka padaku.
“Salah
siapa?” aku bertanya.
“Memangnya
salah ya, kalau aku suka sama kamu?”
“Ka-kamu.”
Aku berdiri lalu mengambil koperku setelah itu beranjak dari kursiku mencari
tempat lain.
“Kau
mau kemana?” tanya Rashka kecewa.
“Menjauhimu,
Tuan pedofil!” Tidak peduli dengan tatapan orang, aku berjalan mencari kursi
kosong meski aku tahu kecil kemungkinan masih akan ada yang kosong. Aku
berputar-putar membawa koper itu seiring mataku mencari tempat. Bahkan beberapa
kursi di belakang sana tampak penuh semua. Sial. Dengan wajah kesal, aku
kembali ke kursiku semula dan Rashka menyambutku dengan sejuta tawa. Keparat.
Sial. Umpatku tak henti-hentinya.
“Sepertinya
kita memang berjodoh.” Kelakarnya membuatku gatal seperti ada ratusan ulat bulu
menempel di tubuhku ini. Aku diam tidak menggubris. Ku letakkan kembali koper
ke tempat semula lalu menjatuhkan bokongku di atas kursi. Beberapa orang
melihatku tertawa, termasuk Rashka sialan itu. Mataku ku lempar menatap
jendela. Hujan turun membasahi dinding kaca dan membuat suasana dingin
menyeruak basah. Ku sematkan sweater berwarna abu-abu di tubuh ini. Hangat
seketika terasa menjalar dan memelukku. Rashka menatapku dengan mengangkat alis
kanannya. Menyebalkan.
“Mau
lebih hangat, sini duduk di sebelahku…” lirihnya menepuk kursi di sebelah
kanannya. Aku diam.
“Atau
aku yang duduk di sebelahmu.” Tukasnya hendak beranjak. Aku masih diam. Rashka
pun bangkit dan mengambil posisi seperti yang ia mau. Aku tidak peduli lagi.
Sepertinya dia akan terus menggangguku jika aku banyak komentar dan melawan.
Entah
sekedar mimpi atau ilusi, aku merasa ada sebuah kecupan basah mendarat di
bibirku ini, cukup lama. Sontak aku terbangun dan melihat Rashka yang ternyata
terlelap dalam tidurnya di sebelahku. Ahh, aku kembali berbaring. Tanpa sengaja
aku melihat bayang-bayang wajah Rashka yang tersenyum dan tampak jelas dari
jendela kaca kereta ini. Anjrrit. Jadi benar, dia menciumku. Sontak aku
berbalik dan sempat aku melihat dia pura-pura terlelap.
“Bangun!”
lirihku mencubit pipinya. Dia tidak bergeming.
“Bangun…
atau aku akan menyirammu…” kelakarku kesal. Rashka malah membalikkan badannya.
Menguap. Berkali-kali aku tidak juga berhasil membuatnya menyerah. Aku
memutuskan pindah kursi bekas tempat dimana Raskha duduk. Kereta semakin
kencang. Hujan di luar masih menderu. Warna gelap langit terasa menggelapkan
hati ini. Sesaat aku masih teringat dengan keluargaku, kenapa perasaanku jadi
nggak enak. Kepirikan terus sama ibu.
Di
Stasiun Bekasi, Rashka banyak berceloteh ria tentang dirinya meski aku tidak
meminta. Katanya, aku mirip sekali dengan mantannya dulu. Mendengar penuturan
itu aku jadi shock. Bisa-bisanya dia. Dan dan pacarnya sempat pacaran dua
tahun. Lalu putus karena hubungan itu tidak mendapat tempat. Rashka yang kecewa
akhirnya memutuskan hijrah ke Jakarta, dia ingin melupakan masa lalu dengan
melanjutkan kuliahnya. Tapi, semenjak dia bertemu denganku, kembali dia
teringat masa lalunya. Aku jadi kurang enak dengan semua ucapannya itu. Gerogi.
“Terus,
pacarmu sekarang, di mana?” tanyaku yang entah kenapa mau menanggapi ceritanya.
“Dia sudah meninggal. Setahun yang lalu…”
“Ohh..”
lirihku bersungut-sungut “ka-kalau boleh tahu meninggalnya karena apa?”
“Nanti
kau juga akan tahu..” lirihnya melempar pandangan keluar.
“Ma-maksudmu?”
tanyaku kurang mengerti.
“Aku
tidak bisa cerita, nanti kamu takut lagi.”
“Ahh,
kenapa aku harus takut. Aku bukan pengecut.” Rashka mendesah lalu menatap mataku
dalam. Iapun berbicara lirih.
“Dia
meninggal karena kecelakaan saat menaiki kereta ini. Kereta yang sama. Jam yang
sama. Suasana yang sama. Dan…”
“Apa?!”
tanyaku menyentak.
“Katanya
nggak takut…” ledeknya mengedipkan mata padaku. Ich, menyebalkan sekali orang
ini. Dia pikir aku ini abnormal apa?
“I
Love You. Forever. On this place. The Train.” Lirihnya lalu disusul mencium
keningku. Sontak aku naik pitam dan kesal. Rashka berani-beraninya mencium
keningku di depan umum. Di-dia pikir aku siapa? Hah! Mereka yang melihatku di
cium pedofil itu hanya geleng-geleng kepala. Wajahku memerah karena malu. Aku
mengumpatnya dengan sumpah serapah. Tiba-tiba…
Braaaaakkkk!
Sontak tubuhku membentur Rashka saat kereta ini berguncang yang sepertinya
menabrak sesuatu. Aku dan semua penumpang termasuk Rashka tersungkur. Suara
ribut seketika riuh bak lebah keluar dari sarangnya. Banyak orang terjepit
kursi dan tertimpa tas dan koper. Kaca-kaca jendela pecah. Kereta terus melaju
dan menabrak benda keras di sepanjang rel beberapa menit lamanya. Darah
mengalir dimana-mana.
Air
hujan masuk kedalam kereta dan mengguyur tubuhku ketika kaca jendela di
sebelahku pecah dan sempat melukaiku. Rashka pun memelukku erat, dia
menyempatkan memasukkan sebuah kertas kedalam kantong kemejaku. Aku terduduk di
sebelah kursi dalam pelukannya itu. Lambat laun kepalaku rasanya pusing. Darah
berbau amis mengucur dari keningku. Semua wajah terlihat panik. Aku juga panik.
Kepalaku semakin pusing. Gelap.
“Rian…”
lirih suara perempuan yang ku kenal di telinga kiriku. Mataku perlahan terbuka
seiring cahaya lampu menyorot silau. Aku mengerjap beberapa kali. Ku lihat ibu,
ayah dan kakakku berdiri mengelilingiku di sebuah ruangan bercat warna biru.
“Kamu
sudah sadar sayang…” tukas ibu tersenyum seiring air matanya menetes. “Ibu,
ak-aku dimana?”
“Kamu
di rumah sakit, dek.” sambung kakakku tersenyum. Ayah perlahan mendekat dan
mengecup keningku. Begitu ibu dan juga kakakku.
“Cuma
kamu yang selamat!” sambung ayah membuat mataku membulat.
“Yang
lainnya?” tanyaku kaget. Ayah menggelengkan kepalanya pelan. Shock. Bagaimana
dengan Rashka? Kenapa aku jadi kepikiran sama dia? Rashka! Kenangan itu datang
menyelubungi hati dan pikiranku. Perjalan singkat yang ku lalui bersamanya
perlahan terasa membekas di dalam ingatanku. Candanya. Senyumnya. Parasnya. Perawakannya.
Ahh, entahlah. Yang jelas sekarang aku kehilangan dia.
Pemuda
yang menjadi teman perjalananku di kereta itu. Meski aku tidak suka saat dia
banyak menggodaku dan menganggap aku adalah kekasihnya dulu, tetapi ada
beberapa kejadian yang membuatku mengingat selalu wajahnya. Saat dia memberiku
sekaleng minuman, saat dia maaf mencium keningku, saat dia memberikan jaketnya
guna menghangatkan badanku walau aku telah memakai sweater, dan saat dia
menjagaku dengan memeluk agar aku tidak tertimpa serpihan kaca. Meski singkat.
Tapi kejadian itu terasa begitu melekat. Terendap indah di hati.
Seminggu
berlalu aku tersadar Rashka pernah menyelipkan sesatu di dalam kantong kemejaku
waktu itu. Aku sempat mengambil dan menaruhnya di dalam laci meja belajarku.
Dengan menggunakan kursi roda karena aku masih dalam masa perawatan, aku
mengambil kertas itu dan membawanya ke taman. Lalu membacanya di sana.
‘Bandung,
12 Juni 2012’ sontak aku terkejut. Kejadian seminggu yang lewat adalah tanggah
05 Februari 2013. Karena penasaran aku memutuskan membacanya.
‘Hai,
Rian! Kau pasti sekarang sudah sehat ‘kan? Aku tidak tahu kenapa kamu lupa sama
aku akhir-akhir ini. Dan sepertinya kau memang lupa kalau kita pernah menjalin
hubungan waktu itu. Setahun yang lalu. Aku maklum, kedua orang tua kita tidak
bisa menerima semua ini. Bahkan semesta pun demikian. Semuanya. Karena kita
memang tidak seharusnya bersama. Tapi aku cinta. Aku suka dan sayang sama kamu.
Lalu, orang yang itu sekarang tidak mengirimiku doa, tidak pernah menabur
bunga, kemana dia? Apa cintanya mati setelah aku pergi selamanya?
Rian!
Aku selalu menantimu. Menunggumu. Bahkan di dalam kereta itu, aku rela mati
agar kamu selamat dan tetap hidup bersama keluargamu. Tapi sekarang, kau memang
berubah. Kau sudah melupakanku. Kenapa? Kalau aku rela mati karenamu, maka
sudah seharunya kau juga rela mati karenaku. Karena kita berjanji waktu itu,
untuk terus bersama. Sekarang, aku menunggumu, Rian! Datanglah untukku.
Kekasihmu, Rashka.’
Aneh.
Benar-benar aneh, kenapa ini semua terasa aneh. Aku melipat kertas aneh itu dan
membuangnya kedalam tong sampah. Rashka menulis surat di tujukan atas nama Rian
tahun lalu. Perasaan ini semakin tidak karuan jika mengingat kejadian itu.
Berarti, Rashka itu adalah arwah gentayangan? Ahh, apa dia menganggap aku ini
Rian kekasih anehnya itu? Atau jangan-jangan surat itu memang untuk Riannya
Rashka? Entahlah. Tapi aku sudah membuang surat itu. Aku lega. Semoga Rashka
tidak menggangguku lagi.
Tin….tin…tin…
Sontak aku terkejut saat sebuah mobil mewah berusaha membanting stir demi
menghindariku yang tanpa kusadari ternyata aku berada di tengah jalan raya. Aku
panik dan berusaha mengayuh roda ini dengan cepat. Braaaak. Bagian belakang
mobil itu sempat mengenai kursi rodaku dan aku pun tersungkur. Aku tergeletak
tak berdaya. Badanku rasanya sakit semua. Mataku terbelalak lebar saat mobil
datang dari arah lain kemudian melintas lalu ban kanan depan mobil itu melindas
kepalaku. Gletak. Semua terasa gelap.
Cerpen yang berjudul "The Train" merupakan sebuah cerita rakyat karangan dari seorang penulis yang bernama Jibril.
Posting Komentar untuk "Cerpen Horror - The Train | Jibril"