Cerpen Inspiratif - Sepasang Teratai Muda | Puspita Sandra Dewi
Sepasang Teratai Muda - Puspita Sandra Dewi
Indonesia adalah negara sedang berkembang, dimana masih banyak terdapat kekayaan alam yang belum dapat diungkap keberadaannya. Juga kota-kota besar yang katanya di sana berkumpul semua orang-orang berjas dan berdasi, juga bertabur berbagai fasilitas mewah kehidupan, seperti Mall, Hotel, Perumahan, Restoran, Taman Hiburan, Diskotik, dan masih banyak yang lainnya.
Jakarta adalah Ibu kota dari Indonesia
sendiri. Yang katanya, kota dimana pusat pemerintahan, politik, korupsi, dan
kemewahan ada di dalamnya, termasuk juga kriminalitas dan terutama kemiskinan
pastinya.
Di tengah-tengah kota Metropolitan yang
sangat sibuk dan dibangga-banggakan itu, ternyata masih ada tinggal jutaan
orang-orang miskin bahkan di bawah kategori miskin. Dan di sana hiduplah
sepasang bersaudara Ayu, yang masih berumur 10 tahun, dan adiknya Neil, yang
berumur 7 tahun.
Mereka berdua ditinggal mati kedua
orangtuanya saat Ayu masih berumur 8 tahun. Yang mereka tahu orangtua mereka
meninggal karena sakit keras. Kini mereka tinggal di tepi jalanan. Gubuk kecil
peninggalan orangtua yang ada di kampung kumuh mereka, tempo hari sudah
diratakan oleh orang-orang berjas dan berdasi yang tidak bertanggungjawab. Yang
mereka dengar dari orang-orang sekitar, katanya tanah itu akan dijadikan
perluasan untuk pembangunan sebuah pusat perbelanjaan. Lagi-lagi generasi
bangsa seperti mereka harus disingkirkan oleh orang-orang berjas yang begitu tergiur
dengan lembaran rupiah.
Tapi hal itu tidak membuat Ayu dan Neil
cengeng. Mereka terus berusaha dan bekerja keras untuk mengisi sejengkal perut
lapar mereka. Dari pagi hingga sore mereka harus menapaki kota Metropolitan itu
untuk mencari botol-botol minuman bekas dan dijual pada bandar pemulung. Sehari
mungkin mereka hanya mendapatkan uang sebesar sepuluh hingga lima belas ribu
rupiah untuk 1 kilogram botol minuman yang sudah susah payah mereka kumpulkan.
Tapi mereka tidak pernah bersungut-sungut. Uang yang mereka dapat mereka
belikan untuk satu bungkus nasi dan satu plastik kecil air minum, dan mereka
bagi berdua. Ketika malam tiba, mereka hanya tidur di pinggir jalan beralaskan
aspal. Tubuh mereka hanya dibalut sepasang baju kumel. Dinginnya malam yang
menusuk dan mencabik tiap lapisan kulit mereka, tidak lagi mereka hiraukan.
Mereka hanya saling berpelukan satu sama lain ketika angin malam sudah semakin
menusuk ke lapisan kulit terdalam mereka.
Suatu sore di tengah kerlip lampu
jalanan dan mobil mewah yang lalu lalang, Ayu dan Neil duduk di pinggiran jalan
untuk memakan satu bungkus nasi yang mereka beli dari hasil memulung sejak pagi
hari.
“Kakak! Ayo cepat dibuka! Aku sudah
lapar!!”
“Iya! Iya! Ini juga lagi dibuka!” kata
Ayu sambil ligat membuka karet yang mengikat nasi bungkus itu.
Setelah bungkusan nasi terbuka, Ayu
meletakkannya di antara mereka berdua lalu berdoa dan mengucapkan syukur atas
apa yang mereka dapatkan hari itu. Setelah selesai berdoa, segera mereka
mencuci sedikit tangan kanan mereka dan mulai menyuapi nasi ke dalam mulut
mereka. Tapi tiba-tiba datang seorang nenek tua renta dan bungkuk menghampiri
mereka.
“Nak?” kata nenek itu dengan suara yang
gemetar. Segera Ayu dan Neil menghentikan rayap tangan mereka pada nasi bungkus
itu.
“Ada apa, nek?” tanya Ayu pada nenek
itu.
“Anu?.. Nenek lapar, sudah dua hari
nenek belum makan apa-apa..”
Sejenak Ayu menatap nasi bungkus itu,
kemudian tanpa ragu ia berkata..
“Kalau begitu, nenek makan saja nasi
kami ini. Tadi kami sudah makan beberapa suap, kok?!” kata Ayu, sambil
mendekatkan nasi bungkus itu pada nenek tua itu.
“Lagian kami sudah kenyang kok, nek!”
sambung Neil.
“Aduh! Terimakasih banyak ya, nak?!”
kata nenek tua itu sambil duduk di hadapan nasi bungkus itu dan mulai menyuapi
nasi dengan lahap ke dalam mulutnya.
Ayu dan Neil hanya melihat nenek tua itu
makan. Meski sebenarnya mereka masih sangat lapar. Tapi kemurahan hati dan rasa
belas kasihan mereka, membuat mereka tidak enggan dan tidak menyesal memberikan
nasi itu pada nenek tua renta dan bungkuk itu.
Beberapa saat kemudian nenek tua renta
itu sudah membersihkan lembar kertas dari semua butir nasi.
“Alhamdulillah! Terimakasih banyak ya,
nak? Kalau tidak karena kemurahan hati kalian, nenek pasti sudah mati
kelaparan!”
“Kami senang bisa membantu nenek!” jawab
Ayu dengan senyum.
Kemudian nenek itu membuka ikatan kain
yang dibawanya, lalu diambilnya sehelai kain panjang yang terlihat masih bagus.
“Ini nenek berikan untuk kalian. Anggap
saja sebagai rasa terimakasih nenek.”
“Tidak perlu, nek! Kami iklas, kok!”
jawab Ayu.
“Tolong terimalah! Nenek akan merasa
sangat menyesal jika kalian tidak mau manerimanya. Lagipula nenek masih punya
satu lagi!” kata nenek itu sambil menyerahkan kain panjang itu ke tangan Ayu.
“Kalau begitu terima kasih banyak ya,
nek?!”
“Sama-sama!” ucap nenek itu dengan
senyum dan mulai beranjak dari situ, meninggalkan Ayu dan Neil.
Sejenak Neil menatap lembar kertas yang
telah bersih itu.
“Kak? Aku masih lapar…”
“Kakak juga lapar. Tapi kita seharusnya
bersyukur, karena kita masih bisa makan hari ini, meski hanya beberapa suap.
Sedangkan nenek itu sudah dua hari belum makan, kita tidak tahu apakah besok
dia akan dapat makan atau tidak?”
“Kakak benar!?”
“Begini saja! Kita tidur sekarang supaya
laparnya tidak terasa!”
“Emm.. Iya.” angguk Neil dengan senyum.
Lalu Ayu membentangkan kain panjang
pemberian nenek tua itu. Setelah itu mereka berdua merebahkan tubuhnya di atas
kain panjang itu. Lelah tubuh mereka, membuat mereka semakin cepat terlelap,
keributan lalu lintas tak lagi mengganggu tidur mereka. Hembusan angin malam
yang merobek pori-pori kulit mereka, membuat mereka semakin berpeluk erat
antara satu dengan yang lainnya, setidaknya hal itu dapat menghangatkan sedikit
rasa dingin pada kulit mereka.
& & &
Sore itu, seperti biasa Ayu dan Neil
mencari tepi jalan yang aman untuk tempat mereka beristirahat dan menikmati
sebungkus nasi hasil jerih payah mereka satu harian.
Setelah beberapa saat mencari, akhirnya
Ayu menemukan tempat yang nyaman dan aman. Tapi mereka harus menyeberangi jalan
raya. Dengan hati-hati Ayu menggandeng tangan adiknya untuk mulai melangkah
menyebrangi jalan raya. Tapi dari kejauhan Neil melihat mobil mini bus melaju
dengan kencang. Sontak ia langsung menarik tangan Ayu ke pinggir, tapi
sayangnya nasi itu terjatuh dan mobil mini bus itu menggilas nasi mereka.
Dengan sedih Ayu melangkah hati-hati
untuk mengambil nasi bungkus yang sudah tergilas itu, dan dibawanya ke pinggir
jalan.
“Yah kak?! Nasinya sudah kotor?!” ucap
Neil dengan sedih.
“Maaf ya, Neil? Kakak tidak hati-hati.”
Kemudian digandengnya kembali tangan
Neil sambil memegang nasi bungkus itu. Dan dengan hati-hati mereka mulai
menyeberang, dan akhirnya sampai pada tepian jalan yang ada di seberang.
Kemudian duduklah sepasang bersaudara
itu, sambil Ayu meletakkan nasi bungkus kotor itu di antara mereka. Dengan
segera Ayu mencubili butir nasi kotor dan membuangnya, Neil pun turut membantu.
Setelah dibersihkan, ternyata hampir habis setengah dari porsi yang sebelumnya.
Yang tadinya cukup untuk dibagi dua, kini hanya cukup untuk satu orang saja.
“Sudah! Kamu saja yang makan?! Kakak
tidak lapar, kok?!” kata Ayu menyerahkan nasi itu pada Neil. Tapi Neil yang
tahu kalau Ayu sangat lapar, segera membagi dua nasi itu lalu meletakkannya di
antara mereka.
“Kakak? Kakak juga harus makan! Kita
cuma hidup berdua, apapun yang kita miliki harus dibagi dua. Lagian kalau kakak
sakit terus pergi meninggalkan Neil… Neil akan tinggal dengan siapa lagi?”
Ayu sangat terharu dengan ucapan adiknya
itu.
“Kalau begitu… Kita makan sama-sama,
ya?!”
Setelah mereka selesai makan, mereka
mencuci sedikit tangan kanan mereka dengan sebungkus kecil air minum yang tadi
dipegang oleh Neil, kemudian mereka berbagi air minum itu. Setelah itu mereka
membaringkan tubuh mereka di atas dinginnya aspal tepi jalanan dan mereka
menyelimuti tubuh mereka dengan kain panjang itu.
Esok pagi sekitar jam empat pagi-pagi
buta, mereka sudah bangun dari tidur mereka. Segera Ayu melipat dua kain
panjang itu dan melilitkannya pada lehernya, kemudian mereka mulai berjalan
menyusuri tepi jalanan untuk mulai mengumpulkan botol minuman bekas. Sesekali
mereka berpencar untuk bisa mengumpulkan lebih banyak botol minuman bekas.
Matahari mulai meninggi tepat di atas
kepala mereka. Teriknya matahari yang membakar kulit mereka dan panasnya aspal
jalanan yang membakar telapak kaki mereka, tak menyusutkan semangat mereka
untuk terus mengumpulkan botol-botol minuman bekas. Tapi ganasnya sinar
manatahari membuat mereka haus.
“Kakak, aku haus?” ucap Neil sambil
menatap kakaknya.
“Kakak juga haus.. Begini saja! Kita
mengamen sebentar, mana tahu ada orang yang berbaik hati memberikan kita
beberapa recehan?!” Usul Ayu pada Neil.
“Ya! Ya! Aku setuju?!”
Segera Ayu dan Neil berjalan mencari
perempatan jalan yang terdekat, kemudian meletakkan karung tempat botol bekas
mereka di pinggiran jalan. Ketika lampu merah, Ayu dan Neil turun ke jalanan
dan mendatangi satu per satu kendaraan beroda empat sambil bernyanyi dan
bertepuk tangan. Tapi tak satu pun dari mereka yang mau memberikan recehan.
Lampu merah berikutnya, mereka kembali
turun ke jalanan. Mereka menghampiri sebuah mobil mewah, kemudian bernyanyi
sambil bertepuk tangan.
“Indonesia… tanah airku… Tanah tumpah
darahku… Di sanalah aku berdiri.. Jadi pandu ibuku…” Ayu dan Neil bernyanyi
dengan riang.
Kemudian pengemudi mobil itu membuka
kacanya…
“Hehh!! Bisa diem gak sich loe?!! Loe
nyanyi lagu apaan sich?!! Kampungan banget lagu loe!! Emang loe pikir ini tujuh
belasan apa?!!! Udah! Udah! Pigi loe dari mobil gue! Ntar lecet lagi!” bentak
pemudi yang mengendarai mobil mewah itu, seraya menutup kembali kaca mobilnya.
Segera Ayu dan Neil meninggalkan mobil
itu. Tapi kemudian ada seseorang wanita yang mengendarai sepeda motor memanggil
mereka. Segera mereka menghampiri wanita itu.
“Ada yang bisa kami bantu, buk?” tanya
Ayu.
“Ah, tidak?! Ini ibuk kasih sedikit uang
untuk kalian?!” kata wanita itu sambil menyerahkan selembar uang limaribu.
“Tapi buk, kami tidak bisa menerimanya.
Kami tidak melakukan apa-apa untuk ibuk?!”
“Ada kok? Dari tadi ibuk mendengarkan
nyanyian kalian?! Ibuk senang sekali masih ada anak-anak seperti kalian yang
mau menyanyikan lagu-lagu nasional. Jadi diterima, ya?!” kata wanita itu sambil
menyodorkan kembali uang tersebut.
“Terimakasih banyak ya, buk?!” kata Ayu
dengan wajah yang gembira sambil menerima uang itu.
Segera mereka pergi meninggalkan jalan
raya dan menuju ke tepi jalan tempat mereka meletakkan karung mereka. Segera
Ayu mengangkat karung itu dan menggandeng tangan Neil untuk mencari warung
kecil.
Setelah menemukan warung, segera Ayu
membeli dua buah aqua gelas, lalu membaginya pada Neil kemudian mereka
meminumnya.
“Kakak… Neil lapar.”
“Gimana kalau kita beli kue basah tiga
bungkus dan dua aqua gelas lagi?!”
“Yaa?!” ucap Neil dengan semangat.
Segera Ayu menghabiskan sisa uang itu
untuk membeli tiga bungkus kue basah seharga seribu rupiah dan dua aqua gelas
seharga limaratus rupiah. Lalu segera Ayu memberikan sebungkus roti pada Neil
dan sebungkus lagi untuknya dan satu bungkus lagi dibaginya dua. Lalu dibaginya
satu aqua gelas pada adiknya. Dan segera mereka memakannya dengan lahap.
“Kenyang!!” ucap Neil.
“Ya sudah, ayo kita lanjut nyari botol
minuman?!”
“Ayo! Kalau sudah kenyang begini,
rasanya mencari botol minuman bekas sampai besok pun, Neil tetap semangat?!”
Mereka kembali menyusuri tepi jalanan,
tak lupa juga mereka memasukkan botol aqua gelas milik mereka tadi. Haripun
semakin sore, Ayu dan Neil segera pergi menuju tempat penyerahan barang-barang
bekas yang selalu mereka datangi.
Tapi setibanya di sana alangkah
terkejutnya mereka melihat tempat itu bagai diamuk angin topan. Semua tempat
yang terbuat dari tepas-tepas sudah dihancurkan dengan mobil-mobil berat, dan
semua barang-barang bekas diangkat dengan mobil pengkeruk dan dipindah ke tempat
pembuangan sampah.
Ayu dan Neil yang penasaran, segera
mananyakan penyebab hal itu pada orang sekitar yang sedang lewat.
“Pak? Pak?! Kenapa tempat ini
dihancurkan?!” tanya Ayu.
“Aduh dek?! Yang bapak dengar, katanya
di sini mau dibangun ruko.”
“Ohh, makasih ya, pak.”
Dengan perasaan kecewa dan sedih Ayu dan
Neil meninggalkan tempat itu dan mulai mencari tempat untuk mengistirahatkan
tubuh mereka.
Tapi tiba-tiba rintik air hujan mulai
jatuh ke permukaan tanah. Segera Ayu dan Neil mencari tempat berteduh. Dan
mereka menemukan lorong buntu di antara rumah-rumah dan segera mereka menuju
ujung lorong itu dan duduk menyandar ke dinding yang di atasnya kebetulan ada
atap bangunan yang dilebihkan sedikit, sehingga mereka terlindung dari rintik
air hujan.
Tapi beberapa saat kemudian, hujan
menjadi sangat lebat, angin bertiup semakin kencang. Segera Ayu menyelimuti
tubuh mereka dengan kain panjang. Tapi hujan lebat itu membuat sedikit demi
sedikit air merembes kepakaian mereka. Ditambah kencangnya angin, membuat tubuh
mereka menggigil. Tapi mereka menghangatkan diri dengan saling berpelukan,
hingga akhirnya mereka tertidur di tengah kencangnya angin dan lebatnya hujan.
Dalam kepolosan wajah mereka yang sedang
tidur seakan ingin menyampaikan sesuatu kepada semua orang..
“Kami berharap tak akan ada lagi
orang-orang dan teman-teman kami, yang mengalami nasib yang sama seperti kami.
Kami berharap setetes kasih dan kepedulian dari orang-orang berjas dan berdasi
untuk kami kaum miskin. Kami juga berharap ibu pertiwi semakin jaya kedepannya
agar orang-orang seperti kami bisa merasakan sedikit kehidupan yang layak
nantinya.
Salam perdamaian untuk negriku,
Indonesia.”
Akhirnya sepasang teratai muda ini tidak
sanggup bertahan lebih lama dari amukan hujan dan cambukan angin yang
menghantam tubuh mereka.
Dan sekali lagi, generasi bangsa harus
gugur di medan pertempuran melawan kejamnya orang-orang yang menduduki kursi
berputar di kota Metropolitan.
Cerpen yang berjudul "Sepasang Teratai Muda" merupakan sebuah cerpen inspiratif karangan dari seorang penulis yang bernama Puspita Sandra Dewi. Kamu dapat mengunjungi blog penulis di: https://worldartsandra.blogspot.com/
Posting Komentar untuk "Cerpen Inspiratif - Sepasang Teratai Muda | Puspita Sandra Dewi"