Cerpen Cinta - Precious Chocolate | Ambiwwa Novita
Precious Chocolate - Ambiwwa Novita
Langit mulai berwarna, Matahari sudah mulai tersenyum, aku bergegas dan bersiap untuk segera pergi ke tempat kerjaku, aku bekerja disebuah toko cokelat bernama “Precious Chocholate”, disana aku menjadi pelayan sekaligus assisten koki, Jack nama Koki di tempat kerjaku, namanya memang tak cocok jadi koki lebih cocok jadi pemeran bajak laut, aku punya teman dekat disana bernama Resti, dia adalah manusia unik yang selalu bangga akan uang receh koleksiannya sejak zaman ia kecil, siapapun yang sedang dengannya, dia pasti akan bercerita mengenai uang recehnya, kami dekat sejak awal kerja.
Aku bahagia tinggal disana, setiap hari
bertemu banyak orang yang mengharuskan aku untuk beribadah dengan cara
terseyum, aku suka pakaian kerjaku, rok yang sopan tanpa mini berenda warna
pink muda, baju hitam, dan seperti biasa rambutku tergerai hitam panjang,
sesekali aku cepol rambutku jika memang rambutku menjadi tak bersahabat dikala
siang. Kadang aku bekerja dari pagi sampai malam berdiri di depan pintu toko
menawarkan gratis produk cokelat terbaru entah itu es krim, permen, biscuit,
minuman, ataupun kue.
Orang-orang sangat menyukai lesung pipit
di pinggir bibirku, dan kulit putihku yang selalu memerah ketika malu, atau
sedang tertawa, aku berhasil sembunyikan sepi. Lewat cokelat aku bahagia, lewat
cokelat aku lupa duka. Aku sudah yatim piatu dari sejak umur sepuluh tahun,
beruntung saja aku mendapatkan bantuan sana-sini sampai akhirnya aku bisa lulus
SMA. Aku bersyukur karena mereka mau membantuku, Ibu dan Ayahku meninggal
karena kecelakaan pesawat, dan sampai saat ini aku tak mau naik pesawat.
Precious Chocholate
Suatu hari atmosfir, toko berubah
menjadi seperti akan ada acara pernikahan, aku bertanya kepada diriku sendiri,
Mungkinkah ada pernikahan disini? Akad nikah ditengah cokelat? Oh Tidak Oh
Tidak, seketika lamunanku buyar, Chef Jack menepuk pundaku, menyuruh untuk
segera membersihkan dapur. Aku segera membersihkan dapur, sambil masih
kebingungan.
Tiba-tiba chef Jack menyuruh semua
karyawan untuk berdiri berderet dari depan meja kasir sampai pintu, aku pun
melaksanakannya. Seperti sedang menunggu petasan meledak, semua orang berubah
mimiknya, dan tiba-tiba pintu terbuka, Chef Jack tersenyum dan mengomando kita
untuk hormat dengan kedipan mata kanannya, dan kami serempak mengucapkan
“Selamat Datang”, aku heran sekali ketika orang yang kami hormati membuka kaca
mata hitamnya, Ya Ampun dia lebih mirip Siwon personil Super Junior, kemudian
dia bersalaman dengan Chef Jack, Chef Jack memperkenalkan dirinya, dialah
manager baru di Toko ini, manager lama adalah Ibunya, dia baru pulang dari luar
Negeri setelah lulus kuliah, dia sempat juga jadi seorang foto model majalah
pria, oh pantas saja mukanya licin sekaligus bening, ditambah tampang coolnya
bikin hatiku dag-dig dug, setelah Chef Jack mempersilahkan kami kembali
keruangan, pria itu yang bernama Rio Falemo, menghampiriku.
“Siapa nama kamu?”
“Nama saya?”
“Iya, jangan buat saya kesal siapa
namamu?”
“Claudya Angela” jawabku gemeteran,
kemudian wajahnya semakin mendekat kearah pipiku. Aku semakin tak karuan dan
mukaku otomatis memerah.
“Kamu kalau masih mau disini, tolong
jaga kebersihan.”
Aku tak mengerti, kemudian aku bertanya
“Maksud Pa Rio apa ya?”
“Tuh celemek kamu, tolong jangan ngupil
sembarangan dan dielap dimana saja”.
Dia berlalu dan aku mematung kesal,
ingin sekali aku cakar mukanya, dia sangka apa yang menempel dicelemek itu
upil, hellohhhh ini kan caramel!. Aku masuk menuju ruang dapur dan sepertinya
Chef Jack mengetahui tentang yang terjadi tadi, Chef Jack langsung memberikan
tisu, dan langsung menunjuk pipiku yang merah padam.
Entahlah apa maunya lelaki itu wajah
boyband tapi hatinya membatu, ngomong ke cewek seenaknya aja, ga dipikir dulu.
Sarjana luar negeri tapi ngomongnya ga pake hati. Kesal hatiku dibuatnya, tak
pernah aku menemukan lelaki menyebalkan seperti itu sebelumnya.
Jam kerja pun sudah habis karena jam
sudah menunjukan pukul sembilan malam, saat aku akan berganti baju aku
melihatnya sedang tertidur diruangan kerjanya yang terbuka, sepertinya dia
kecapean karena ketika dari Bandara kata Chef Jack langsung menuju toko, ketika
aku melihatnya tertidur rasanya aku seperti sedang melihat pangeran tidur,
tidur yang sangat tampan sekali.
Namun sialnya, ketika aku sedang
memperhatikan dia, dia terbangun dan seperti kaget ketika melihatku didepan
pintunya. Mata birunya melotot, rahangnya menjadi kaku, layaknya monster saat
ia membuka mulut sepertinya ia akan memanggil namaku, aku langsung berlari dan
mengatakan “Selamat malam Pa”.
Aku pun segera ke parkiran belakang dan
mencari angkot untuk pulang, sepanjang jalan aku hanya tertawa-tawa sendiri,
dasar makhluk aneh. Coba aja, kalau jiwanya waras, ah pasti dia manis banget,
aku membayangkan wajahnya yang putih, matanya yang biru, dan parfum yang khas.
Sesampainya dikosan, aku merebahkan punggungku yang sepertinya pegal, dan
meminta jatah untuk diistirahatkan. Aku pun menutup malam dengan lelah.
Esok paginya, aku terbangun dan
sepertinya pegal belum semuanya hilang, kepala masih pening, dan mata masih
ingin menutup, kulihat jam dinding, dan terlihat sudah jam setengah tujuh,
segera kucuci muka, dan gosok gigi, hanya bermodal deodorant dan minyak wangi
aku bekerja hari ini. Sesampainya di toko, aku bernafas lega, karena aku tidak
kesiangan. Aku pun menuju keruang ganti, untuk mengganti baju, baju kebangsaan
yang selalu membuatku cantik dan percaya diri, entahlah baju ini begitu ajaib
ketika kupakai.
Saat aku akan memasuki ruangan dapur,
kulihat lelaki tampan itu sudah ada didepan meja kasir. Sepertinya ia sedang
bercakap dengan Bu Ningsih, aku hanya permisi tak mau mencuri dengar saat
melewar walaupun ya deg-degan juga sih. Kulihat jam sudah menunjukan pukul
sepuluh pagi tandanya toko itu sudah harus buka, aku pun mulai bersiap
mengambil beberapa kue untuk dijajakan gratis, didepan pintu.
Toko memang jarang sepi, selalu saja
ramai. Macam-macam pengunjung yang datang, ada yang sekedar ingin mencoba kue
gratis, lalu pura-pura melihat saja dan kemudian langsung pergi, ada juga
kaum-kaum berpacaran yang berseragam kaos couple yang pastinya belanjaannya ga
jauh dari kue cokelat pita merah muda, unyu sih tapi entahlah aku sedikit
ilfeel melihatnya, ada juga kaum-kaum sendirian, entah punya pacar atau tidak
yang pastinya mereka ke Toko sering sendirian, ada juga kaum Lansia yang masih
hobi nyemil kue-kue, dan ada juga om genit yang selalu melirikku dengan tampang
menyeramkan.
Ketika siang hari, mentari sudah terik
sekali, aku sudah waktunya masuk kedalam toko membantu kasir, atau membereskan
kue-kue di wadahnya yang biasanya sering berantakan karena pembeli sering
memilih-milih, atau membeli tak jadi lalu disimpan di yang bukan tempatnya,
bahkan sampai membantu chef Jack membuat kue. Aku pun memutuskan untuk
membereskan kue-kue yang singgah bukan ditempatnya, kemudian datanglah
pengunjung, sepertinya mereka keluarga bahagia, pasangan suami istri dan
seorang anak perempuan berwajah manis sekali, matanya bening sekali, kira-kira
anak itu sekitar umur 5 Tahun, tiba-tiba mukaku memerah, aku merasa iri kepada
anak itu, lamunanku akan masa lalu mengantarkanku menuju saat itu, masa dimana
aku masih digenggam kedua orang tuaku, seketika aku menangis disitu tiba-tiba
Resti membuyarkan sedihku, ia langsung menarikku ke ujung dan berbisik
menghibur.
“Kamu itu harus kuat kaya uang logam,
bernilai dan berguna. Ga usah sedih, semangat terus”
Aku pun segera menghapus air mataku, dan
melanjutkan kembali pekerjaanku, seusai membereskan kue, aku menuju dapur, dan
disana aku menemukan lelaki tampan itu lagi, sedang berbicara dengan Chef Jack,
aku pun hanya permisi tak mau mencuri dengar, setelah kejadian semalam aku tak
mau menatap wajahnya. Ketika aku sedang mencuci peralatan, kudengar suara Chef
Jack memanggilku, aku pun segera menghampiri.
“Didiy, kamu dipanggil bos muda”
“Ada apa?”
“Sepertinya penting, sudah kamu kesana
sekarang”
Aku segera membereskan baju, dan melihat
takutnya diseragamku ada kotoran yang akan ia ejek lagi, aku sedikit was-was
dan kegeeran mengapa dia memanggilku.
“Tok..Tok”
“Masuk..”
Aku pun melangkahkan kaki menuju
ruangannya dengan jantung yang berbunyi banyak nada, wajahku memerah, entahlah
aku kikuk dan tiba-tiba rasanya ingin berlari dan menyesali mengapa harus masuk
keruangan ini.
“Ada apa… Pa?”
“Kamu ga pernah lihat orang secakep saya
ya? Biasa aja kali, silahkan duduk”
Ingin sekali rasanya aku mengambil mesin
pencukur rambut akan kuubah gaya rambutnya jadi terpampang gaya rambut
balotteli lalu alisnya aku olesi spidol hitam ala shinchan, ah menyebalkan
sekali lelaki itu, terlalu kepedean ya walaupun aku akui itu memang kenyataan
dia memang tampan, tapi menyebalkan. Aku tak menjawab pertanyaannya aku hanya
menghela nafas.
“Ga usa dijawab ya, Claudya, saya sudah
tahu kamu memang suka kan sama saya? Hahhaaha”
“Pa, pehelis deh. Cakep-cakep ko norak”
Aku spontan dan keceplosan, aku hanya menggigit bibir setelah mengucapkan
kalimat tadi.
“Apa? Norak? Kamu tuh yang norak, liatin
orang lagi tidur, itu maksudnya apa?”
Aku hanya terdiam, lalu kami kemudian
saling berdiam, menatap seolah-olah seperti orang pacaran yang sedang marahan,
kemudian acara saling tatap kami pun buyar saat handphone miliknya berbunyi,
dia pun menyuruhku pergi. Ah, pasti itu pacarnya soalnya nada bicara mengangkat
telponnya lembut sekali, ah andai saja dia begitu kepadaku. Aku pun segera
keluar dari ruangannya dan melipat bibir sekaligus ekspresi buruk rupa
terpasang di mukaku sebagai tanda kebetean.
“Cieee…. Yang udah dipanggil bos muda”
Celetuk Resti
“Apasih….. ga penting”, aku kemudian
mengambil kembali kue-kue untuk diajajakan didepan toko karena waktu istirahat
sudah habis, Setibanya didepan toko, aku melihat keadaan jalan yang semrawut,
macet dan seperti biasa ketika macet, semua orang beraksi dengan bunyi
klaksonnya masing-masing, memaki, ngedumel, dan pernah aku melihat ada seorang
bapak-bapak yang menikmati macet dengan membaca Koran, dan saking keasyikan
membaca Koran, ia lupa maju dan diserang banyak klakson, belum lagi masalah
zebra cross yang hanya menjadi garis putih tak teranggap, yang nyebrang pun
masih merasa kesulitan walau ada zebra cross, aku hanya geleng-geleng kepala,
kemudian ada pemandangan yang mencuri perhatianku, aku melihat seorang ibu muda
yang sedang berbadan dua, kesulitan menyebrang, aku pun kemudian menyimpan
nampan didepan pintu, dan berlari menyebrangkan ibu muda itu, setelah
menyebrangkan ibu muda itu, aku kembali ke toko dengan berkeringat dan nafas
yang terengah-engah, nafasku semakin sesak ketika aku melihat lelaki itu ada
didepan pintu sedang memegang nampan dan memasang mata melotot.
“Eh, Bapak….. sini Pak, nampannya!”
“Kamu habis dari mana?”
“Aaaa… nu pak.. Kebelet”
“Sudah cuci tangan pake sabun kan?”
Aku hanya menunduk, entahlah lelaki itu
mengapa begitu menyebalkan, soal begini pun ia tanyakan sedetil ini, lagi pula
masa dia tidak curiga kalau aku berbohong, ah ya sudahlah aku langsung meminta
maaf kemudian mengambil nampanku. Kemudian dia mendekati pipiku, aku sudah
kaget setengah mati, dia simpan rambutku ke belakang telinga, aku semakin tak
karuan, lalu dia berbisik.
“Claudya, kalau pake eyeliner jangan
yang murah ya, beleber tuh bikin saya ga bisa bedain mana belek mana gumpalan
eyeliner”
Aku menarik nafas dalam-dalam, tak
mungkin aku marah, wajahku memerah, dan aku rasanya ingin membakar toko ini, ah
kalau saja bukan karena itu bos, sudah kucakar-cakar dia, aku hanya tersenyum
saja saat dia berkata itu, kemudian ia pergi, ah rasanya damai tak ada lelaki
menyebalkan itu.
Sudah sore, aku masih berdiri mematung
dan tersenyum kepada siapapun yang lewat di trotoar pinggir toko, ada yang
membalas senyumku, ada juga yang pura-pura tak melihat, kemudian jazz warna
merah berhenti didepan toko, sepertinya ini bukan orang sembarangan, saat pintu
mobil terbuka, ternyata itu adalah seorang wanita, dia mengendarai mobil tanpa
supir, baju modis warna orange membentuk tubuhnya, ramping, s*xy dan eksotis,
wajahnya mirip dengan Sharena pemain ftv idolaku di tv, aku tersenyum kepadanya
namun tak ia tanggapi, ah wajar namanya juga kaum cantik ga aneh kalau jutek,
aku hanya diam menahan kesal.
Terlihat dari pintu, ia langsung
disambut Pa Rio, ah pasti nenek sihir itu pacarnya Pa Rio. Mereka terlihat
serasi, cocok sekali, mereka tercipta sama-sama menyebalkan. Terlihat dari
pintu mereka berbicara dekat sekali, seperti sudah lama tak berjumpa. Ah,
kenapa aku harus menggerutu, ini bukan cemburu bukan ini hanya rasa sebal saja,
tak lebih.
Gosip pun datang, saat perempuan jutek
itu datang, kata bu kasir, katanya perempuan tadi itu tunangannya Pa Rio,
mereka sudah lima tahun jadian. Aku tak mencuri dengar, tapi tetap saja
kedengaran, soalnya suara Bu Kasir memang volume tinggi, para karyawan banyak
yang nimbrung dan mendengar celotehan bu kasir, termasuk Resti.
Dua jam berlalu, perempuan jutek itu
keluar pintu dan ternyata nenek sihir itu tidak sendirian, kakek sihir pun
menemani, ah menyebalkan. Seolah sengaja, dan tak melihatku mereka begitu
nyaman bergandengan tangan, sungguh terlihat katro dan kamseupay mereka berdua.
Ingin sekali saat itu aku melakukan aksi kejahatan kepada mereka, tapi otak
jahatku berhenti, tak berfungsi, ingin sekali aku mengguyur mereka dengan
cokelat cair, atau pura-pura menubruk mereka, tapi itu sepertinya akan terlihat
sangat konyol, dan akan menjadi hal paling memalukan yang tak akan kulupakan.
Ku akhiri kesalku dengan pura-pura tak melihat, aku pun bersikap dingin
membatu, tiba-tiba Pa Rio berbalik dan tersenyum minggir, entah menghina atau
apa dan itu membuat dia semakin menyebalkan. Aku hanya menunduk, tak mau jika
dia sampai melihat mukaku yang pasti memerah.
Kini saatnya aku untuk bergegas pulang,
kurapikan dapur terlebih dahulu, kulihat Chef Jack seperti terlihat lelah,
tatapannya kosong walaupun dia sedang memandang kue didalam oven.
“Chef, kenapa? Ko bengong?”
“Ga papa Diy! saya Cuma keingetan sama
keluarga”
“Oh, ceritanya kangen nih…..”
“Bukan, Cuma kangen tapi ngerasa berdosa
Diy, sebagai Bapak sekaligus suami, saya belum bisa nemenin mereka setiap saat”
“Chef kan disini kerja, dan hasil
keringatnya buat mereka, mereka pasti ngerti ko”
“Iya, diy… Heheh ko saya jadi cengeng
begini ya? Malum tiga bulan sekali saya bisa ketemu mereka”
“Ya iyalah, Sulawesi dan Jakarta
terbentang jauh antara kau dan mereka”
“Idih, si didiy malah nyanyi hahaha”
Aku paham benar, apa yang chef Jack
rasakan, keluarga itu bukan Cuma suatu kesayangan, tapi disana ada kewajiban
yang harus dilakukan, dan pengorbanan pun melengkapi, Chef Jack bertemu dengan
keluarganya Tiga bulan sekali, itu pun hanya tiga hari, kebijakan kantor
memberikan ia libur selama tiga hari itu. Chef Jack mempunyai 3 anak, dan ia
sudah 3 tahun di Jakarta meninggalkan anak istrinya untuk mencari nafkah. Aku
dan Chef Jack sangat dekat, sudah kuanggap seperti ayah sendiri, dia adalah
orang pertama yang memanggilku “didiy” karena kata Chef Jack, namaku itu
terlalu sulit dan kebagusan, aku berharap semoga suatu hari nanti aku bisa
punya seorang suami yang bisa melindungiku, yang bertanggung jawab seperti Chef
Jack, sayang istri dan anak-anak.
Aku pun berjalan menuju belakang
parkiran, dan kulihat Pak Bos Muda sedang sendirian, aku sedikit heran mengapa
dia ada disini? Jangan-jangan sedang menanti nenek sihir itu, aku melewat
kehadapannya dengan permisi.
“Permisi pak”
“Claudya, minyak wangi kamu apaan sih?
Ya ampun bau orang susah!”
Seakan darahku sudah mencapai
diubun-ubun, niatku untuk menghormatinya malah dibalas dengan kalimat seperti
itu, ketus dan sungguh menyebalkan. Aku pun kemudian tersenyum menahan rasa
kesal.
“Oh, maaf Pak. Saya pulang dulu ya”
“Saya yakin, ga akan ada angkutan umum
yang mau ngangkut cewe bau badan kaya kamu”
Aku hanya menelan ludah, aku mencoba
permisi kembali, aku sudah tak tahan, andai saja dia bukan bos, sudah
kucakar-cakar dia.
“Claudya sudah pulang sama saya saja,
tapi ga usah pake gr, saya Cuma kasian”
Aku tersentak kaget, dan menelan ludah.
Sungguh, ini seperti mimpi, entah ini mimpi indah atau mimpi buruk.
“Maaf, pa! Saya pulang sendiri saja”
“Orang susah ga boleh nolak rezeki,
silahkan masuk mobil bagus”
Dia memandangku dengan sinis lalu
melotot, pertanda bahwa aku harus segera masuk, sepanjang jalan dia selalu
memutar lagu-lagu mellow, entahlah lelaki jenis apa ini, ketampannanya hilang
saat aku mendengarkan playlist yang sering dia dengarkan, lagu mellow nan
melayu terdengar sepanjang jalan, ngakunya sih orang tajir tapi playlistnya
merakyat.
“Pa, bapa sering dengerin lagu yang
beginian?”
“Bukan urusan kamu”
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, dan
terpaksa mendengarkan playlist ancur galau yang dia putar, sesekali aku
melihatnya dari samping, pikiranku mengajak untuk sedikit nakal saat melihat
bibir tipisnya, kulitnya yang licin, dan memang aku akui dia adalah makhluk
super tampan. Tiba-tiba pikiranku buyar, saat dia memanggil namaku.
“Claudya….. rumah kamu disebelah mana?”
“Ih, Bapa biasa aja lagi, nanyanya kaya
lagi nanya ke maling aja”
“Kamu emang maling, kamu itu maling
waktu saya, sekaligus uda berhasil ngebuat saya kasihan jadi saya terpaksa
harus nganter kamu”
Aku memandangnya dan aku kembali
membencinya, dia memang ga waras, aku membalas pertanyaannya dengan menahan
semua sakit hati.
“Lurus terus pak, saya ngekos dibelakang
mini market, atau nanti berhenti aja kalau udah nemu rumah gede, sekitar 500
meter dari rumah gede kosan saya ga jauh dari situ, saya jalan kaki aja
kekosannya”
“Rumah gede? Jangan bilang kalau
rumahnya pagar warna biru”
“Memang kenapa Pa? Pasti rumah nenek
sihir disana ya?”
“Apa kamu bilang? Siapa nenek sihir?
Siapa?”
“Ehhh, maksudnya pacar bapa”
Dia hanya mendengus, dan menyandarkan
kepala ke bantalan kursi. Aku tersenyum sinis, dan sepertinya aku bisa
mengawasi Nenek Sihir itu setiap hari. Aku tak pernah tahu kalau itu rumah si
nenek sihir, kalau tahu dari dulu, ogah deh ngekos dideket rumah Nenek Sihir,
aku bergidik dan melihat kesamping jalan, jalanan masih basah, dan cuaca begitu
dingin.
“Hatci… Hatcii, Claudya tolong ambilkan
tisu di jok belakang”
“Iya, Pa. Bapa kenapa? Alergi ya”
“Iya, saya memang gini kalau kedinginan,
awas aja kalau saya sampai sakit, kamu tanggung jawab”
Aku pun mengambil tisu dijok belakang,
ketika aku sudah berhasil mengambil beberapa helai tisu, tiba-tiba mobil
mengerem mendadak dan aku pun terbanting, aku begitu tak percaya, mataku dan
matanya kini saling berpandangan, wajah kagetnya masih terlihat tampan, dan aku
ingin sekali waktu berhenti, aku ingin terus memandangi wajahnya dari jarak
sedekat ini. Tapi, aku kemudian menyadarkan diri dari ketampanannya, wajahku
merah padam, aku segera memberikan tisu, tanpa kata dan dia pun setelah itu
diam membisu padahal sebentar lagi aku akan turun dan berpisah dengannya,
semoga bisunya bukan tanda dia membenciku.
“Claudya, kalau kebelakang mini market
mobil saya masuk ga?”
“Masuk ko, Pa! Tapi biar saya jalan kaki
saja”
“Ga usah, uda tanggung kamu bikin saya
kerepotan”
“Oh, Ya Pa, maaf dan terimakasih ya Pa”
Aku pun turun dari mobil, entah harus
merasakan senang atau sebal, malam ini adalah malam yang tak akan terlupa.
Sekalipun ini adalah kecelakaan ini adalah kecelakaan terindah, andai kejadian
tadi bisa kurekam, pasti akan kuputar setiap malam. Setelah aku berganti
pakaian, aku mendengar pembicaraan di kamar sebelah, terdengar dari kamarku, di
kamar sebelah adalah penghuni baru yang baru pindahan kemarin, kamar seorang
Ibu dan seorang anak gadis yang umurnya tak jauh dariku, terdengar sepertinya
anak perempuan itu sedang berbicara mengenai isi hatinya kepada Ibunya,
kemudian terdengar jelas olehku kalimat ini “Itulah cinta sayang, tak ada yang
bisa dipersalahkan saat sudah sakit begini, kita yang harus bijak, bukankah kamu
yang mau memilih, dan kamu memilih tanpa tahu cinta itu sudah sepaket dengan
kesakitan”.
Seketika aku pun menangis, bukan karena
mendengar kalimat bijak barusan, aku ingin sekali mempunyai seorang Ibu,
seseorang yang bisa menjadi sandaranku saat lelah, sesorang yang mau
mendengarkan semua keluh kesahku, aku benci saat kesepian begini. Aku pun
memandangi foto Ibu dan Ayah ketika kami sedang berliburan di Australia saat
aku berumur 4 tahun, aku sedih sekali, kenapa mereka harus pergi? Selepas
mereka pergi, aku dititipkan di Tante Rida, kebetulan saat itu dia masih
lajang, dan setelah dia menikah, aku berpindah ke rumah Paman Sam, dirumah
Paman Sam, aku mendapatkan ketakutan setiap malam, rumah Pama Sam selalu
kedatangan teman-temannya yang brewokan, dan mereka selalu habiskan malam
dengan mabuk-mabukan, beruntung aku ditemani oleh Mba Nida, anaknya Paman Sam.
Ketika SMA, aku tinggal bersama Mba Nida
disebuah rumah susun, dari Mba Nida aku bertemu dengan dunia kerja, karena Mba
Nida pun selepas kuliah, dia sudah kerja di sebuah restoran, aku pun tertarik
dan ingin sekali bekerja, tak enak terus mengandalkan pundi-pundi saudara, dan
uang jajan Mba Nida pun sebelum aku mendapatkan kerja selalu disisihkan untuk
uang jajanku, beruntung saat SMA aku mendapatkan beasiswa, jadi urusan
pembayaran sekolah, aku tak begitu merepotkan, aku mulai mengawali kerja dengan
bertanya-tanya mengenai lowongan kerja part time, awalnya Mba Nida tak mau
memberitahuku, tapi aku memaksanya dari mulai memijit kakinya setiap dia pulang
kerja, menyiapkan sarapan, dan jurus merayuku ampuh, Mba Nida akhirnya mau
memberitahu setiap ada lowongan kerja part time, asal dia tak mau aku terlalu
cape, dan jangan terlalu memaksakan, aku tak pernah pilih-pilih pekerjaan,
selama itu menghasilkan uang untuk jajan, dan tak berbahaya, aku sempat jadi
SPG, jadi tukang donat keliling, bahkan sampai jadi tukang cuci piring, aku
habiskan masa mudaku untuk bekerja, akhirnya aku bisa ngekos sendiri, walaupun
awalnya Mba Nida tak mengizinkanku, tapi akhirnya dia mengizinkan walaupun dia
selalu menelponku tiap malam untuk sekedar bertanya sedang apa dan sudah makan
atau belum, jika aku berkata belum, Mba Nida pasti mengirimkan pizza kekosanku.
Dan baru saja Mba Nida aku pikirkan, dia sudah hadir dilayar ponselku.
“Hallo…” Suaraku masih parau, semoga
saja Mba Nida tak mengetahui kalau aku baru saja menangis.
“Dek, sudah pulang? Kehujanan ga?”
“Sudah Mba, aku ga kehujanan ko. Mba
lagi apa?”
“Yang pastinya kalau jam segini mba
mikirin kamu lah”
“Idih, Mba! Aku uda gede tahu”
“Segede-gedenya kamu selagi kamu masih
sendirian mba pasti terus khawatir”
Aku hanya terdiam, dan air mataku jatuh
lagi, aku berharap Tuhan selalu memberikan rezeki, keselamatan, dan
perlindungan untuk Mba Nida. Kemudian percakapan terhenti, aku memaksakan diri
untuk tidur walau masih sesenggukan menahan tangis.
Pagi-pagi sekali, aku terbangun dan
membuka mata namun ada satu yang menghalangiku untuk turun dari ranjang, kakiku
begitu sakit, pinggangku pun ikut-ikutan sakit, entah ini karena apa yang pasti
setengah jam aku berusaha bangun dari kasur dan akhirnya aku berhasil walaupun
harus menahan sakit. Setibanya di Toko aku masih menahan sakit apalagi tuntutan
pekerjaanku aku kan harus memakai sepatu hak tinggi, dan semakin lengkaplah
kesakitanku.
“Diy, kamu kenapa?”
“Ga papa Chef, Cuma tadi pagi aku susah
bangun, terus sekarang kaki sakit banget”
“Itu sih namanya bukan ga papa, diy! Di
ujung jalan ada tukang urut, kamu kesana aja nanti pulang kerja”
“Makasih Ya Chef”
Kemudian Lelaki menyebalkan itu datang,
dan seperti biasa mukanya yang tampan itu tak pernah ramah kepadaku, entahlah
apa salah dan dosaku selama ini kepadanya.
“Kenapa kamu Claudya?”
Belum saja aku menjawab pertanyaannya,
dia langsung memberikanku bungkusan, dia pun pergi sambil seperti biasa
mengejekku.
“Kalau ga biasa pake high heels ga usa
maksain, tuh pake itu pas di kaki cocok buat kaki kamseupay”
Aku masih menahan sabar dan kubuka
bungkusan kulihat sepatu teplek berwarna ijo tosca, cantik sih tapi yang
ngasihnya bikin ga mood make,
“Udah, Diy pake aja daripada kakinya
tambah sakit”
“Iya Chef”
Kulepas sepatuku dan kupakai sandal
teplek dari dia. Aku pun senyum-senyum sendiri, seolah sedang menyaksikan drama
cinta, yang biasanya ceritanya dari benci berubah jadi cinta, rasanya ingin
sekali aku menari karena bahagianya hatiku saat ini, tapi keinginanku terhenti
senyumku mengkerut kembali, menyadari apa yang memang terjadi, dia tak pernah
menyukaiku, dia selalu ketus kepadaku, mana mungkin rasaku bisa terbalas, cinta
kan ga seindah kaya di drama cinta televisi.
“Aku mencintaimu dengan perlahan
Tanpa sengaja
Tanpa rekayasa
Rasaku muncul dengan sendirinya
Rasaku indah dengan hebatnya
Aku memujamu lewat matamu
Matamu yang biru selalu buatku damai
Matamu yang biru selalu buatku cinta
Matamu yang biru selalu buatku rindu
Aku kini merasakan semua dengan sendiri
Rasa yang indah namun rahasia
Aku tak mau siapapun tahu akan indahnya
ini
Aku takut bahagiaku dan memujaku hilang
dan musnah saat kamu tahu
Biarlah rasa ini kupendam sendiri saja
Aku mulai menyukaimu
Walau bagaimana kamu
Sekeras apapun kamu
Betapa menyebalkannya kamu
Mungkin Cuma itu yang bisa membuat kita
dekat
Aku menikmati semua tingkah konyolmu
Otakku langsung merekam semua yang kamu
lakukan
Kamu memang menyebalkan tapi kamulah
yang selalu aku rindukan”
Aku langsung menutup buku catatanku di
ruang istirahat, karena suara yang tak asing memanggilku.
“Claudya, pulang sama saya yu!”
“Eh, Pa. Ga usah ngerepotin Pa”
“Tuh kan Tuh, pasti kamu sudah keGR-an,
kali ini saya yang bakal ngerepotin kamu, Claudya”
“Maksud Bapa? Jangan bilang Bapa mau
ngajak saya ke pesta terus dijadiin pacar bohongan kaya di film-film”
“Ya Ampun, kamu emang rusak nih rusak.
Ngehayalnya ih ga bener, denger ya Claudya, saya disini jadi apa?”
“Jadi Bos”
“Nah, bener! Kalau kamu?”
“Pelayan Toko, Pa”
“Nah, tuh tahu. Jadi, mana mungkin saya
jadi pacar kamu, sekalipun jadiin kamu pacar bohongan saya mikir beribu kali
pastinya”
“Maaf Pa”
“Ya sudah cepet ganti baju, masa nganter
cowok ganteng masih pake baju toko”
“Iya Pa”
“Ya udah cepetan ganti bajunya”
“Disini Pak?”
“Ya iyalah, disini mau dimana lagi”
“Asli Pa? Serius disini”
“Ya Ampun Claudya, kamu memang!”
“I… iya Pa.. Iya”
Aku pun langsung pergi ke ruang ganti,
mukaku memerah, aku memang begitu gegabah kenapa harus berkata seperti itu,
akhirnya perdebatan dengan dia pun berakhir dengan aku yang tersakiti,
lagi-lagi kena omelannya, dan malam ini acara dia ngajak pulang bareng adalah
nemenin dia beli cincin dan banyak hadiah buat pacarnya, si Nenek sihir itu. Sepanjang
jalan aku hanya menunduk, kenapa aku harus menemani orang yang kusukai
membelikan hadiah untuk perempuan yang kubenci.
Terlihat binar dan bahagia dari mukanya,
sepertinya dia memang begitu mencintai kekasihnya, andai saja ada ramuan
penghilang wujud, pasti akan kuhilangkan Nenek sihir itu dari muka bumi.
Berhentilah, kita di Toko Perhiasan, dia sibuk mencari-cari cincin untuk Nenek
Sihir, sementara aku harus menyewakan gratis jariku untuk dicobanya beberapa
cincin yang jadi pilihan, setelah hampir satu jam akhirnya dia menemukan cincin
yang memang sungguh indah, dan terlihat anggun tapi bila dipakai dijariku,
bukan untuk Nenek sihir itu.
“Sekarang kemana lagi Pak?”
“Ke Toko Boneka dan Toko Baju, kamu
ngerti fashion kan?”
“Ya gitu sih pa, ga terlalu tapinya”
“Ga terlalu atau ga tau?”
Aku hanya diam tak menjawab ejekannya,
aku mengikutinya dari belakang, tak jauh dari Toko Perhiasan, disitu sudah ada
butik dan toko boneka, dia membeli 3 baju, dan semuanya bagus bikin ngiler,
beruntung banget tuh Nenek Sihir. Kemudian kita lanjut membeli boneka beruang
warna pink, dan bantal biru bertuliskan “I Love You” berhasil terbeli untuk
Nenek Sihir itu, aku sepanjang perjalanan menjinjing semua belanjaannya, dan
ini sungguh merepotkan.
“Sekarang kemana lagi Pak?”
“Ha? Kita?”
“Iya… Kita Pak”
“Silahkan kamu pulang naik taxi, Nona!
Selamat malam terimakasih ya”
“Oke, Pa. Tak masalah, asal cincinnya
jadi milik saya”
“Apa?”
Sepertinya dia lupa bahwa cincin untuk
Nenek sihir itu ada didalam tasku. Aku mau memberikan cincinnya jika dia
mengizinkan aku untuk naik mobilnya, akhirnya system barter terjadi, dia tak
jadi membiarkanku naik Taxi dan aku memberikan cincin indah untuk Nenek sihir
itu, sepanjang jalan aku tersenyum karena akhirnya aku bisa membuat lelaki
menyebalkan ini takut dan menurut kepadaku.
“Pa, kita langsung kemana?”
“Saya langsung ke Rumah Mona, kamu nanti
pulang saja ya!”
“Oh, jadi Nenek Sihir itu namanya Mona”
aku bergumam dalam hati
“Hey, ko diam saja? Kamu cemburu?”
“Idih, Bapak Mulai lagi, pehelis deh”
“Kamu tuh ya, Claudya. Makasih ya uda
nemenin saya, doain saya biar malam ini jadi malam yang paling romantis buat
saya dan Mona”
“Oh, Iya Pa”
“Kamu kalau mau cincin yang kaya Mona,
jangan nyari di toko mainan ya, coba cari diemperan jalan, suka ada ko yang
jualan cincin KW hahahahahahahah”
“Ga lucu, kenapa sih dia selalu kaya
gitu?” Aku meringis dalam hati
“Saya pamit ya Pak”
“Oya, Claudya. Nih ada sesuatu buat
kamu, itung-itung imbalan dari saya, ga usa kegeeran ya ini Cuma tanda
terimakasih”
Dia memberikanku sebungkus cokelat, ya
walaupun cokelat ini katanya tak lebih dari sekedar pemberian, dan ini adalah
cokelat produk toko, tapi tak apalah aku bahagia menerimanya. Aku pun tersenyum
dan melambaikan tangan kepadanya ketika sudah keluar dari mobil.
“Happy Romantic Night, Mr. Tengil”
“What You Say?”
Aku tersenyum, dan dia tak membalas
senyumku, dia langsung pergi sambil memberi klakson tanda perpisahan. Entah,
apa yang bisa membuat kami begitu dekat seperti ini, ya walaupun dia selalu
bersikap usil kepadaku, kata Chef Jack sih dia mendekatiku karena aku mirip
dengan adiknya yang sudah meninggal, lain dengan kata Resti, dia mendekatiku
karena aku itu terlalu polos, dan mudah untuk disuruh-suruh. Aku tak peduli apa
yang mereka katakan, apapun itu aku bahagia, waktu mengizinkan aku untuk bisa
bersamanya. Baru saja aku hampir tertidur, suara klakson mobil membuyarkan
ngantukku.
“Ah, siapa sih? Mau mimpi indah uda ada
yang ganggu”
Aku membuka tirai, dan ternyata itu
mobil Pa Bos, aku segera berlari keluar, takutnya suara klaksonnya terus
dibunyikan jika aku tak keluar, entah aku salah apa sampai dia kesini, bukannya
dia mau romantic time sama nenek sihir itu, aku pun sampai didekat mobilnya
dengan rasa super was-was, dia pun membuka kaca mobil dan memberikan isyarat
supaya aku masuk mobil, aku pun masuk dengan rasa masih was-was. Sesampainya
aku didalam mobil, dia menyalakan lampu mobil, dan sungguh aku terkejut.
‘Pa… Bapa kenapa?”
“Diy, ternyata saya dibohongi”
“Maksud Bapa?”
“Pantas saja, setiap saya mau kerumahnya
selalu dilarang, sekalinya boleh paling hanya beberapa jam itu juga siang hari”
Aku semakin tak mengerti dengan semua
yang dia katakan, yang jelas aku begitu miris saat melihat mukanya lebam
seperti sudah ditonjok-tonjok. Dan dia pun mulai bercerita didalam mobil,
ternyata si Nenek Sihir itu selama Pa Bos pergi ke luar negeri, dia sudah
menikah dengan seorang lelaki yang bertubuh besar, dan ternyata Pa Bos belum
pernah ada ikatan sama sekali dengan perempuan itu, hanya dari sejak SMA mereka
dekat dan selama Pa Bos diluar negeri pun mereka masih sering mengirim pesan.
Kulihat jok belakang, hadiah-hadiah yang sudah disiapkan tak jadi diberikan.
“Aku tahu saat ini kamu sedang kesakitan
Ingin sekali aku mengulurkan tangan
Namun aku takut kau tak kan memberi
tangan
Aku tahu sosok dia adalah sosok yang tak
mudah untuk tergantikan”
“Mau diantar ke Rumah Sakit Pak?”
“Ga usah, Claudya”
“Bapak, bisa pulang sendiri kan?”
“Ya, jelas tentu! Makasih ya kamu sudah
mau mendengarkan cerita saya, padahal buat apa ya saya cerita ke kamu”
“Ya Ampun, dia mulai menyebalkan lagi”
aku berseru dalam hati.
“Claudya, silahkan turun!”
“O.. oo iya Pa”
“Selamat Malam”
“Move on ya, Pa”
Dia tak membalas kalimat terakhirku, dia
langsung berlalu menyetir mobil dengan kecepatan emosi, kalau dipikir-pikir
kasihan juga Pa Bos, ternyata dia cinta sama cewek yang uda punya suami, dasar
Nenek Sihir bener-bener jahatnya ga ketulungan, mana suaminya maen mukul-mukul
aja, mukanya Pa Bos kan licin, lalat aja ga berani hinggap, eh tuh tangan maen
lalap aja, sabar ya Pa Bos Ganteng, Nenek Sihir sudah bersuami, aku masih setia
disini.
Keesokan harinya, kulihat didepan pintu
kosanku, aku melihat ada sebuah amplop dan saat kubuka isinya, kulihat ada pesan
yang tak bisa kupercayai.
“Claudya, bisakah kamu menemani saya?
Saya tunggu di Bandara sampai pukul 1 siang”
By. Rio
Aku memang ingin bisa menemaninya kemana
saja, namun jika harus naik pesawat, aku tak mau walaupun jujur aku masih
berperang dengan ragu, percampuran antara trauma dan asmara menjadi satu dan
itu sama-sama membingungkan, aku pun dengan bulat hati sekaligus berat hati,
mengabaikan isi surat dari Pa Bos, entah mengapa dia mengajakku untuk pergi keluar
negeri. Apa mungkin dia sudah menyimpan hatinya padaku? Ahh sepertinya begitu,
senangnya!. Seperti suatu kebanggaan aku bisa menolak lelaki tampan itu, tapi
ah sudahlah daripada harus naik pesawat, aku tak mau!
Sesampainya di Toko, aku masih kepikiran.
Namun, aku perlahan mencoba melupakan isi pesan yang kuterima dari Bos Muda,
kemudian Chef Jack memanggilku.
“Diy, kamu punya konsep apa buat besok?”
“Besok? Emang siapa yang ulang tahun?”
“Ulang Tahun? Bukan diy!”
“Terus apa dong?”
“Valentine, diy”
“Ya, Ampun! Malum jomblo, kaga pernah
inget yang begituan”
“Ayo cepet kasih saya konsep jangan
malah ngelawak”
“Oh, iya Chef, iya gimana kalau bikin
cokelat warna-warni bentuknya menara Eiffel?”
“Ukuranya?”
“Ada yang mini, ada yang besar, gimana?
“Kalau untuk kue tart?”
“Nah, kita terima pesanan aja, chef, kue
cinta dari Precious chocholate edisi Valentine, bisa pake foto juga”
“Oke, deh! Situ emang pinter, diy!”
Aku hanya tersenyum, memang ideku jarang
ditolak oleh Chef Jack, sekalipun ditolak itu karena bahannya memang tidak ada.
Aku merasakan suatu yang kurang di Toko, tapi apa ya? Aku baru sadar, bukannya
si Lelaki menyebalkan itu sedang tidak ada, kapan dia kembali lagi?.
“Diy, kamu lagi nyari Pa Bos ya?”
Celetuk Chef Jack yang sepertinya tahu mataku sedang mencari lelaki menyebalkan
itu.
“mmmm… mmmmm ga ko”
“Dia lagi ke Surabaya, diy! Lagi ada
urusan bisnis”
“Ha? Surabaya? Ga salah nih Chef? Kan
dia perginya pake Pesawat”
“Haloohh, Claudya emang yang pake
pesawat itu Cuma ke luar negeri aja, dari Jakarta mau ke pasar baru juga bisa
pake pesawat” celetuk Resti mengikuti perbincangan kami.
Aku hanya terdiam, disaat Chef Jack dan
Resti menertawakanku, ternyata ajakan dia mengajakku ke Surabaya, bukan ke luar
Negeri ah begini nih kalau kepedean, untung aja laki-laki menyebalkan itu tak
mendengarkan percakapanku, bisa dimaki-maki aku sama dia.
Ketika sudah hampir tutup toko, aku
melihat lelaki menyebalkan itu sudah ada di depan Toko, wajahnya terlihat
kelelahan,tapi tampannya tak mampu disembunyikan, aku membayangkan dia datang
ke arahku, dengan angin yang akan menerbangkan rambutku, lalu dia ungkapkan
betapa kesepiannya dia pergi ke Surabaya tanpa aku, menggenggam tanganku dan
menatap mataku, tapi itu hanya bayangan.
“Claudya, kamu kenapa tadi ga datang ke
Bandara?”
“Saya kan ga mau naek pesawat, Pa.
Lagipula saya kan malu jalan berdua sama Bapa”
“Diy, saya ikut ko, dua karyawan lain
juga ikut, tadi yang nulis surat itu saya” celetuk Bu Kasir
Ingin rasanya aku berlari keluar toko,
kalau bisa aku terbang saja menembus langit-langit toko, aku pikir dia hanya
mengajakku, tapi ternyata aku yang memang kepedean. Hancur sudah reputasiku,
aku hanya diam lalu berlalu.
3 hari lagi adalah hari Valentine, dan
tahun ini tepat umurku tepat 20 Tahun, aku masih sendirian, aku masih menjadi
pengagum jika punya perasaan kepada seseorang, contohnya rasaku untuk Pa Bos.
Pa Bos adalah lelaki pertama yang mampu mencuri hatiku. Aku memang berkhayal
terlalu tinggi untuk bisa memilikinya, aku selalu berbuat konyol dihadapannya
mana mungkin dia mau memilihku. Tak pernah aku merasa kesepian yang luar biasa,
apa mungkin sudah waktunya aku punya seseorang, tapi itu siapa? Ah pikiranku
jadi tak karuan.
“Aku adalah seorang gadis yang sendirian
Kesepian selalu memelukku dengan erat
Tanpa peduli bahwa aku kesakitan
Aku selalu sembunyikan sepi dengan nafas
yang terengah-engah
Rasaku untuknya kini masih tersimpan
Walaupun aku selalu hadirkannya di
khayalanku
Dikhayalanku selalu tergambar indah
tentang aku dan dia
Bercengkrama dibawah menara Eiffel
sambil bertukar cokelat
Ah, sepertinya itu sangat indah
Namun khayalanku ketinggian
Itu tidak akan mungkin terjadi”
“Claudya!”
“Eh, iya Pa!”
“Kamu punya trauma dengan pesawat?”
“Iya Pa”
“Asli? Bukan alasan kamu supaya ga
dipanggil kamseupay kan?
“Bapa kenapa sih, bapa selalu menyakiti
hati saya, bapa kalau memang ga suka sama saya bilang saja, saya rela berhenti
dari sini!”
Aku langsung berlari keluar toko, dan
aku mendengar dia memanggil namaku, aku tak peduli. Aku bingung mengapa tadi
aku mampu berkata seperti itu kepadanya, sepertinya aku sudah tak mampu menahan
sabarku lagi, dengan menyesal aku teruskan berlari.
Keesokan harinya, aku enggan sekali
masuk toko. Mataku terlihat sembab, semalaman aku menangis, menangis dengan
kebingungan, sedih, dan penyesalan bersatu menjadi satu. Seharian itu aku diam
saja, nonton televisi pun jadi andalan saat bingung begini, aku menyaksikan
acara televisi pun dengan terpaksa karena tak ada kegiatan lain, lagi-lagi aku
pun melamun masih menyesali kejadian kemarin.
“Aku hancurkan semua harapanku
Andai saja kemarin aku tak langsung
berlari
Dia pasti akan membenciku
Dan harapanku pun musnah
Haruskah aku akhiri ini tanpa ucapan
“selamat tinggal dan maaf” ?”
Hari-hari sudah berlalu, dan ini adalah
hari Valentine, tak ada yang mencariku tak ada yang menghubungiku untuk kembali
ke Toko, aku memang salah, sekarang aku harus kuat berdiri dengan hidup baru,
tanpa dikelilingi cokelat-cokelat, tanpa melihat senyum orang yang kucintai,
dan tanpa semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya, tak lama kemudian kudengar
pintuku seperti ada yang mengetuk, sepagi ini aku sudah menerima tamu, siapa
ya? Tukang Pizza? Mungkinkah? Tapi aku tak memesan, atau mungkin tetangga
sebelah?. Ketika aku membuka pintu, seseorang bertopeng membekap mulutku, dan
aku lemas seketika, semuanya terasa gelap. Tak lama kemudian aku membuka mataku
dengan terasa berat, aku lihat lampu-lampu kristal dan cat warna merah muda
menghiasi ruangan ini, tapi aku dimana? Kulihat bajuku, bajuku berubah menjadi
gaun putri, kulihat ada 2 bungkus cokelat dan buku harianku tergeletak
dihadapanku, aku semakin tak mengerti, kemudian ada suara yang mendekatiku.
“Claudya, maafkan saya ya! Saya memang
keterlaluan, saya tahu semuanya tapi saya bingung harus bagaimana, sejak awal
pertama saya melihat kamu, hati saya jadi ga karuan, saya bingung harus
bagaimana dihadapan kamu, ya sudah saya putuskan untuk bertindak menyebalkan.
Saya memang kejauhan, saya memang salah, maafkan saya Claudya. Saya jatuh cinta
sama kamu, sejak awal ketemu, sejak kamu nyebrangin orang hamil, sejak saya
baca buku harian kamu, sejak saya tahu kesabaran kamu, saya memang salah.
Kemarin, ketika kamu pergi kamu meninggalkan buku harian kamu di ruang ganti,
saya semakin yakin dengan perasaan saya setelah membacanya, terlebih kamu
adalah orang yang menemani saya saat kemarin saya sempat kesakitan. Tadi pagi,
saya menculik kamu, karena saya bingung harus ungkapkan rasa lewat bagaimana,
kalau diajak ketemuan saya takut kamu menolak, ya sudah jadi saya culik aja”
Seketika aku langsung menangis, masih
tak percaya ini terjadi. Kemudian para karyawan toko pun termasuk Chef Jack dan
Resti muncul dari dapur dan mereka semua memegang poster bertuliskan “Smile
You, Claudya”. Aku langsung menangis, dan Pa Bos kemudian memberikan tangannya
untukku, namun kemudian dia menutup mataku dengan kain lalu aku dituyunnya
untuk berjalan. Entah aku dibawa kemana, yang pastinya terdengar sedikit
bising, aku seperti sedang menaiki sesuatu, kemudian aku merasa sedang
diangkat, kemudian Pa Bos membuka tutup mataku.
“Tarammmm, Claudya lihatlah semuanya
biru, dan merah mudanya adalah kita”
Aku tak percaya, aku bahagia sekali, aku
dan dia sedang ada di balon udara, kami terbang, balon udara yang bertuliskan
namaku dan namanya, kemudian ada gambar menara Eiffel di balonnya, di keranjang
tempat aku dan dia berdiri pun, gantungan menara eiffelnya banyak, aku sangat
terpesona.
“Jangan takut naik ke atas awan lagi ya,
Claudya. Lupakan semua traumamu, sekarang ada saya yang akan selalu menjaga
kamu”
“Terimakasih Pa” aku menjawab dengan
malu-malu.
“Ko manggil Pak sih? Kamu sudah ga jadi
karyawan toko lagi!”
“Serius Pa? jangan pisahkan saya dengan
cokelat-cokelat itu pa”
“Kamu tak akan pernah terpisahkan dengan
cokelat, sekalipun kamu tak menjadi karyawan lagi disini”
“Maksud Bapa?”
“Will you marry me?” Dia melamarku
dengan memberi bungkusan pita merah muda berisi coklat bentuk cincin dan coklat
bentuk menara Eiffel. Aku langung memeluknya pertanda setuju dan diudara itu
kami bahagia, aku tak takut lagi naik ke atas awan. Aku menikmatinya, aku
sekarang sudah tak sendiri lagi, aku sudah punya sandaran. Aku begitu bahagia
sekali. Kemudian, dia menyuapiku cokelat dan aku hanya tersenyum malu.
Impianku kini sudah terwujud
Seluruh rasaku telah terbalas
Kini dia ada disampingku
Dan cerita ini manis seperti cokelat
How Precious you are, my darl!
Di balon udara aku dan dia merah muda
Bersatu padu ditengah kebiruan awan
Sungguh aku bahagia!
Cerpen yang berjudul "Precious Chocolate" merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Ambiwwa Novita.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Precious Chocolate | Ambiwwa Novita"