Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Sedih - Mimpi Lastri | Cay Cuy

cerita pendek tentang mimpi
Mimpi Lastri - Cay Cuy

Gadis yang masih cukup belia itu mendesah, bingung dan bimbang bagai dilema menguntit nuraninya. Pertanyaannya, apa yang harus dia lakukan sekarang dan selanjutnya.

Haruskah dia menyesali semua ini.

Wajahnya menunduk lusuh, menatap dinding kusam gubuk tua tanpa penghuni di pinggiran kota yang entah berada dimana, tatapannya hampa.

Sesekali matanya gelisah tertuju pada wajah polos bayi mungil yang dengan susah payah bisa ia tidurkan setelah seharian penuh merengek dan menangis.

Namanya Lastri. Gadis muda yang belajar nekad karena terdorong rasa sakit hati.

Dendam kadang membutakan mata, bahkan untuk gadis polos seperti Lastri.

Sesungguhnya Lastri takut, kadang ia ragu dengan apa yang sedang di lakukannya sekarang, tetapi jiwanya terus di bisiki sisi lain dirinya yang tersakiti, orang-orang itu harus mendapatkan pelajarannya, agar tak lagi bertingkah semena-mena, bersikap sok kuasa.

Mereka harus tahu rasa sakit dan ketakutan itu seperti apa.

Peperangan berkecamuk pada batin terdalamnya.

Sekali lagi Lastri mendesah. Ah tidak, dia mengerang kesakitan saat tanpa sengaja luka bekas sundutan bara rokok di pahanya tergesek kain celana panjangnya yang tebal, itu hanya beberapa luka kecil yang banyak terdapat di tubuhnya yang penuh lebam.

Perih dari luka-luka itu masih bisa di tahannya namun tidak untuk luka menganga di jiwanya, luka tentang harga diri yang tercampakan dan dihinakan. Terlalu perih.

Dan itu semua karena mereka, orang-orang yang tak berkeprimanusiaan.

Karena mereka juga, gadis lugu dari kampung terpencil seperti Lastri kini harus menyandang status Buronan Penculikan Balita.

Takdir kah ini, Lastri merintih.

Berawal dari impiannya untuk bisa hidup lebih baik, betapa senangnya jika dia juga memiliki perhiasan serta baju-baju indah seperti kepunyaanya Mirah teman sekampungnya, Lastri memutuskan menerima bujukan Mirah untuk mengadu nasib di suatu kota impian, kota besar yang penuh janji keindahan. Itu kata Mirah tentang Jakarta.

Berbekal do’a Ibunya yang sudah tua dan janda, Lastri menuju Jakarta membawa harapan dan impian.

Oleh Mirah, yang di kampungnya terkenal sudah sukses di Jakarta itu, Lastri di perkenalkan pada seorang perempuan cantik dan berkilau yang kulitnya selicin porselen dan berambut bulu jagung, pakaiannya lebih indah dan bagus daripada kepunyaan Mirah, Lastri terpesona.

Perempuan cantik ini yang akan menjadi majikan Lastri, beritahu Mirah pada Lastri.

Seperti yang di janjikan temannya itu, Lastri akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, seperti pekerjaan Mirah selama ini tentunya.

“Baik-baik kerjane yo Las, kowe sing bener-bener ngabdi pada majikanmu, ngati-ngati, jaga tingkahmu disana yo..” Itu pesan Mirah saat perempuan itu setuju memperkerjakan Lastri dan segera membawa gadis itu ke rumahnya.

Gadis lugu itu mengangguk mantap dengan senyum cerah penuh impian.

Di bawanya Lastri ke rumah perempuan itu, rumah yang cukup besar dan indah, lagi-lagi Lastri harus terbengong-bengong melihatnya, jika di bandingkan dengan gubuknya di kampung, rumah ini layaknya istana di mata si lugu.

Ternyata di rumah besar yang di padati perabotan cantik serta mahal itu, di dalamnya Lastri juga mendapatkan tiga nyawa lagi selain perempuan majikan yang membawanya, mereka terdiri dari suami perempuan itu yang terlihat pendiam, satu anak laki-laki yang sudah duduk di kelas Enam SD, dan satu bayi berumur 13 bulan.

Pada awalnya Lastri sangat senang tinggal di rumah itu, betapa dia sangat kerasan, apalagi dia mendapatkan kamar sendiri yang dindingnya tembok semua dengan kasur yang empuk, sesuatu yang tak di milikinya di kampung, bukankah di rumahnya di kampung dia mesti sekamar ramai-ramai dengan ke lima adiknya, berdesakan dan sungguh pengap.

Di rumah ini segalanya terasa luas, bersih, dan makanannya pun enak-enak, oh ternyata begitu menyenangkan hidup menjadi orang kaya itu.

 

“Mungkin ini bagai di surga” si lugu itu mendesah riang dan semakin penuh mimpi.

Namun segala kesenangan itu tidaklah berlangsung lama, dalam sekejap Lastri merasakan neraka di balik keindahan surga khayalannya.

Perangai majikannya itu mulai menunjukan aslinya, di balik kecantikan dan keanggunannya, perempuan itu adalah sosok pemarah dan sangat keras, seakan tak mempunyai hati di dalam tubuhnya, sisi bengisnya sungguh membuat Lastri ketakutan setengah mati.

Setiap harinya dia selalu mengomel dan mencaci maki, perkataannya sangat tak enak di dengar dan menyakitkan hati, setiap yang di kerjakan Lastri selalu salah di matanya, dan jika Lastri membuat kesalahan sedikit saja hukuman pasti langsung di dapatnya.

Hukuman yang sangat berat dan menyakitkan.

Caci maki menjadi sarapan paginya, tamparan dan pukulan adalah makan siangnya, tubuh Lastri semakin kurus dan rapuh dan sungguh tak berbentuk lagi karena luka di dimana-mana.

“Kamu itu bisa kerja tidak, dasar gadis kampung bodoh, ibumu juga pasti sangat bodoh karena sudah melahirkan anak sebodoh sepertimu, kerja yang benar atau kau tau akibatnya, dasar kalian sampah..” Bentak perempuan itu suatu ketika saat Lastri tak sengaja menumpahkan air kotor bekas dia mengepel karena ia terlalu lelah dan lapar.

Dalam kesehariannya Lastri hanya di beri makan satu kali pada malam harinya saat semua pekerjaan telah selesai, dan sang majikan lelah menyiksanya.

Sepiring makanan sisa harus ia telan demi berharap tetap hidup.

Perih hati Lastri mendengar semua caci maki itu, apalagi Ibunya ikut di hina juga, biarlah dia bisa menerima setiap hinaan untuknya tapi tidak untuk Ibunya, kemarahan membekas di hati Lastri hingga sedikit demi sedikit berkarat, membentuk kebencian yang mewujud jadi dendam.

Namun Lastri tak bisa berbuat apa-apa, hanya pasrah dan mengelus dada, dan menanti kesempatan tiba. Entah ada.

Pernah juga Lastri dengan terpaksa harus memakan muntahan anak bungsu sang majikan, kala itu anak majikannya sedang sakit dan Lastri di perintahkan membuat bubur dan menyuapinya, namun sepertinya perut gadis kecil itu tak menerima asupan bubur itu dengan baik, anak itu mual-mual dan memuntahkan semua yang di makannya.

Perempuan itu sangat marah dan menuduh Lastri telah memasukan sesuatu yang buruk pada bubur itu, dengan murkanya dia menghukum Lastri, di suruhnya Lastri memakan muntahan anaknya, Lastri menggeleng mual, namun dengan paksa majikannya menjejalkan muntahan itu ke mulut Lastri dan membekap mulut gadis itu kuat-kuat, mau tak mau Lastri harus menelannya, sungguh tak enak, rasanya aneh dan perut Lastri melilit.

Lastri menangis, namun tak ada air mata lagi yang ia punya.

Penderitaan demi penderitaan terus di laluinya tanpa berdaya, beberapa kali Lastri minta pulang namun hanya di sambut pukulan dan cacian, juga ancaman mengerikan dari sang majikan.

Kabur.

Andai bisa dan ada kesempatan, dia terus bermimpi dan berdoa tentang itu, entah kapan.

Bunuh diri.

Pernah terlintas, cukup baik untuk menghentikan penderitaan, namun wajah ibu dan adik-adiknya segera menghentikan putus asa itu.

Lastri masih punya sedikit iman di dada.

Tiada lagi mimpi-mimpi indah, Lastri sudah menguburnya sedalam mungkin, bahkan khayalannya pun semakin samar dan buram.

Dia tak ingin apapun lagi. Tak ingin hidup lebih baik. Tak ingin perhiasan dan baju-baju indah.

Tidak lagi. Tak mau berpikir aneh lagi.

Yang Lastri inginkan saat ini pulang ke kampung halaman, bertemu dan kembali tinggal bersama Ibu serta adik-adiknya, walau miskin itu tak mengapa karena Lastri bahagia.

“Oh Mirah.. Dimana kowe, nggawa aku balik maning, aku wiss ndak kuat..” Setiap malam dalam hati Lastri menjerit pilu.

Lastri benci majikannya, Lastri benci orang-orang kaya tak punya hati, Lastri benci Jakarta.

Satu malam yang sunyi, malam yang terasa sangat panjang untuk Lastri, dia gelisah karena dia sedang menyusun rencana, dia pikir tak mungkin terus diam dan takut, dia harus bergerak, demi hidupnya.

Dan malam ini saat yang tepat, suami istri sang majikan sedang menghadiri undangan pesta temannya, hanya ada dua anak kecil di rumah ini selain dia tentunya yang di kunci di kamarnya.

Siang tadi sebuah Obeng telah dia selipkan di kutangnya yang ia dapat dari gudang, dan kini Obeng itu sedang di gunakannya untuk mencongkel pintu kamar, dia harus kabur malam ini dan tekad itu sudah bulat, Lastri lelah terus di siksa.

Dengan susah payah pintu kamar berhasil di bongkarnya walau dia harus menahan perih dan luka bakar di tangannya kembali berdarah, kini dia beralih ke pintu dapur, dengan segala upaya pintu itu di bongkar hingga terbuka, keringat bercucuran namun Lastri bernafas lega, samar senyum itu kembali setelah beberapa lamanya tergantikan tangis dan rintihan.

Tergopoh dengan tubuh kurusnya yang ringkih dia keluar dari rumah sialan itu, namun sesaat dia berdiri di luar, ada yang kurang dia pikir, ada yang lupa tak ia bawa, pembalasan.

Seseorang berbisik dalam hatinya, haruskah dia pergi begitu saja meninggalkan jahanam-jahanam itu tenang-tenang saja, tidak, mereka harus merasakan yang selama ini ia derita.

Dilema itu segera sirna.

Lima menit kemudian Lastri terburu menyusuri kegelapan dengan seorang balita yang lelap di gendongannya.

Cerpen yang berjudul "Mimpi Lastri" merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Cay Cuy.

Posting Komentar untuk "Cerpen Sedih - Mimpi Lastri | Cay Cuy"