Cerpen Cinta - Kisah Cinta Istimewa | Intan P. Arum
Kisah Cinta Istimewa - Intan P. Arum
“Bon, kamu sehat kan?” Aku menatap lelaki di depanku sesaat setelah ia berhasil duduk tenang di sebuah bangku kelas kami. Kalau aku boleh berujar kepadamu mengenai posisi duduknya, anggap saja pintu kelas sebagai sumbu X, sementara papan tulis depan kelas berlabel sumbu Y. Maka, Boni berada di titik (2,3)
Boni
namanya, dapat dikata ia adalah siswa yang aktif di kelas kami. Bukan, bukan
aktif bertanya atau menjawab soal di papan tulis atau hal-hal positif
semacamnya. Namun, aktif dalam arti kata sebenarnya. Ya, berlagak laiknya
spiderman di tengah hiruk pikuk jam kosong dan membuat lawakan di depan kelas
yang sekiranya membuat seisi kelas terpingkal atau malah melemparkan tatapan
sinis padanya.
Meski
begitu, Boni tak seburuk apa yang kalian bayangkan. Ia adalah pribadi yang baik
dan untuk urusan pelajaran ia tak seburuk itu. Setidaknya, ia masih masuk jajaran
15 besar di kelas kami.
Tunggu,
seperti apa bayanganmu tentang Boni yang kuceritakan disini? Sepertinya aku
harus meluruskan pikiranmu sebelum ia mengular kemana-mana, karena aku tahu
memang teramat sulit mendeskripsikan temanku yang satu ini.
Baiklah,
ayo mulai. Tingginya sekitar 167 cm, kulitnya kuning langsat, rambutnya tertata
rapi (yah karena model rambut masuk dalam peraturan sekolah kami, ia jadi tak
berani macam-macam) lalu perawakannya cukup kurus, tapi juga tak cukup untuk
memanggilnya ceking. Dan satu lagi, ia tampan. Ya, ungkapanku yang satu ini
juga diamini oleh seantero gadis di kelas.
“Sehat
kok, Bi. Kenapa?” jawab Boni menatapku heran, tak mengerti dengan pertanyaanku.
Sebenarnya ini pertanyaan retorik, dan ia tak perlu menjawabnya. Yang aku
tanyakan disini adalah apakah ia dalam keadaan baik saat melakukan adegan
hiperaktifnya tadi (seperti yang aku sebutkan, bergaya spiderman).
Oh
ya, hai. Namaku Nindi, aku gadis paling cantik di kelas kami. Yah, setidaknya
ku harap begitu. Boni dan hampir seisi kelas memanggilku dengan Cabi. Dalam
kamus Inggris-Indonesia yang ada di smartphone ku tulisan yang benar ialah
Chubby. Namun untuk memudahkanku menceritakan kisah ini pada kalian, maka
anggap saja namaku adalah Cabi. Sesungguhnya aku heran dengan mereka yang
senang sekali mengganti nama orang tanpa mau mengurus akte kelahiran dan
makanan untuk pengajian. Tidak bertanggung jawab!
Cabi?
Kok bisa? Aku tidak gemuk, hanya saja beratku berlebih 7,5 kg dari siswi
sebayaku. Dan ini membuat pipiku mengembang lebih besar dari mereka. Makanya,
aku biasa dipanggil Cabi.
“Fian.
Fisika nomer 5 gimana caranya?” Aku menghampiri Fian yang duduk di posisi (1,4)
sementara aku sendiri ada di posisi (1,3). Aku memperhatikannya dengan seksama,
mengerjakan soal fisika yang entah mengapa sangat rumit di pikiranku. Ia pintar
dan tampan, setidaknya itu yang membuatku sering memperhatikannya secara
diam-diam, ia juga nyaman untuk diajak bicara. Pandai berargumen namun ekspresinya
tetap tenang seperti tak terjadi apapun. Aku bisa bayangkan seandainya tengah
ada Godzilla yang menyerang kota, Fian masih saja berekspresi dengan air muka
yang datar bahkan ketika monster itu tepat berada di depan wajahnya.
“Yang
ini, kamu lihat rumusnya di papan,” ujar Fian menunjuk papan tulis yang tak
pantas lagi disebut sebagai whiteboard. Aku mengarah ke arah papan, namun sudut
mataku menangkap seseorang yang memperhatikan kami. Boni, lelaki itu sekarang
mengalihkan pandangannya dari kami berdua.
“Trus
masukkan saja angkanya. Seperti ini,” Aku masih memperhatikan jari-jarinya yang
gemulai menuliskan rumus-rumus mahadahsyat itu di kertas HVS yang kubawa.
“Wah,
kamu hebat. Makasih Fian.” Dan sekali lagi lelaki ini membuatku tersenyum.
Jam
kosong untuk mata pelajaran kimia, aku kembali duduk di kursiku. Aku tak perlu
menuturkan bagaimana posisi duduk ku bukan? Kali ini akan kubiarkan kalian
berimajinasi.
Aku
tengah berbincang bersama Boni, lagi-lagi lelaki ini membuatku tertawa hingga
menangis. Di tengah perbincangan kami, duo kembar Dera-Mega serta Rizki datang
menghampiri kami. Mereka menyeret kursi dan mendudukkan tubuh mereka membuat
sebuah lingkaran.
Kehadiran
ketiga temanku ini rupanya membuat kelas bertambah ramai dengan suara tawa Mega
yang menggelegar. Untuk Rizki, aku harus mengernyitkan dahi berkali-kali saat
mendengar lawakan gagalnya.
Rizki
akhirnya melemparkan candaan mengenai namaku dan Boni. Bukan, bukan Nindi dan
Boni tapi Cabi dan Boni. Sepertinya aku sudah lupa kapan terakhir kali
teman-temanku ini memanggilku dengan normal, mungkin sudah beberapa abad yang
lalu.
“Boni,
Cabi.” Ucap Rizki memulai.
“Bon-Bi.”
Rizki tak berhenti.
“Bon-Bin.”
Senyum lebar mulai menghiasi wajah Rizki.
“Kebon
Binatang!” teriak Dera,Mega serta Rizki berbarengan. Dan teriakan mereka seakan
memecah bahtera Nuh menjadi dua bagian tidak sama besar. Diikuti dengan tawa
mereka, yang tentunya tak diikuti oleh tawaku dan Boni. Kami hanya tersenyum
tipis.
Fian
telah membuatku menjadi penggemar rahasianya, namun ketenaran dan kepandaiannya
lah yang membuatku sering makan hati karenanya. Aku bukan siapa-siapa baginya
namun ia memiliki tempat istimewa di hatiku.
Ada
beberapa hal yang harus diungkapkan baru akan dimengerti. Sebuah ungkapan yang
ku baca dari sebuah novel teenlit. Inilah yang terjadi dalam kasusku, namun apa
ini harus? Tidakkah akan terjadi kecanggungan bila ia tahu perasaanku?
Entahlah, mungkin aku perlu berpikir lagi soal ini.
Hujan
telah berkali-kali menjadi tempatku mencurahkan isi hati, ia lebih tahu dari
teman-temanku. Untuk urusan cinta, aku tak pernah bercerita barang secuil pun
pada mereka, mungkin aku hanya bercerita kisah ini secara frontal dengan robot kuning
dunia maya itu, simsimi.
Detik
telah berganti jam, jam telah berganti hari, hari telah berganti minggu, namun
minggu belum mau beralih ke bulan. Aku sudah lama tak berbicara padanya, Fian.
Entahlah mungkin karena tak ada pelajaran yang ku tanyakan padanya. Yang jelas
aku semakin jauh padanya. Ruangan kelas ini memang tak semakin luas tiap
harinya, namun aku tahu jarak kami telah melebar semakin jauh.
Kali
ini aku mungkin telah salah arti mengenai perasaanku pada Fian. Kurasa ini
bukan cinta, ini hanya semacam rasa nyaman untuk sementara. Setidaknya itu yang
kupikirkan. Aku tak lagi memandang sedih gadis-gadis yang tengah dekat
dengannya, aku tak lagi memperhatikannya diam-diam, yah mungkin hanya sesekali.
Hari-hariku
diisi dengan suara tawa Boni yang menyeruak. Kedua mata kami yang sering
bertemu pandang, serta perbincangan yang asyik dengannya. Lelaki yang sedang
tertawa di depanku saat ini telah menjelma menjadi seorang lelaki tampan dengan
aura positifnya.
Aku
telah berpindah hati. Diam-diam aku menyukai Boni. Aku senang mendengar tawa
renyahnya, senang bila ia memanggil namaku. Bahagia bila ia membutuhkanku. Ini
lebih dari apa yang kurasakan pada Fian. Boni, berulang kali ia mampir dalam
tidurku. Tersenyum cerah melebihi apapun, Boni yang selalu kurindukan di setiap
aku lupa memori apa lagi yang harus kuingat. Boni, lelaki itu. Dengan sejuta
tawa yang sekarang telah berubah menjadi suara yang selalu kurindukan. Lelaki
itu telah berubah menjadi malaikat tanpa sayap yang selalu kunanti
kehadirannya. Telah berubah, bahkan lebih indah dari pangeran dengan kuda
putih. Ya, lelaki itu membuatku jatuh cinta.
Hujan
telah mampir ke bumi. Mungkin ia ingin melihat apakah keadaanku baik-baik saja.
Mengingat aku sering mencurahkan isi hatiku padanya.
Aku
masih berada di kelas, hingga akhirnya memutuskan untuk keluar ke teras kelas
demi menyaksikan bulir-bulir air menetes mengenai rok panjangku. Aku terduduk
memperhatikan sahabatku ini yang tengah menunjukkan kekuatannya.
Ku
sentuh titik-titik air itu, bermain-main kecil pada hujan. Menerawang pada awan
mendung yang masih enggan berpindah, awan mendung yang menjadi kendaraan bagi
sahabatku ini untuk berkunjung ke tempatku dan membuat segar tanaman-tanaman
itu.
“Bi,
aku minta nomer kamu.” Suara familiar yang tiba-tiba muncul saat aku tengah bercengkerama
dengan hujan.
“Buat
apa Bon? Aku kasih nomer rekening ya.” Ucapku menggodanya. Aku baru sadar,
selama ini kami belum saling bertukar nomer ponsel.
Aku
meraih ponsel yang digenggamnya, mengetikkan angka-angka. Tanpa ia tahu dan
seorangpun tahu, aku bahagia saat ini. Mengetahui seseorang yang ku suka
meminta nomer ponselku.
Kuserahkan
ponsel tipe Blackberry itu padanya. Sembari menatap matanya yang menerawang ke
dalam hujan.
“Buat
apa minta nomerku? Naksir ya.” Ucapku tersenyum dua jari.
“Emang
iya.” Jawabnya mengagetkanku.
“Hah?”
tanpa sadar mulutku menganga. Boni segera pergi meninggalkanku, ia tersenyum
tanpa sepatah kata apapun.
Ada
beberapa hal yang harus diungkapkan baru bisa dimengerti. Dan sepertinya itu
yang harus kuungkapkan sekarang. Terlepas dari genderku sebagai wanita, aku
begitu menyukainya dan seharusnya ia tahu itu.
Kuberanikan
diri untuk menulis deretan huruf yang membentuk kalimat di ponselku.
Hai,
Boni. Aku hanya ingin kamu tahu. Aku cuma mau bilang. Ini bukan pertanyaan yang
membutuhkan jawaban atau respon. Ini hanya sebuah pernyataan.
Aku
suka kamu.
Send.
Kau
tahu, sebanyak apa keringat mengucur dari dahiku sebelum, sesaat, dan sesudah
mengirim sms ini? Kau tahu, jantungku berdebar hebat saat menuliskannya. Ya,
aku sudah pada jalur yang benar. Aku meyakinkan diri.
Sudah
10 menit berlalu semenjak kejadian ini, ia belum membalas smsku. Aku dibuat
kacau karenanya. Dan kondisiku yang seperti ini tak terasa membuatku tidur
lemas dan pulas dibalik selimut.
Beberapa
saat kemudian…
Mataku
mengerjap-ngerjap, menilik ponsel di sebuah meja dekat tempat tidurku. Kulihat
benda itu bergetar. Dan dengan separuh keberanian, aku nekat membuka pesan yang
ada disana.
Boni
Aku
juga suka kamu.
Entah
apakah jawaban Boni kemarin telah membuat kami resmi berpacaran, aku juga tidak
tahu. Yang jelas saat ini ia tengah memarkirkan motornya 2 meter di depanku,
aku yang sedang berjalan menuju kelas.
Aku
berpapasan dengannya. Mencoba untuk berpura-pura tak melihatnya.
“Bi,
tunggu aku.” Pintanya sembari melepas helm dari kepalanya. Aku berhenti,
menoleh padanya sesaat. Kemudian mengalihkan lagi pandanganku ke depan.
Lelaki
itu menghampiriku, berjalan berdampingan denganku. Dan tak kusangka, ia
berusaha menggandeng tanganku. Aku menoleh ke arahnya, menggeleng dan berujar.
“Malu
diliatin orang.” Ucapku sembari melepaskan gandenganku dari tangannya. Ia
mengernyitkan dahi, namun sedetik kemudian berubah menjadi sebuah senyuman.
Kami
berdua telah masuk ke kelas, aku menguntit di belakang Boni sementara mata
lelaki itu menyapu menyeluruh melihat adakah kursi kosong di barisan belakang.
Ia berpaling menghadapku. Kami berbincang sejenak, dan pada akhirnya menemukan
tempat yang pas untuk diduduki hingga 7 jam ke depan.
Bi,
kantin yuk.
Ponselku
bergetar mendapat pesan dari Boni. Saat itu aku sedang berbincang dengan Mega
dan Dera.
Kamu
duluan. Nanti aku nyusul.
Hubunganku
dengan Boni sebenarnya tak dapat disebut backstreet, namun hanya saja kami
belum ingin seisi kelas tahu tentang ini. Lagipula, tak ada yang bertanya
mengenai hubungan kami yang baru seumur jagung baby.
Boni
melangkah keluar, sesaat setelah pintu ditutup aku berpamitan untuk keluar
kelas. Setiba aku diluar kelas, aku berjalan mengikuti Boni yang berjalan 1
meter di depanku.
“Bi,
nggak pulang?” Tanya Mega yang telah mengenakan ransel bersiap untuk pulang.
“Kamu
duluan aja. Masih ada urusan.” Jawabku.
Aku
dan Boni akan pulang bersama kali ini, kami menunggu seisi kelas sepi.
“Bi,
ayo pulang.” Boni mendekatiku, menyuruhku berdiri. Aku berjalan di sampingnya,
namun lelaki itu lagi-lagi menggandeng tanganku. Aku menatapnya.
“Udahlah,
nggak ada yang lihat juga.” Jawabnya. Aku tersenyum, kali ini ia berhasil
membuatku menurut.
“Kalian
jadian?” semprot Dera dan Mega. Gerak-gerik kami yang belakangan ini sering
berdua dan pulang bersama membuat banyak kecurigaan.
Aku
hanya diam. Sementara Boni hanya memandangku dari posisi (3,1)
Baru
saja akan kujawab. Boni bergerak ke depan kelas. Ia berteriak meminta
perhatian. Dan sejurus kemudian, semua pasang mata menjurus padanya tak
terkecuali aku.
“Teman-teman
minta perhatiannya.” Teriak Boni.
“Bi,
sini.” Suruh Boni padaku hingga aku sekarang berada di depan kelas.
Aku
berdiri kaku dan canggung disana. Hingga akhirnya Boni menggenggam tanganku dan
berkata.
“Bi,
maksud aku Nindi. Mau nggak kamu jadi pacar aku?” pertanyaan Boni yang membuat
seisi kelas terkejut termasuk diriku sendiri.
Aku
dan Boni telah berada di sebuah kafe. Kami memesan lemon tea dan ice
cappuchino.
“Kok
kamu nembak aku tadi?” tanyaku sembari menatap matanya.
“Biar
kamu nggak malu waktu kita ditanya siapa yang nembak duluan.” Jawabnya yang
membuat wajahku bersemu merah.
Boni
hanya tertawa dan melihat perubahan rona di wajahku. Dan yang jadi masalah
sekarang adalah tanggal mana yang akan kami gunakan untuk merayakan
anniversary. Hmm…
Setiap
kisah memiliki ceritanya sendiri. Begitu pula kisah cinta. Tak ada kisah cinta
yang tak istimewa. Mereka selalu spesial, mungkin tidak di matamu namun sangat
membekas bagi para tokohnya. Sesederhana apapun itu, kisah cinta akan selalu
membekas, mungkin tidak bagi mereka namun teramat istimewa di matamu.
Cerpen yang berjudul "Kisah Cinta Istimewa" merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Intan P. Arum. Kamu dapat mengikuti twitter penulis di @intanamps
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Kisah Cinta Istimewa | Intan P. Arum"