Cerpen Kehidupan - Gara-Gara Buruk Sangka | Nurul Handayani
Gara-Gara Buruk Sangka - Nurul Handayani
Aku terus berlari tanpa memedulikan panggilan kawan-kawanku yang masih asyik bermain voli di lapangan sekolah. Aku tidak ingin pulang terlambat lagi. Ibuku pasti cemas jika aku belum sampai di rumah maghrib nanti. Dari jauh aku melihat kereta yang menjadi harapan terakhirku untuk pulang telah penuh sesak.
Setelah berhasil mendapat karcis aku
segera menerobos orang-orang yang bergelantungan di pintu kereta. Benar
dugaanku. Tidak ada lagi tempat duduk yang tersisa. Aku menggerutu dalam hati
melihat pria-pria muda yang duduk dengan nikmatnya tanpa peduli
padaku-setidaknya pada ibu-ibu yang ribet dengan balita mereka. Kan kasihan…
Kereta mulai melaju meninggalkan ibukota
yang sibuk ini. satu per satu stasiun terlewati. Akhirnya aku berhasil mendapat
sedikit jatah tempat duduk. Tak apalah, badanku juga kecil kok. Pada saat yang
bersamaan, seorang wanita yang kutaksir seusia dengan ibuku naik dan berdiri
tepat di hadapanku. Ia terlihat amat cantik dengan baju ala kantoran berwarna
hijau menyejukkan mata yang memandangnya. Kulitya yang putih nampak bersih
bahkan kukunya pun amat cantik. Aku rasa ia rajin melakukan perawatan di
salon-salon yang mahal di Jakarta.
Penampilannya amatlah kontras jika dibandingkan dengan ibuku. Wajah ibuku sudah dipenuhi kerutan akibat terlalu banyak pikiran dan beban kehidupan. Tangannya pun tak semulus tangan wanita ini. Bisa kalian bayangkan kasarnya tangan yang dipakai untuk jadi buruh cuci lebih dari 10 tahun? Begitulah kiranya tangan ibuku. Aku juga belum pernah melihat ibuku memakai pakaian sebagus wanita necis di hadapanku ini.
Ia
menjinjing dua bungkusan besar bermerk sebuah mall terkenal di Jakarta. Aku
tahu mall itu. Aku pernah diajak teman-teman sekolahku ke sana. Tentu saja yang
kulakukan hanya melihat-lihat. Lain halnya dengan temanku yang hobi belanja. Ia
memborong apa saja yang menarik hatinya.
Aku melihat wanita itu merasa risih
dengan kondisi kereta yang sesak dan bau keringat yang bermacam-macam berbaur
menjadi aroma yang entah apa namanya. Ia juga nampak kesulitan karena tangan
kanannya menjinjing kedua bungkusan tadi sedangkan ia berpegangan dengan tangan
kirinya yang juga digunakan untuk menenteng tas lainnya.
Aku heran mengapa tak ada keinginan
sedikit pun dalam hatiku untuk merelakan tempat dudukku ini padanya. Tiba-tiba
saja aku menjadi egois seperti anak muda yang kuumpat dalam hati tadi. Aku
malah merasa muak melihatnya yang risih, tidak nyaman, bahkan seolah jijik
melihat tempat ini. Aku rasa ini adalah pengalaman pertamanya naik kereta
ekonomi macam ini. Huh, kalau tidak biasa mengapa tidak bawa mobil sendiri
saja! Aku yakin di garasi rumahnya pasti berderet mobil-mobil mewah macam Ferrari,
Mercedes, Merci, de el el. Tapi kok mau-maunya sih dia naik kereta ekonomi yang
hampir seluruh penghuninya rakyat papa macam aku? Apa cuma niat gaya-gayaaan
doang? Niat pamer kekayaan? Pikiran burukku tentang wanita itu terus
bermunculan.
Aku tidak sadar wanita itu juga
memandangiku. Segera kualihkan pandanganku darinya tapi tidak lama kemudian aku
kembali memperhatikannya. Aku semakin tertarik melihat tingkahnya. Ia bahkan
enggan meletakkan bungkusan itu di bawah demi dilihatnya lantai kereta yang
kotor.
Tiba-tiba aku menyadari ada seorang
lelaki paruh baya terus memepet tas wanita itu. aku menyaksikan betul saat si
lelaki perlahan membuka tas wanita tersebut dan berusaha mengambil sesuatu dari
dalamnya. Saat itu sebenarnya aku ingin memberitahunya bahkan ingin rasanya
berteriak agar semua orang di gerbong ini tahu akan aksi kejahatan yang sedang
dilakukannya. Namun aku merasa bingung. Aku takut jika ternyata lelaki itu
membawa komplotannya. Atau bahkan membawa senjata tajam. Perasaanku tak karuan.
Aku ingin menolong tapi tidak ingin. Pikiran aneh mendadak muncul. Seketika aku
malah merasa senang. Aku tersenyum sinis memandang wanita itu. Biar dia rasakan
seperti apa yang namanya kesusahan itu! wanita itu terus menyeka peluh yang
bercucuran di dahinya. Rupanya ia tidak menyadari apa yang baru saja terjadi.
Lelaki tadi telah pergi dan berhasil membawa kabur dompetnya. Aku tidak tahu
dari mana datangnya pikiran jahat ini. Akan tetapi aku tidak sedikit pun merasa
bersalah padanya. Aku malah tertawa puas dalam hati.
Akhirnya kereta tiba di stasiun Bogor,
tujuanku. Aku menggantungkan tas sekolah yang sedari tadi kupeluk erat ke atas
pundakku. Ingin rasanya aku segera tiba di rumah untuk melapaskan rasa lelahku.
Di rumah, ibu menyambutku dengan lega karena aku pulang tepat waktu. Aku memang
terbiasa pulang tepat pada waktunya sehingga jika sehari saja aku terlambat
seperti kemarin ibuku akan langsung khawatir. Maklum, aku adalah putri ibuku
satu-satunya.
Baru saja aku hendak mandi, tiba-tiba
terdengar ketukan di pintu.
“Assalamu’alaikum.” Kudengar ada yang
memberi salam di luar.
Siapa yang bertamu magrib-magrib seperti
ini? Tanyaku dalam hati. Aku berlari ke arah pintu.
“Wa’alaikumsalam.” Jawabku.
Aku terkejut. Seorang wanita cantik
tersenyum padaku setelah kubukakan pintu. Hatiku deg-degan. Berbagai perasaan
berkecamuk dalam pikiranku. Aku takut. Apakah ia telah mengetahui tindakanku di
kereta tadi? Oh tidaaak! Jangan-jangan ia hendak melaporkanku ke polisi.
“Siapa, Put?” Ibuku muncul dari arah
dapur.
Aku mundur perlahan memberi kesempatan
pada ibuku untuk menyambut tamu asing ini.
“Rika, apa kabar?” Sambut ibuku begitu
melihat siapa yang datang.
“Kabar baik. Maaf ya terlambat, aku tadi
cukup kesulitan menemukan rumahmu.” Jawab wanita itu.
“Putri, kenalkan ini Tante Rika. Teman
ibu waktu SMP dulu.” Ujar ibu padaku. Wanita itu tersenyum padaku mengulurkan
tangannya.
“Sepertinya tante pernah lihat kamu deh
belum lama ini. Di mana ya, Put?” Ujarnya sambil mengedipkan mata.
Aku sungguh malu dan merasa bersalah.
Rupanya tante itu adalah Tante Rika, sahabat ibu yang sering diceritakan
padaku. Sayang, aku tak pernah melihat fotonya sehingga aku tidak mengenalinya
saat di kereta tadi. Kalian ingat dua bungkusan besar yang membuatnya kerepotan
tadi? Ah ternyata itu oleh-oleh untukku. Huh, coba saja tadi aku tidak terlalu
egois! Selepas magrib, ibuku dan Tante Rika asyik melanjutkan cerita mereka.
“Oh ya, tadi aku kecopetan di kereta.”
Ujar Tante Rika santai.
Jantungku serasa mau copot mendengarnya.
Jangan-jangan ia akan melaporkan tindakanku pada ibu. Oh no! Aku bisa mati!
Please dong, Tante, jangan bilang-bilang yah… aku memohon dalam hati.
“Apa? Bagaimana ceritanya?” Ibuku
terkejut.
Jangan…! Please…! Tolong jangan katakan
pada ibuku jika memang Tante tahu bahwa aku membiarkan lelaki itu mengambil
dompetmu. Biarlah hal itu jadi urusan kita berdua. Aku memejamkan mata, bahkan
aku menutup telinga. Aku tak sanggup mendengar kata-katanya.
“Tenang saja. Aku masih ingat apa yang
kamu sarankan terakhir kali kita naik kereta bersama.” Jawab Tante Rika tetap
santai.
“Jadi??” Ibuku masih penasaran rupanya.
Tapi aku juga penasaran apa maksudnya. Aku kan tidak tahu bagaimana ceritanya.
“Yah copet itu mengambil dompet yang
kosong, ha-ha-ha.” Ujarnya sambil tertawa.
Aish, sialan! Kalau tahu seperti itu aku
tidak menyesal deh mengacuhkan copet itu. Ya, tetap saja aku lega mendengarnya.
Rupanya Tante Rika tahu aku sedang menguping pembicaraan mereka berdua.
Lagi-lagi ia mengedipkan mata padaku dan tersenyum manis. Ih, Tante, genit
banget sih!
Ah, tetap saja aku benar-benar merasa
malu. Maafkan aku, Ibu. Maafkan aku, Tante.
Cerpen yang berjudul "Gara-Gara Buruk Sangka" merupakan sebuah cerita rakyat karangan dari seorang penulis yang bernama Nurul Handayani.
Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Gara-Gara Buruk Sangka | Nurul Handayani"