Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Horror - Sesingkat Pertemuan | Putu Anggalia Krisna Putri

cerpen horro
Sesingkat Pertemuan - Putu Anggalia Krisna Putri

KakaKiky - Hari ini aku melihat sosok itu lagi, sosok tinggi, tampan dengan kulitnya yang pucat. Wajahnya yang tampak sayu itu pun masih menyisakan sebuah senyum manis yang terlihat dipaksakan. Baju seragamnya tampak penuh dengan noda merah yang sudah mengering. Ya, aku tau itu pasti darah, dan aku juga tau dia bukan makhluk yang hidup sama sepertiku. Tapi kenapa dia di sini? di sekolah ini? apa dia salah satu siswa di sekolah ini? dan kenapa dia malah muncul di depanku? entahlah aku terlalu takut untuk bertanya.

Seperti hari-hari sebelumnya, aku hanya bisa menatapnya tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun padanya. Aku memang sudah biasa dengan indra keenam yang aku miliki dari lahir ini, aku juga sudah biasa berinteraksi dengan makhluk-makhluk yang tak kasat mata itu, tapi untuk kali ini mataku hanya dapat terpaku menatap sosok itu, mulutku bahkan tak mampu digerakkan. Sosok itu benar-benar membuatku terpesona. Ini benar-benar gila!

“Hey!!! bengong aja lo, nanti kesambet tau rasa lo!”

“Persetan” jawabku ketus

“Judes amat sih neng! eh tau nggak? katanya populasi hantu di sekolah ini semakin bertambah”

“Tau dari mana lo? gue perhatiin tetep segitu-segitu aja kok”

“Gue serius Ta, tadi pagi di toilet cewek ada yang ngeliat penampakan gitu” ucapnya lagi.

“Ran, dia memang slalu ada di sana, mungkin toilet itu udah jadi daerah kekuasaannya”

“Jangan bilang gara-gara itu makhluk, lo jadi trauma ke toilet”

“Hahaha… bisa jadi” jawabku sekenanya. Rani sahabatku ini memang sangat tertarik dengan hal-hal yang berbau horror, mungkin karena itu juga aku bisa nyambung ngobrol sama dia. Dia selalu tertarik saat aku menceritakan apa yang aku lihat selain di dunia manusia ini, percaya atau tidak, mitos atau fakta di antara 200 orang yang kita temui perharinya 2 diantaranya adalah sosok yang berasal dari dunia lain. Tapi lain halnya denganku, bahkan jika aku tidak bertemu 200 orang dalam perhari pun aku tetap bisa ngeliat sosok-sosok itu.

“Ran, lo tau siswa cowok yang tingginya sekitar 185, putih, rambut lurus ponian?”

“Cowok tinggi, putih, rambut lurus banyak kali di sekolah ini Ta, nggak ada yang lebih spesifik gitu? kelas misalnya atau nama bokap nyokapnya atau apalah?”

“Ran, serius. Masa gue harus tau nama nyokap bokapnya dia?” jawabku sewot

“Natalia Agatha, lo nyari cowok tinggi? tuh ada si Anto yang kayak tiang listrik, trus nyari cowok putih? ada si Beny yang putihnya kelewat langsat, trus apa lagi tadi? oh iya rambut lurus ponian? ada si Daniel yang poninya kayak Si Mail di kartun Upin Ipin”

“Duh, Ranisa Dwi Reswari, gue maunya yang digabung jadi satu kesatuan, bukan dipisah-pisah gitu. Kalau lo mau informasi yang lebih spesifik, intinya dia udah meninggal”

“Tinggi, putih, rambut lurus trus udah meninggal? Alex maksud lo?”

“Alex? lo tau siapa dia?”

“Siapa sih di sekolah ini yang nggak kenal Alex? Cuma elo doang deh kayaknya. Alex itu cowok brandalan yang kerjaannya tiap hari cuma berantem atau malakin adik kelas. Tapi denger-denger katanya dia berasal dari keluarga broken gitu. Bokapnya nikah sama janda muda, trus nyokapnya ditinggal gitu aja”

“Lo kok bisa tau detail gitu?”

“Gue gitu loh, asal lo tau Alex ganteng loh, sayang aja seminggu lalu dia meninggal ditabrak truk waktu pulang sekolah. Ngapain lo nanya gitu?”

“Dia gentayangan Ran” kataku bergetar

“Dia?” Tanya Rani penuh selidik

“Iya, Alex” seketika sosok itu pun menoleh ke arahku. Mata indahnya tampak nanar, ingin rasanya menyeka darah di bibirnya yang merah itu. Dia tersenyum, senyum yang menyakitkan. Jujur dia tampan.

Sepulang sekolah, aku kembali melihatnya. Kali ini Alex ada di taman duduk tenang di bangku panjang yang ada di tengah-tengah taman. Dengan tekad penuh akhirnya aku pun memberanikan diri untuk menghampirinya dan duduk di sampingnya. Tuhan lindungi hamba.

“Ngapain lo gentayangan di sini?” Tanyaku to the point, sosok itu tampak heran. “Jangan natap gue gitu dong, serem tau. Iya, gue bisa ngeliat elo”

“Lo beneran bisa ngeliat gue?” tanyanya penuh harap

“Harus nanya lagi?”

“Akhirnya ada yang bisa liat gue juga. Sendirian itu nggak asik” ucapnya santai “Boleh minta tolong nggak?”

“Minta tolong apa?”

“Tetap di sini, temenin gue bentar aja” katanya lalu merebahkan kepalanya dan menyender di bahuku. “Seminggu ini gue bener-bener ngerasa kesepian, nggak ada yang bisa diajak bicara bahkan tiba-tiba aja gue kangen guru killer yang ngajar gue”

“Kan lo bisa ngomong sama itu cewek penghuni kamar mandi, atau nggak lo bisa main sama bocah-bocah di sekolah ini”

“Gue hantu juga punya tata krama tau, masa gue masuk kamar mandi cewek, lo kira gue cowok apaan?” mendengarnya berbicara seperti itu spontan tawaku pun meledak.

“Lex, udah sore nih. Gue pulang dulu ya, besok ngobrol lagi” aku pun berdiri dan melambaikan tangan tanda perpisahan

“Tolong cari alamat ini”

Alamat siapa ini? kenapa Alex menyuruhku untuk mencari alamat ini? kenapa juga aku mesti menyanggupi permohonan hantu gentayangan yang suka bikin orang deg-degan itu?. Aku terus memikirkan kejadian tadi. Seandainya Alex masih hidup, mungkin aku tak akan sebimbang ini.

Keesokan harinya, setelah pulang sekolah aku pun mencari alamat yang dimaksud Alex, alamat itu tertuju pada rumah sederhana di salah satu kompleks perumahan di kotaku. Terlihat seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu halaman rumah sederhana itu.

“Permisi Buk, benar ini alamat rumah Bu Kara?”

“Iya dengan saya sendiri, ada apa nak?” Ibu itu segera menghampiriku.

“Ini Bu, ada pesan dari Alex” kataku seraya menyerahkan selembar surat

“Alex? apa dia sehat? sudah lama sekali Ibu tidak melihatnya. Kenapa nggak dia aja yang datang ke sini? ah anak itu pasti ribut lagi sama papanya” Ibu Kara atau ibu kandung Alex perlahan membaca surat itu. Sebenarnya itu surat murni tulisan tanganku, kan nggak mungkin hantu bisa nulis. Di dalam surat itu tertulis curahan hati seorang anak yang rindu akan kasih sayang orangtuanya. Curahan hati seorang anak yang tak mungkin bisa lagi membanggakan orangtuanya, dan curahan tentang bagaimana sayangnya Alex kepada ibunya.

Tubuh Bu Kara bergetar hebat, air matanya tak bisa dibendung lagi saat mengetahui anak yang selama ini ia besarkan sudah tiada. “Alex itu anak yang baik, dia anak yang kuat bahkan saat kedua orangtuanya berpisah pun dia tidak menangis. Sayang dia benar-benar keras kepala, dia tak ingin menerima kehadiran mama barunya. Dia menjadi anak brandal demi mendapat perhatian orang-orang di sekitarnya, Alex hanya seorang anak yang sangat haus akan kasih sayang orangtua. Anak yang amat malang” tanpa sadar aku pun ikut meneteskan air mata saat melihat Alex yang tengah mendekap Ibunya. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum mencoba menenangkanku yang mulai terisak.

Tak perlu waktu lama, aku dan Bu Kara berkunjung ke Pemakaman Bumi Setraya. Terukir indah nama “Ananta Alex Kanaya” di atas batu nisan. Setelah memanjatkan doa agar Alex bisa segera tenang di alam sana, kami pun pulang.

Sekolah ini terasa berbeda tanpa kehadiran sosok yang selama ini memanjakan mataku. Mungkin sosok itu sudah tenang di alam sana, semoga saja begitu.

“Ta, bisa tunggu gue bentar nggak? tiba-tiba disuruh Bu Atik buat ke ruang guru nih” kata Rani.

“Tentu” jawabku.

“Tunggu gue di taman ya, bye” setelah melihatku mengangguk, Rani pun melangkah menuju ruang guru.

Aku kembali duduk di kursi taman sekolah. Sesekali aku pun menoleh ke kursi kosong di sampingku, berharap dia datang. Padahal aku tau pasti itu tidak mungkin. Aku pun menengadah dan memejamkan mataku.

“Kangen ya sama gue?” bisik seseorang, aku pun membuka mataku dan menoleh ke sumber suara.

“Ruben? kapan lo datang dari Amerika?” tanyaku saat melihat sahabatku yang lain tengah berdiri di belakangku.

“Kok lo kayak kecewa gitu baru ngeliat gue? emang elo ngarepin siapa yang nyapa gitu?” tanya penuh selidik

“Apaan sih, yaiyalah gue kecewa. Elo balik nggak ngabar-ngabarin” jawabku bohong

“Maaf deh, gue baru balik tadi malem. Nih oleh-oleh buat lo” katanya sambil menyerahkan sebuah bingkisan, “Jangan ngambek lagi” kali ini sambil mengacak rambutku. Aku pun menunggu Rani ditemani Ruben.

“Cepet banget lo move on dari gue” mendengar suara halus itu aku pun menoleh. Alex dia masih di sini. Ngapain?

“Gue kangen elo” lanjutnya. Jantungku bergetar hebat, jujur aku pun juga sangat merindukannya.

“Gue juga kangen elo, kangen banget” kataku lirih, ruben menoleh ke arahku dan menatapku dengan tatapan bingung. Sementara Alex dengan tampang polosnya tersenyum dan menggenggam lembut tanganku.

“Maaf udah ngeropotin, makasi banyak buat semuanya. Bahagia terus ya. Aku pamit pergi” ucapnya lalu mencium lembut keningku. Air mataku tak tertahankan lagi. Aku menangis terisak. Walau bingung Ruben tetap menarikku kepelukannya, dan berusaha menenangkanku. Tenang di sana Lex. Janji, aku akan bahagia di sini. Tanpa kamu.

Cerpen yang berjudul "Sesingkat Pertemuan" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Putu Anggalia Krisna Putri.

Posting Komentar untuk "Cerpen Horror - Sesingkat Pertemuan | Putu Anggalia Krisna Putri"