Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Sedih - Sayap Bidadari | Nuriah Muyassaroh

cerita sedih
Sayap Bidadari - Nuriah Muyassaroh

KakaKiky - Tangan mungil itu menggenggam sang bunda dengan erat. Seakan berada dalam detik-detik perpisahan yang membuatnya kehilangan sosok yang sangat berarti dalam hidupnya. Seakan ia akan kehilangan sentuhan lembut yang selalu membuatnya nyaman setiap saat. Seakan ia tak akan lagi mendengar nyanyian yang selalu membuatnya tenang dan terlelap ketika beranjak tidur.

Butiran Mutiara kecil mulai menetes membasahi pipinya yang putih dan lucu. Air mata yang tak pernah bunda Fisha izinkan untuk mengalir. Karena Bunda fisha hanya mengajarkannya untuk tersenyum dalam keadaan apapun. Namun, tak ada yang menahan air mata itu, dan tak ada tangan lembut yang mengusapnya. karena tangan itu kini telah lemah, tak memiliki kekuatan untuk melakukan itu.

Hampir 3 hari, Gita yang masih berusia 8 tahun itu harus menunggu sendiri di kamar rumah sakit sang bunda yang penuh dengan aroma obat. Esok lusa, sang ayah baru bisa datang dari luar negeri. Ia rela meninggalkan sekolahnya demi sang bunda. Melakukan apapun yang bisa ia lakukan untuk bunda. Jika memang dengan di sampingnya yang bunda inginkan, maka ia akan sanggup menanti sekalipun mata bunda masih terpejam rapat dan tak mampu mengatakan itu.

Tak ada yang merawat gadis kecil itu. Rambutnya yana terurai kering berantakan, mukanya yang kusut karena selalu basah oleh air mata, dan pakaiannya yang tak pernah ganti semenjak bunda Fisha dirawat di rumah sakit. Tak ada sanak saudara yang menjenguk, karena memang ia tak mampu mengoperasikan handphone milik bunda sekalipun tergeletak tak terurus. Dan untuk ayah, itu pun ketika secara kebetulan ayah menghubungi bunda kemarin, ketika bunda telah tak sadarkan diri di rumah sakit dan Gita yang mengangkatnya.

“Bunda, sadar dong. Gita kangen sama bunda. Gita sendirian Bun nggak punya temen” keluh Gita sambil menggenggam tangan bunda yang lemah. Gita tak pernah mengerti kenapa bundanya tiba-tiba masuk rumah sakit. Yang ia tahu, sebelum itu bunda memang sakit sehingga bunda izin untuk tidak mengajar sekolah selama 2 hari. Dan ketika itu ia baru pulang dari sekolah dan langsung terkejut ketika mendapati sang bunda tergeletak lemah tak sadarkan diri di kamar tidur. Gita langsung berteriak histeris dan memanggil tetangga untuk membantunya.

Gita memandang lekat penuh iba pada sang bunda yang terbaring lemah di atas ranjang. Tak terlihat lagi sebuah senyum yang tersungging dari bibirnya. Karena kini bibir bunda telah tertutup dan terbungkam oleh mimpi yang belum mengizinkannya untuk kembali memandang dunia nyata. Sukma bunda yang melayang tanpa arah entah kemana. Mungkin sementara ini bunda masih duduk di sebuah kursi mewah surga atau mungkin masih asyik bermain ayunan di sana, namun, tetap saja bunda masih tak ingin abadi di sana karena bunda masih harus kembali tuk melihat senyum Gita agar tak pernah pudar. Wajah sendu itu, membuat Gita selalu teringat potongan-potongan kenangan yang belum sempat ia susun. Kenangan-kenangan itu masih terpisah dan mungkin suatu saat akan menyatu utuh dalam ingatan Gita. Namun, Gita masih tak ingin hal itu terjadi. karena ia masih ingin merangkai kembali hari-hari indah bersama bunda. Ia tak ingin saat-saat bersama bunda akan berubah menjadi sebuah kenangan yang hanya akan indah dalam imajinasinya tapi tidak dalam kenyataannya. Ia masih belum siap menghadapi itu.

Pikiran Gita melayang tanpa arah. Menembus langit tak berujung hingga alam keabadian. Namun, sekejap semuanya pudar. Lamunan Gita tiba-tiba hilang dan dikaburkan oleh kedatangan sang ayah dari negeri seberang. Setelah beberapa bulan tak lagi menginjakkan kaki di tanah tempat tinggalnya, selama beberapa bulan ia harus rela meninggalkan istri dan putri tercintanya, dan saat ini ia harus kembali bersama rindu yang telah lama ia pendam.

Ayah langsung memasuki kamar ruang bunda dirawat dengan tergesa-gesa. Perasaannya bercampur aduk antara khawatir, takut, gelisah. Ayah yang biasanya kembali dengan sambutan hangat dan senyum rindu dari bunda, kini semua itu tak ada lagi. di sana telah duduk di samping bunda, buah hatinya, Gita.

“Sayang” panggil ayah pada Gita. Seketika itu senyum Gita mengembang. Sebuah kebahagiaan tak terduga yang terselimut diantara kesusahan.

“Ayah” Gita langsung menghampiri ayah dan memeluknya erat dan sangat erat.

“Gita rindu ayah. Gita nggak ingin ayah pergi lagi. Gita ingin ayah di sini menemani bunda” rengek Gita manja. Ayah hanya mampu tersenyum setiap mendengar permintaan putrinya yang belum mampu ia penuhi.

Lalu ayah menghampiri bunda yang tengah terbaring lemah tak berdaya. Wajah pucat yang telah merubah wajah manis bunda. Namun, tetap saja, bunda tetap cantik kata Gita. Perlahan ayah menggenggam tangan lembut bunda dengan erat. Lalu duduk di sampingnya sembari menatap bunda dengan sendu.

“Pak permisi, apakah bapak suami dari ibu Fisha?” sapa dokter Linda yang tiba-tiba berdiri tegap di belakang ayah.

Ayah langsung beranjak dan memutar badannya menghadap dokter Linda.

“Iya bu. Saya suaminya. Istri saya sakit apa bu?” tanya ayah tak sabaran.

“Eeemm.. begini pak. Istri anda mengidap penyakit kanker Rahim stadium 4. Apakah sebelumnya memang memiliki penyakit ini pak?”

Ayah sangat terkejut mendengarnya. Yah, memang bunda dulu pernah mengidap penyakit itu semenjak setelah melahirkan Gita. Bunda selalu keguguran ketika hamil lagi. namun, sepertinya bunda selalu mengabaikan penyakit serius itu.

“iya dok memang. Dulu masih kanker Rahim stadium pertama. Katanya bisa diobati. Istri saya sudah saya suruh ke klinik untuk pengobatan alternatif setiap minggu dok”

“Tapi apakah benar istri anda telah melakukan pengobatan?”

“Masalah itu saya tidak bisa memastikan dok. Karena saya kerja di luar negeri. saya hanya mengontrol lewat telepon setiap seminggu sekali. Dan istri saya selalu mengatakan sudah check up”

Dokter itu lalu terdiam beberapa saat. Lalu mengatakan sesuatu yang membuat harapan ayah untuk kesembuhan bunda pupus.

“Pak, karena ini sudah stadium 4 jadi kemungkinan kecil kami bisa menyelamatkan Istri anda dari penyakit ini. karena ini sudah sangat kronis pak. Bapak berdoa saja mungkin ada keajaiban untuk kesembuhan istri bapak”

Mendengar itu, ayah langsung tertunduk lesu. Rasanya ayah belum bisa merelakan bunda untuk pergi. Ayah tak mengerti apa yang harus ia perbuat. Perlahan ayah melirik Gita yang sedari tadi menyimak pembicaraan ayah dengan dokter Linda. Meskipun Gita sama sekali tak mengerti topik pembicaraan mereka tapi melihat reaksi ayah yang tiba-tiba tertunduk lesu, Gita jadi ikut takut dan khawatir.

“Ayah, apa yang terjadi pada bunda?” tanya Gita polos.

Ayah bingung apa yang harus ia katakan pada putri tercintanya. Ayah tak ingin melihat Gita sedih dan terpukul ketika mendengar kenyataan bahwa masa hidup bunda tidak lama lagi. ayah tak mampu membayangkan apa yang terjadi pada Gita jika itu memang benar-benar terjadi. sosok yang selalu ada di sampingnya setiap saat, sosok yang selalu mengajarkannya tuk tetap tersenyum, dan sosok yang selalu menjadi pelipur lara dikala hatinya tengah dirundung pilu. Bundalah yang menjadi pelita bagi Gita. Dan sosok itu harus menginggalkan Gita tanpa kata selamat tinggal.

“Bunda tidak apa-apa sayang, bunda kecapekan. Jadi bunda butuh istirahat yang lama”

“kapan bunda bangun ayah?”

Ayah kembali terdiam sesaat. Bagai sebuah batu besar yang membentur pada kepala ayah. Ayah kembali bingung, berusaha mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan putrinya.

“Ayah juga nggak tahu sayang. Seperti kita waktu tidur, kan nggak ada yang tahu kapan kita akan bangun. Selain diri kita yang akan bangun dengan sendirinya. Begitu juga bunda. Jadi kita berdoa saja ya supaya bunda cepet bangun”

Gita termenung. Pikirannya mulai melayang tanpa arah. Ia sama sekali tak mengerti apa yang dikatakan sang ayah. Jika memang bunda tertidur kenapa sampai berhari-hari? Kan kalau bunda biasanya tidur nggak sampai seharian, paling cuma beberapa jam. Malah biasanya lebih lama dirinya. Begitulah hati Gita berbisik.

Ketika adzan subuh berkumandang. Ditengah semua insan terlelap bersama mimpi. Saat itulah bunda tiba-tiba sadar dari koma-nya. Suara seruan tuhan itu menyelinap perlahan ke dalam telinganya hingga mengetuk pintu hati bunda yang telah lama tak mendengar suara itu. Sukma bunda seketika terbangun dan tak lagi menari-nari di alam mimpi. Berlari dari ajakan sang abah untuk pergi dari dunia nyata dan terbang ke alam keabadian.

Jemari bunda perlahan mulai bergerak. Meraba sesuatu yang berada di genggamannya. sebuah tangan mungil yang tengah tertidur pulas karena letih. Bunda perlahan mulai membuka kedua matanya. Samar-samar hanya terlihat dinding putih dengan aroma obat yang menyengat. Lalu bola mata bunda berputar dan segera menangkap sosok lelaki yang tengah bersimpu dalam sujudnya, bermunajah pada Tuhan sang penggenggam jiwa. Bunda tahu bahwa lelaki itu tangah menyelipkan dirinya dalam doa. Dan sosok gadis kecil yang tertidur dengan kepala menyandar di kasurnya.

“Ayah?” seru bunda lemah.

Ayah seketika terkejut mendengarnya. sebuah keajaiban tuhan. Tuhan telah mendengar semua doa-doanya. Subhanallah. Ayah segera beranjak dari sajadah dan menghampiri bunda.

“Bunda? Alhamdulillah ya Allah. Bunda sudah sadar. Ayah nggak tahu harus berbuat apa selain berdoa. Maaf ayah terlambat bun” ayah langsung mencengkram tangan bunda erat. Serasa tak ingin suatu perpisahan terjadi antara mereka.

“Bunda senang ayah akhirnya bisa menemani bunda. Ayah, bunda ingin pulang” tetap saja senyum itu tak pernah pudar dari wajah bunda yang pucat.

“Tapi bunda belum dapat izin pulang? Keadaan bunda masih belum stabil”

“Bunda sudah sehat yah, bunda harus pulang”

Terpaksa ayah tak mampu berkutik. Ayah harus menuruti keinginan bunda untuk pulang. Sekalipun dokter masih meragukan kesehatan bunda.

“Ya sudah pak, bu Fisha boleh pulang. Tapi jika terjadi apa-apa segera bawa ke rumah sakit ya pak. Jangan sampai telat”

Ayah mengangguk faham.

Sore itu, bunda pulang dari rumah sakit. Gita sangat bahagia. Akhirnya bunda bisa sembuh kata Gita. Meskipun ia tak pernah tahu apa yang terjadi dibalik itu. Di taman belakang rumah, bersama semburat cahaya mentari di senja hari. Mereka bertiga bermain bersama. Semua terasa kembali seperti sediakala. Kehidupan rumah tangga harmoni yang telah lama tak lagi dirajut oleh mereka. Salah satu faktornya adalah kepergian ayah merantau. Membuat keluarga kecil itu tak lagi utuh. Inilah yang dirindukan bunda selama bertahun-tahun. Senyum bahagia bersama saat kasih sayang itu kembali terangkul menjadi satu. Terasa beban penderitaan bunda sesaat hilang terlarut bersama kebahagiaan.

Dua hari bunda di rumah. Dan keadaan bunda semakin hari semakin memburuk. Terasa tak terlihat lagi cahaya dari mata bunda. Tubuh bunda semakin lemah tak berdaya. Namun, tetap saja senyum itu tak pernah pudar dari wajah bunda. Bunda harus tetap terlihat riang di hadapan kedua orang yang sangat berharga dalam hidupnya. Sekalipun sebenarnya bunda telah benar-benar rapuh dan kekuatannya telah habis termakan penyakit. Bunda tak ingin goresan senyum itu kembali keriput ketika melihat bunda harus menderita karena penyakit yang diidapnya.

“Sayang?” sapa bunda pada Gita yang sedang asyik bermain boneka disampingnya.

“Iya bun. Ada apa? bunda mau minta apa? es jeruk, nasi goreng, bakso atau apa? nanti Gita belikan kok Bun?”

“nggak sayang. Bunda nggak butuh semua itu. Bunda Cuma ingin kamu sama ayah sayang. Oh ya bunda punya cerita sayang. Mau dengar nggak?”

Dengan girang Gita beralih posisi menghadap bunda. Telah lama ia tak lagi mendengar cerita bunda sebelum tidur.

“iya iya bun. Ayo cerita. Gita kangen cerita bunda” ujar Gita dengan senyum lebar dan menepuk-nepuk kedua tangannya.

Hati bunda seketika perih mendengarnya. bagaimana jika hari ini adalah cerita terakhir dari bunda untuk Gita? Dan setelah itu Gita tidak akan lagi mendengar cerita itu? Rasa takut itu mulai menjalar di tubuh bunda. Memang tak ada yang tahu sampai kapan usia seseorang akan ditutup oleh Tuhan. Karena Dialah sang penggenggam jiwa setiap manusia. Namun, tetap saja tanda-tanda itu mulai terlihat hari demi hari kian jelas. Bahwa daun yang tertulis namanya telah jatuh di Lauh mahfudz.

“Begini sayang. Ada seorang ibu yang sedang sakit keras. Ibu itu sangat menyayangi putrinya sehingga ibu itu tidak ingin putrinya mengetahui tentang penyakitnya. Dan suatu hari tiba-tiba ibu itu meninggal sayang, tentu gadis itu sangat sedih. Dan tiada henti menangis. Hingga suatu malam ketika gadis itu sedang tidur, ada seorang bidadari yang tiba-tiba berada di sampingnya, menemani mimpi-mimpi indahnya. Lalu membawa gadis itu terbang berkeliling angkasa dengan sayapnya, menikmati indahnya malam, kerlap-kerlip bintang yang bersinar. Dan ketika ia sadar ia baru tahu ternyata bidadari itu ibunya yang turun dari surga sayang”

Gita sangat terkesima mendengarnya. Terasa ada yang aneh dengan cerita itu, tapi tetap saja Gita tak pernah menyadarinya. Gita hanya menikmati indahnya cerita yang mengalun bagai denting piano yang sedang berirama bersama syair lagu. Yang gita tahu cerita itu sangat menarik, dan tanpa sadar cerita itu menyimpan misteri suatu saat akan menjadi nyata.

“Bunda, aku ingin bisa melihat bidadari. Dan terbang jauh bersamanya. Pasti bidadari itu cantik sekali seperti bunda”

Bunda hanya tersenyum mendengar celoteh Gita. ditengah indahnya bercengkrama bersama sang putri, tiba-tiba tubuh bunda menggigil, bunda batuk-batuk keras hingga keluar darah dari mulut bunda. Wajah bunda semakin pucat pasi. Gita sangat panik. Ayah segera menghampiri dan berusaha membawanya ke rumah sakit tapi bunda menolak.

“Bunda harus ke rumah sakit”

“Tidak yah, bunda masih ingin di sini sama Gita. bunda nggak apa-apa kok yah. Sebentar lagi juga sembuh”

“Tapi bun, ini bahaya…” Ayah semakin panik.

“Yah, percaya sama bunda. bunda tidak apa-apa yah”

Hati ayah tak tenang. Perasaan ayah bercampur aduk. Rasa takut itu semakin menghantui pikiran ayah. Ia tak ingin terjadi apa-apa dengan bunda. ayah tidak ingin ditinggal bunda. karena ayah sangat mencintai bunda.

Malam pun tiba. Hawa dingin semakin menyelimuti siapapun yang tengah tertidur nyenyak. Semilir angin berhembus sepoi-sepoi, menemani udara malam. Burung-burung malam mulai berkicau, suara jangkrik mulai terdengar lebih keras meskipun tersembunyi di balik semak belukar. Tiada yang mendengar suara-suara ramai itu, karena mereka telah terlelap bersama mimpi indah mereka. Sukma mereka tengah asyik menikmati alam mimpi yang tak pernah terwujud nyata.

Namun, tidak bagi Gita. cerita bunda telah menjelma dalam mimpi Gita. bidadari cantik itu hadir dalam mimpinya. Ia bermimpi berada di sebuah tempat yang sangat indah, yang tak pernah ia temui di dunia. Entah tempat apakah itu. Gita sangat betah di tempat itu, namun sayangnya tidak ada siapa-siapa di sana. hanya burung-burung pipit yang terbang ke sana-sini menemaninya, sungai susu yang mengalir dengan deras dan tenang. Bunga-bunga cantik yang berada di sekitarnya layaknya berada di tengah taman terindah di dunia. Gita sangat menikmati pemandangan tampat itu. Lalu tiba-tiba datang seorang bidadari cantik memakai gaun berwarna putih layaknya seorang pengantin. Namun, wajah bidadari terasa sangat akrab dengannya. Ia merasa sangat mengenal wajah bidadari itu.

“Bunda?”

“Iya sayang, ini bunda”

“Bunda cantik sekali. Bunda kok punya sayap? bunda jadi bidadari ya?”

“Iya sayang, sekarang kamu sedang di surga. Bunda ingin mengajak kamu terbang keliling surga. Kamu mau?”

“Mau banget. Gita ingin terbang sama bunda”

“Tapi, maaf sayang. Kamu belum saatnya bisa terbang seperti bunda. karena masih ada ayah. Kamu harus menemani ayah”

Bunda lalu terbang jauh dan semakin jauh. meninggalkan dirinya sendiri. Gita berusaha berteriak memanggil bunda untuk kembali. Tapi tetap saja bunda terus terbang dengan sayapnya.

“Bunda, aku ingin ikut bunda terbang. Bunda jangan tinggalin Gita. Bunda, bunda” seketika semua itu samar lalu berubah menjadi gelap. Dan Gita pun tersadar. Ternyata semua itu hanya mimpi. Terasa ada yang aneh dengan mimpinya. Mimpi itu seperti cerita bunda. apa arti dari semua ini?

Sementara hawa dingin semakin menusuk tubuh. Suara burung terdengar tak henti berkicau semakin keras. Namun, ada yang berbeda dengan suara burung itu. Tak seperti biasanya. Ternyata suara itu bukan dari burung hantu. Melainkan seekor burung berwarna gelap yang tengah berkicau serak dan bertengger di ranting pohon di dekat rumah.

Tepat pukul 12.00, bunda tiba-tiba terbangun karena sesak nafas. Mata bunda semakin cekung ke dalam. Semua yang bunda lihat terasa kabur. Entah kenapa tiba-tiba bunda ingin ke kamar mandi padahal bunda tak merasa ingin buang air. Perlahan bunda beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan terseok-seok sambil berpegang pada dinding. Ternyata bunda mengambil air wudhu, lalu mengambil mukena. Bunda tiba-tiba ingin sholat sebelum pada akhirnya bunda tak mampu lagi menunaikan sholat untuk selamanya. Perlahan bunda mengenakan mukena itu lalu segera berbaring kembali di tempat tidur. Bunda sholat saat itu juga, lalu mengangkat tangan untuk takbir dan merapatkan kedua tangannya di atas dada. Dan ketika sampai di doa iftitah “Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil alamiinnnn”, bunda tak lagi meneruskan bacaan itu. Mata bunda telah tertutup rapat. Hanya tinggal nafas terakhir. Tak lagi terdengar jantung yang berdetak, karena nyawa bunda telah berpisah dari jasadnya. Dan telah kembali pada sang kuasa.

Gita tak sabar ingin menceritakan mimpinya semalam pada sang bunda. ingin mengetahui reaksi bunda ketika mendengarnya. pasti bunda sangat senang. Seperti kebiasaannya. Gita selalu menceritakan mimpi tidurnya pada Bunda. Dan ketika sampai di kamar bunda. Gita terkejut setengah mati ketika melihat bunda tertidur dengan memakai mukena. Bunda terlihat sangat cantik dengan seulas senyum tipis di bibirnya. Gita tak mengerti apa yang terjadi pada bunda. tetap saja Gita bercerita panjang lebar tentang mimpinya semalam meski Gita tak pernah tahu bahwa bunda tak lagi mendengar ceritanya.

“Hmmm.. bunda masih tidur ya? Kok pakai mukena. Oh mungkin tadi malam bunda sholat jadi karena capek jadi bunda males melepas mukenanya. Ya sudah deh Gita cerita ya Bun, biar bunda bisa langsung bangun waktu mendengar cerita Gita” Gita sibuk berceloteh sendiri seperti kebiasaannya saat bunda masih koma di rumah sakit. Meski bunda tak sadar waktu itu, tetap saja Gita bercerita karena ia yakin bunda tetap mendengarnya.

“Bun, aku tadi malam mimpi bidadari seperti yang bunda ceritakan loh? Ajaib kan bun? Tapi bidadari itu mirip bunda, mirip banget. Cantik sekali. Jadi Gita mengira bahwa bidadari itu adalah bunda. eh ternyata bukan bun, Gita sudah teriak-teriak memanggilnya tetap saja bidadari itu tak mendengar. Akhirnya Gita sadar bahwa bidadari itu bukan bunda. karena ternyata bunda masih ada di sini” Gita merasa girang setelah menceritakan mimpinya itu. Perlahan, Gita genggam jemari bunda yang telah lemah tak berkekuatan lagi. Gita tak pernah tahu, Tubuh bunda terbaring tanpa nyawa. Tubuh itu telah kosong tak berpenghuni, karena jiwa bunda telah melayang tinggi ke langit. Menembus arasy.

Tiba-tiba ayah datang pula ke kamar bunda dengan muka berseri-seri. Berencana mengajak bunda dan Gita ke pemakaman nenek Gita, Eyang Aminah. Yang terletak sekitar 100 meter dari rumah dengan tujuan untuk berwasilah dan meminta doa untuk kesembuhan bunda. dengan pakaian putih-putih dan minyak wangi yang semerbak, ayah telah terlihat sangat rapi.

“Eh, sayang. Ayo dong mandi. Kan ayah kemarin sudah bilang mau ajak Gita sama bunda ke pemakaman Eyang. Ayo cepet ganti” perintah ayah pada Gita.

“hehehe oh iya Gita lupa yah. Oke siapp boss” Gita cengengesan tanpa dosa. Lalu langsung lari dari kamar bunda untuk berganti.

Kini tinggal ayah yang menemani bunda. terasa ada yang berbeda dengan bunda hari ini. tak seperti biasanya tidur dengan mengenakan mukena seperti ini.

“Bun, ayo bangun. Kita berangkat yuk, Gita sudah mandi lho” ujar ayah. Tapi tetap saja bunda tak bereaksi. Ayah mencoba mengulanginya hingga tiga kali. Tapi tetap saja bunda hanya terdiam tak segera bangun. Ayah mulai panik. Apa yang terjadi pada bunda? ayah lalu mendekat mencoba memegang pergelangan tangan bunda. Dan…

“Innalilahi wainna ilaihi rojiun” seketika air mata itu menetes dari pelupuk mata ayah. Semakin deras dan semakin deras. Ayah masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Rasanya tak mungkin, rasanya terlalu cepat jika bunda harus pergi mendahuluinya. Semua yang telah terkira sejak dulu, kini telah benar-benar terjadi. bahwa usia bunda tidak lama lagi. ayah langsung terkulai lemah, terduduk tak berdaya. Melihat bunda yang tinggal tubuh tanpa nyawa. Ayah menangis sejadi-jadinya di sana. ayah tak mengerti apa yang harus ayah katakan pada Gita. Sanggupkah Gita menerima semua kenyataan ini? Sanggupkah Gita harus kehilangan sosok sangat berharga dikala usianya masih dini seperti ini?

Ternyata Gita telah berdiri di ambang pintu kamar bunda. mengamati ayah yang tengah menangis di samping bunda yang terbaring tak bernyawa. Ternyata Gita telah mengetahui semuanya. Gita telah mendengar ucapan ayah tadi. “Innalilahi wainna ilaihi rojiun”. Gita faham bahwa kalimat itu ditujukan untuk orang yang meninggal atau terkena musibah. Air mata Gita tak berhenti berjatuhan, melainkan terus mengalir bak air hujan yang tak kunjung reda. Gita langsung berlari. Lalu memeluk ayah dari belakang.

“Yah, apakah bunda sudah pergi yah? Yah, jawab jujur pertanyaan Gita yah?”

Ayah hanya terdiam. Bingung apa yang harus dikata ketika hati telah hancur karena tak mampu menerima kenyataan yang telah berada didepan mata. Kenyataan ini terlalu pahit bagi ayah. Ada rasa menyesal dalam hati ayah. Mengapa dulu harus memilih pergi jauh mencari harta dari pada bersama istri yang telah ia tahu menderita penyakit ganas? Mengapa ayah tak memilih merawat bunda sebelum penyakit itu menjalar semakin kronis? Dan mengapa ayah membiarkan bunda hidup seorang diri bersama penyakitnya? Hari ini, hati ayah benar-benar terpukul. Tapi, apa daya waktu tak dapat diputar kembali. Semuanya telah terlanjur menjadi garis takdir Tuhan yang tidak dapat dielak lagi.

“Kenapa ayah diam yah? Jika tidak mengapa ayah menangis? Yah, bunda akan semakin tersiksa jika ayah seperti ini. seakan ayah tak menerima kepergian bunda. Yah, bunda telah menjadi bidadari cantik di sana seperti pada mimpi Gita” tetap saja isak tangis itu terdengar dari mulut Gita. seakan Gita telah merasa akan semua sikap bunda akhir-akhir ini adalah detik-detik kepergian bunda untuk selamanya.

Butiran air mata Gita tetap saja terjatuh dan tak terbendung meskipun dalam hatinya telah mengikhlaskan kepergian bunda. bagaimana bisa Gita setulus itu ketika ditinggal sosok bunda yang sangat berarti dalam hidupnya? Dikala usianya yang masih dini yang masih sangat butuh bimbingan dari sang bunda? ia tidak meraung-raung bahkan menjerit ketika bunda telah pergi meninggalkannya. Ayah tak menyangka jika Gita akan setegar itu.

Ayah berusaha menyeka air mata yang telah membanjiri wajahnya. Dan langsung memeluk balik Gita dengan penuh kasih sayang. Karena hanya Gita harta berharganya yang masih tersisa.

“Maafin ayah sayang. Ayah belum bisa menerima kenyataan ini. Ayah belum sanggup melepas kepergian bunda. maafin ayah sayang”

“Gita juga berusaha ikhlas kok yah. Karena bunda pernah cerita bahwa ketika ada ibu yang meninggal maka dia akan menjadi bidadari yang menemaninya tidur setiap malam. Bahkan mengajaknya terbang bersamanya. Dan semalam Gita mimpi bidadari itu adalah bunda. Gita mengira bahkan dia Cuma mirip bunda. tapi tenyata bidadari cantik itu beneran bunda. buktinya sekarang bunda telah diambil bunda untuk pulang ke surga”

Subhanallah. Hanya itu yang mampu ayah katakan. Hingga tak terasa baju putih Gita telah basah oleh air mata ayah. Dan hari itu tak ada yang tahu, tentang rencana ayah ke pemakaman Eyang Gita yang ternyata berganti mengantar sang bunda pada tempat pembaringan bunda yang terakhir. Tentang cerita bunda tentang bidadari itu, telah menjadi cerita bunda terakhir yang tak akan pernah Gita dengar lagi untuk selamanya. Dan tentang mimpi Gita malam itu, cukup menjadi tanda bahwa bundalah yang akan menjadi bidadari cantik seperti dalam cerita bunda.

Semua itu telah menjadi tanda yang telah diberikan Tuhan, ketika seseorang telah hampir menjemput ajalnya. Tanda-tanda itu memang samar, namun menyimpan misteri yang suatu saat akan terungkap ketika telah benar-benar terjadi. Kehidupan memang mengalir seperti air, ia hanya akan mengikuti kemana arus akan membawa, hingga suatu saat akan sampai pada muara laut yang tak terbatas.

Cerpen yang berjudul "Sayap Bidadari" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Nuriah Muyassaroh.

Posting Komentar untuk "Cerpen Sedih - Sayap Bidadari | Nuriah Muyassaroh"