Cerpen Cinta - Pertaruhan Cinta | Dayu Swasti Kharisma
Pertaruhan Cinta - Dayu Swasti Kharisma
KakaKiky - 30 orang murid kelas 2 IPA 3 berebutan dan saling dorong di depan jendela kelas. Penyebabnya cuma satu, selembar kertas yang berisi nilai ulangan matematika minggu lalu.
“Aduuuhh… remedial lagi…”
“Hah? 70? Lumayan…”
Gumaman demi gumaman meluncur dari mulut
setiap murid setelah melihat nilai mereka. Tidak seperti kebanyakan temannya,
Raisa, gadis manis berkulit putih dengan rambut panjang berponi berdiri paling
belakang dari kerumunan. Raut wajahnya santai, kelihatan sekali kalau ia tidak
terlalu mencemaskan hasil ulangan matematikanya. Tak jauh dari tempatnya
berdiri, ada Bagas, seorang cowok yang sebenarnya tampan tapi ketampanannya
tertutupi oleh gayanya yang urakan. Wajahnya sama tenangnya dengan Raisa.
Sesekali dua makhluk itu saling melirik mengejek satu sama lain.
Kerumunan mulai berkurang. Bagas dan
Raisa maju untuk mengamati nilai ulangan mereka.
“Ah… 100… hehe, Alhamdulillah…” Gumam
Raisa sumringah. Buru-buru ia melirik nilai Bagas.
“Oke… kali ini gue kalah,” Ucap Bagas
gemas pada angka 99 di samping namanya itu. Raisa tak bisa menahan geli.
“Sesuai janji, yang kalah, harus
menuruti keinginan yang menang!” Komentar Raisa tegas. Bagas mengangguk tak
ikhlas menerima kekalahan tipisnya.
“Masih ada 2 ulangan lagi yang belum
diumumin, gue pasti menang ntar,” Kata Bagas sinis.
“Yang penting kali ini gue menang!”
Sergah Raisa.
“Oke oke… apa keinginan lo, nenek
cerewet?” Tantang Bagas. Raisa cemberut dipanggil seperti itu oleh Bagas.
“Gue tunggu lo di taman air mancur jam 4
sore, gue akan bilang keinginan gue di sana, oke?” Ucap Raisa sambil
mengedipkan sebelah matanya dan masuk kelas dengan langkah ringan.
“Hh.. dasar nenek-nenek, kenapa nggak
ngomong di sini aja sih?” Keluh Bagas. Namun… Plak! Raisa memukul kepalanya dengan
gulungan buku catatan.
“Aduuuh! Woi nenek stres!” Bagas
berteriak marah sambil mengusap-usap kepalanya dan mengejar Raisa yang langsung
kabur setelah menjalankan aksinya.
“Cck..ck… mereka berdua kayak Tom and
Jerry ya,” Komentar teman sekelas mereka.
Sudah 2 bulan ini Bagas dan Raisa
bertaruh hasil ulangan mereka. Siapapun yang kalah harus mengikuti keinginan
pemenang. Tujuan sebenarnya sih cuma satu, supaya terpacu belajar. Ulangan
pertama Biologi, Bagas yang menang meminta Raisa mengetikkan tugas makalah
Kewarganegaraan karena Bagas harus kerja part time. Saat pengumuman ulangan
Fisika, Raisa yang menang tipis, hanya terpaut 0,1 sama seperti ulangan
matematika ini. Raisa meminta Bagas mengantarnya keliling kota tapi naik
sepeda. Bagas sering mengeluh kedua pahanya pegal gara-gara berat badan Raisa.
Ulangan yang ketiga, kimia. Kali ini bisa dipastikan Bagas yang menang, karena
cowok itu masternya kimia di sekolah mereka. Raisa harus terima saat Bagas
memintanya membuatkan cerpen untuk tugas bahasa Indonesia.
Raisa melirik jam tangannya, sudah pukul
4 tepat. Tapi belum ada tanda-tanda sosok Bagas akan datang. Jantung Raisa
berdegup kencang. Mau tak mau ia gelisah, karena kali ini ia akan mengungkapkan
keinginannya…
Raisa terlonjak kaget saat sosok Bagas
dan sepeda balapnya muncul mendadak di hadapannya.
“Hahaha…” Bagas tertawa puas melihat
tampang kaget Raisa. Raisa hendak menjitak kepala Bagas namun gagal karena
cowok itu mengelak. Sesaat, Raisa mengamati penampilan Bagas. Celana jeans
belel dengan kaos hitam, rambut tersisir rapi. Bagas balik mengamati penampilan
Raisa, dress pink selutut dengan lengan berkerut yang manis, rambut tergerai
dengan bando warna senada. Sesaat dua makhluk itu saling diam dalam pikiran
masing-masing, namun segera tersadar dengan wajah memerah.
“Ayo naik!” perintah Bagas galak untuk
menutupi salah tingkahnya. Raisa tersadar dan tanpa protes segera membonceng
sepeda Bagas.
Bagas melajukan sepedanya lumayan
kencang, sehingga mau tak mau Raisa harus berpegangan pada pinggangnya.
“Heh, jangan kenceng-kenceng! Gue masih
lajang nih!” Akhirnya Raisa protes juga.
“Apa hubungannya? Dasar nenek-nenek…”
Raisa kesal dipanggil nenek oleh Bagas,
dan ia mencubit keras-keras lengan Bagas yang tengah mengemudi, akibatnya Bagas
kehilangan keseimbangan dan… Brukk!! Aaarrrgggh…!! mereka berdua jatuh menabrak
pohon!
“Aduh… Raisa meringis kesakitan, namun
ia tidak terluka karena Bagas menahan tubuhnya. Ia segera berbalik melihat
keadaan Bagas. Bagas pingsan!
“Bagas! Bagas… bangun! Lo nggak papa
kan? Bagas…!” Raisa mengguncang-guncangkan tubuh Bagas. Lengan Bagas berdarah
karena menahan tubuhnya.
“Bagas! Ayo bangun… gue belum ucapin
keinginan gue..” Raisa mulai menangis. Air matanya menetes-netes di wajah
Bagas.
“Dasar cengeng… cepat bilang apa
keinginan lo!” Raisa berhenti menangis mendadak mendengar suara menyebalkan
itu. Ternyata Bagas cuma pura-pura pingsan… tanpa babibu lagi Raisa menjitak
kepala Bagas dengan dua kepalan tangan sekaligus dan Bagas pingsan beneran.
“Cepat sebutin, apa keinginan lo?”
Tantang Bagas. Kali ini lengannya sudah terbalut. Mereka berdua duduk di bangku
taman air mancur.
“Lo tau apa hari paling sial buat gue?”
Tanya Raisa. Bagas menggeleng.
“Yaitu hari saat gue pertama kenal sama
lo, saat MOS SMA,” Bagas cemberut mendengar ini. “Sejak saat itu, hidup gue
nggak tenang,”
“Lo inget waktu kita lomba menyusun
menara dari 100 batang korek api?” Tanya Raisa.
“Inget, hahaha… kelompok lo kalah kan?”
“Lo inget waktu perlombaan makan pete?”
“Nah, kalau itu kelompok lo yang
menang…”
“Lo inget waktu kita disuruh bikin surat
cinta untuk kakak kelas?”
“Ingetlah, surat cinta lo nyasar ke gue,
lagian, lo nyuruh tukang bakso depan sekolahan sih… salah alamat kan jadinya?”
“Surat cinta itu nggak nyasar,” Kata
Raisa tiba-tiba. Bagas terdiam. “Gue sengaja nyuruh tukang bakso itu ngasih
surat cinta ke lo. Gue bilang ‘tolong kasih ke cowok tinggi yang rambutnya
acak-acakan ya Pak, yang pakai jam tangan warna biru’. Ada dua orang yang cocok
dengan ciri-ciri yang gue sebutkan waktu itu, yaitu lo dan kak Angga. Waktu
tukang bakso itu nanya, ‘orangnya yang berdiri di sebelah kiri atau kanan pintu
masuk lobi Mbak? Gue jawab yang sebelah kanan, tempat lo berdiri..”
“Tu, tunggu Sa, maksud lo…?” Potong
Bagas shock.
Kali ini Bagas terdiam sejuta bahasa.
Raisa! Raisa anak pengusaha kaya itu ternyata benar-benar menyukainya, yang
cuma anak yatim dan harus banting tulang kerja part time di bengkel untuk
membantu sang ibu memenuhi kebutuhan rumah tangga.
“Gue ngajak lo ketaman ini untuk
mengakui semuanya Gas, karena gue lelah, gue nggak sanggup lagi mendam perasaan
ini…” Air mata Raisa menitik. Bagas benar-benar bingung harus bagaimana
menghadapi situasi ini.
“Raisa,” Akhirnya ia bersuara juga.
Raisa menengadah menanti ucapan selanjutnya dari Bagas sembari mengusap air
matanya dengan punggung tangan.
“Lo nggak pantes menyukai pria seperti
gue. Kita nggak sepadan. Gue anak yatim. Untuk bisa sekolah gue harus kerja
part time di bengkel.” Kata Bagas lirih.
“Materi bukan alasan untuk mencintai
atau tidak mencintai seseorang Gas,” Ucap Raisa bijak.
“Apa lo ijinkan gue untuk terus mecintai
lo?” Kata Raisa dengan suara seperti sedang flu berat.
“Raisa…?”
“Inget.. lo kalah dalam ulangan
matematika kali ini…” Ucap Raisa sambil tertawa kecil di tengah air matanya
yang masih mengalir. “Sesuai perjanjian, yang kalah harus menuruti keinginan
yang menang…”
“Kok gue ngerasa ada yang beda ya hari
ini…?”
“Iya, apa ya yang aneh dari kelas ini?”
“Oia! Ssstt… Bagas sama Raisa kenapa ya?
Kok jadi diem-dieman?”
“Iya biasanya berantem olok-olokan, kok
kali ini diem ya?”
“Pantes kok kayaknya ada yang beda…”
Bagas mendengar kasak-kusuk temannya,
namun ia pura-pura sibuk membaca buku. Raisa pun demikian, ia menyibukkan diri
bermain-main dengan smartphonenya. Kasak-kusuk pagi itu terpecahkan oleh suara
langkah Bu Rina, yang datang sambil membawa selembar kertas hasil ulangan
sejarah minggu lalu. Suara kasak-kusuk langsung berganti menjadi suara bising
dan saling dorong bak pembagian sembako. Hanya Bagas dan Raisa yang masih terpaku
di bangku masing-masing.
“Sa, ayo kita liat, siapa yang menang
kali ini!” Kata Bagas. Tiba-tiba ia sudah berdiri di depan meja Raisa. Nada
suaranya terdengar santai, seperti tak ada yang habis menyatakan perasaan
padanya. Raisa terdiam sesaat.
“Ayo, pasti gue menang lagi!” Kata Raisa
akhirnya. Ia berusaha keras agar nada suaranya sama santainya.
Mereka mendekati kerumunan dan kali ini
mereka berdua menyelip masuk ke dalam kerumunan hingga akhirnya berhasil
berdiri paling depan.
“80?” Gumam Raisa dan Bagas bersamaan.
Mereka saling menatap kaget. Seri! Kali ini tidak ada yang kalah atau menang.
“Gue yang menang!” Kata seseorang di
belakang mereka. Rani, teman sekelas mereka.
“Kali ini gue yang menang, nilai gue 95.
Jadi lo berdua harus ikut gue sekarang. Begitu kan perjanjiannya?” Kata Rani
sembari menarik paksa tangan Bagas dan Raisa ke bawah pohon rindang di taman
sekolah.
“Rani, ini kan permainan gue sama
Bagas…?” Protes Raisa.
“Udah jangan bawel. Karena gue yang
menang, lo berdua harus kerjain keinginan gue, oke?”
“Ya udah jangan bawel, cepet sebutin
keinginan lo,” Protes Bagas.
“Gue mau… kalian berdua… JADIAN!”
“Apa?!” Teriak Bagas dan Raisa
bersamaan.
“Udahlah, gue tau kalian saling
mencintai, mending jadian aja gih, biar happy ending, oke?” Rani mengedipkan
mata pada kedua makhluk yang salah tingkah itu.
“Jangan dengerin ucapan Rani ya Gas,”
Kata Raisa berusaha menghentikan kecanggungan ketika Rani telah meninggalkan
mereka berdua dalam kebisuan. “Permintaan gue kemarin, gue nggak ingin kita
jadian, gue cuma… cuma bilang…”
“Jadi,” Potong Bagas, “lo nggak pengen
kita jadian…?” Nah lo, Raisa bingung jawab pertanyaan Bagas yang satu ini.
“Ma.. maksud gue…” Raisa terbata-bata.
“Nanti pulang sekolah, ikut gue,”
“Ini permintaan lo?”
“Ya,”
“Tapi kan kita seri, lo nggak punya hak
nyuruh gue…”
“Udah, jangan bawel,” Kata Bagas. Ia
menggenggam kuat tangan Raisa dan memaksa Raisa berjalan cepat menuju kelas.
Raisa menatap tangan Bagas yang menggenggamnya dengan bingung.
“Kita kemana?” Tanya Raisa. Ia sudah
duduk canggung di atas sepeda Bagas. Lagi-lagi, cara Bagas mengendarai sepeda
itu membuat Raisa terpakasa harus memegang pinggangnya.
“Ke tempat kerja gue.”
“Apa-apan sih lo Gas, gue udah bilang lo
nggak berhak maksa gue, kita kan seri…”
“Ulangan bahasa inggris kemarin, gue
yang menang.”
“Apa? Lo tau dari mana?”
“Gue nggak sengaja ngintip hasil ulangan
di meja Mr. Radith waktu di ruang guru…”
Sepeda Bagas berhenti di depan pagar
sebuah bengkel besar yang tak asing bagi Raisa. Ya ampun, Bagas selama ini
kerja di bengkel milik ayahnya?
“Eh, Mas Bagas sudah sampai..” Sapa
seorang pekerja bengkel ramah. “Lho? Mbak Raisa ke sini juga tho?” Raisa
tersenyum mengangguk. Bagas menatap Raisa penuh tanda Tanya.
“Papa ada, Pak Minto?” Tanya Raisa
sembari celingukan mencari sosok ayahnya.
“Ada di dalam Mbak,”
“Sa? Kok lo kenal Pak Minto?”
“Ini kan bengkel Papa Gas, jadi lo kerja
di sini?”
“Apa? Ini bengkel… bengkel Papa Lo?”
Bagas terlonjak kaget.
“Mbak Raisa temennya Mas Bagas?” Tanya
pak Minto, si pegawai bengkel. Raisa mengangguk.
“Jadi selama ini lo kerja di bengkel
papa Gas? Kok gue bisa nggak tau sih?” Tanya Raisa. Bagas masih speechless. Pak
Minto mengingatkan Bagas ada beberapa pekerjaan yang belum selesai. Bagas
tersadar dan segera menuju ruang ganti.
Tak lama Bagas muncul mengenakan seragam
kuning khas bengkel milik ayah Raisa. Seragam itu belepotan oli seperti seragam
petugas lain. Raisa terpana melihat sosok baru Bagas yang tampak lebih gagah
dari biasanya. Tak lama kemudian Bagas mulai bekerja. Raisa duduk terpaku
menyaksikannya. Bagas tampak sangat cekatan.
“Raisa?” Sapa seseorang dengan suara
berat.
“Papa?” Raisa kaget.
“Sama siapa kamu ke sini?”
“Sama Bagas Pa,” Jawab Raisa tanpa
berusaha menyembunyikan kedekatannya dengan Bagas.
“Oh ya? Mana Bagas? Bagas!”
Bagas muncul dari kolong mobil dengan
grogi. Tanpa disangka Bagas, Pak Yudhi, ayah Raisa tersenyum.
“Kamu curang, curi start duluan…” Kata
Papa. Raisa dan Bagas mengerutkan dahi.
“Bagas ini karyawan Papa yang sangat
berbakat, daya tangkapnya luar biasa. Orang seperti ini yang Papa butuhkan
untuk meneruskan usaha Papa, karena Papa cuma punya satu anak perempuan.” Bagas
dan Raisa masih mengerutkan kening.
“Papa sudah tau kalian satu sekolahan,
tapi di luar dugaan kalian udah akrab ya, berarti Papa nggak usah susah-susah
jodohin kalian lagi, kan?”
Suara bising dan saling dorong mulai
terjadi lagi karena kali ini hasil ulangan fisika yang kedua kalinya ditempel
di jendela kelas 2 IPA 3. Seperti biasa, Raisa dan Bagas menunggu kerumunan
sepi, baru mereka melihat hasil.
“Yes, 100!” Teriak Bagas. Ia buru-buru
melirik hasil ulangan Raisa. Apa? Cuma 75? Biasanya cewek itu selalu dapat
point di atas 80.
Wajah Raisa sendu menatap hasil
nilainya. “Oke gue kalah, sebutin apa keinginan lo?” Ucap Raisa lemas.
“Kok nilai lo turun si Sa?” Tanya Bagas
heran.
“Kenapa? Nggak boleh?” Sergah Raisa
galak.
“Lo lagi… galau yaa?” Goda Bagas, kali
ini Raisa mendaratkan kamus bahasa inggris ke kepala Bagas.
“Aduuuhh, benjol nih kepala gue!”
“Makanya jangan asal ngomong!”
“Oia, berhubung gue menang, gue tunggu
lo jam 4 sore di taman air mancur, awas kalau telat!” Ancam Bagas sambil masuk
kelas dan mengusap-usap kepalanya tempat kamus bahasa inggris parkir
sebelumnya.
Pukul 4 sore tepat Bagas telah memarkir
sepedanya tepat di tempat pertama kali mereka bertemu di taman air mancur. Ia
melirik arlojinya, sudah pukul 4 lewat 5 menit, namun tak ada tanda-tanda sosok
Raisa. Tapi.. apa itu? Ada sepeda pink di balik air mancur. Itu Raisa! Bagas
tak menyangka Raisa datang naik sepeda.
“Hh… akhirnya sampai juga..” Peluh
berjatuhan di dahi Raisa ketika cewek itu memarkir sepedanya di sebelah sepeda
Bagas.
“Telat 10 menit!” Komentar Bagas galak.
“Sory deh… rumah gue kan jauh..”
“Siapa suruh naik sepeda?”
“Udah jangan bawel, cepet sebutin
keinginan lo!”
“Lap dulu keringat lo,”
Raisa mengambil tissue dari tasnya dan
melap semua keringatnya. Bagas memberikan minuman kaleng dingin pada Raisa.
“Asiik… gue haus berat!” Raisa langsung
meneguk minuman itu hingga habis.
“Lo tau nggak hari paling sial buat
gue?” Tanya Bagas setelah Raisa melempar kaleng minumannya ke tong sampah.
“Apa?”
“Yaitu hari saat pertama kali gue kenal
sama lo, saat MOS SMA,”
“Tungg, tunggu… ini kan kata-kata…?”
“Lo inget waktu gue lupa bawa ‘roti
buaya berlidah merah’?” Potong Bagas.
“Inget, tapi…”
“Waktu itu lo langsung ngeluarin roti
punya lo, dan memotong roti lo jadi dua bagian, terus lo kasih gue
sebagiannya,”
“Iya, tapi…!”
“Lo inget waktu gue kehilangan ‘topi
mengaum’?”
“Inget, tapi…”
“Waktu itu lo mencari topi itu sampai
ketemu, akhirnya lo dihukum senior karena disangka mau kabur,”
“Tunggu! Ini kan kata-kata gue..?!”
“Sejak saat itu, gue suka sama hati lo
yang tulus,” Potong Bagas lagi.
“Ap…apa?” Raisa benar-benar tak
menyangka akan seperti ini. Jadi cintanya selama ini nggak bertepuk sebelah
tangan?
“Kenapa hari pertemuan kita jadi hari
sial buat gue? Karena sejak saat itu gue memendam cinta gue, dan itu
menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi setelah gue sadar, kita nggak sebanding.
“Akhirnya, gue kerja sambilan di bengkel
supaya bisa terus sekolah di tengah ekonomi keluarga gue yang sedang susah.
Tanpa disangka, ternyata pemilik bengkel besar tempat gue kerja itu adalah Papa
lo. Beliau puas dengan hasil kerja gue, bahkan selama setahun ini beliau sering
bilang mau menjodohkan anaknya sama gue, tanpa gue tahu kalau ternyata anak
beliau adalah lo…”
“Terus, akhirnya lo bersedia dijodohkan
sama anaknya?” Pancing Raisa.
“Gue nggak bisa memenuhi keinginan
beliau…” Jawaban Bagas ini seperti petir di telinga Raisa. Ya, semua sudah
berakhir. Ini keputusan akhirnya..
“Oke..” Raisa tersenyum miris. “Gue
paham, trims udah ngeluarin isi hati lo Gas,” Kata Raisa lalu segera menuju
sepedanya dan buru-buru menggenjot pedal kencang-kencang.
“Raisa tunggu!” Teriak Bagas segera
mengejar Raisa dengan sepedanya. Cewek itu menangis tertahan.
“Gue belum selesai bicara Sa,”
“…”
“Gue nggak mau dijodohin, gue mau kita
sendiri yang memulai semuanya secara alami, tanpa ada paksaan dari pihak
manapun,” Kata Bagas sembari terengah. Mereka berdua tak melihat polisi tidur
di depan mereka, dan akhirnya sama-sama kehilangan kesembangan dan… Bruk!
Brak!! Terjatuh lagi… Kali ini keduanya sama-sama babak belur…
“Maksud lo apa?” Tanya Raisa tanpa
memedulikan dahi dan lutut kanannya yang berdarah.
“Maksud gue,” Bagas mengusap lembut
darah di dahi Raisa dengan lengan kemejanya. “Karena kita sama-sama cinta,
jadi, ayo kita jadian,” Mendengar ini Raisa menangis kuat.
“Huuu-huuu… hik! Hik!”
“Lho, kok nangis? Lo nggak mau terima
gue?” Tanya Bagas tersenyum. Ia berlutut di depan Raisa dan memeluknya
erat-erat tanpa merasakan sakit pada lengan kiri dan kedua kakinya yang
berdarah.
“Huuu-huuu… hik! Lo bilang kita nggak
serasi…”
“Gue salah. Lo yang ajarin gue, semua
orang pantas atau tidak pantas dicintai bukan karena dia anak yatim atau nggak
punya materi berlimpah, iya kan?”
“Eh, liat mereka dateng bareng! Pegangan
tangan lagi!”
“Tunggu tunggu, kok dua-duanya bonyok
ya, habis berantem?”
“Habis jatuh kali waktu lagi nge-date!”
Raisa tersenyum. Sudah terbayang mungkin
hari-hari ke depannya akan lebih sering galau daripada sebelum ia jadian dengan
Bagas. Tapi yang penting kan bahagia…
Cerpen yang berjudul "Pertaruhan Cinta" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Dayu Swasti Kharisma. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di Dayu Swasti Kharisma.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Pertaruhan Cinta | Dayu Swasti Kharisma"