Cerpen Sedih - Last Prom Night With My Soulmate | Dian Setianingsih
KakaKiky - Tak ada yang mengajariku tentang bagaimana cara memperlakukan orang yang aku cintai. Karena cinta sesuatu yang alami. Setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk menunjukkan rasa cintanya itu. Termasuk Diar. Dia telah memberikan cinta yang sulit untuk kupahami. Dan aku…?, hanya seorang gadis yang terlalu naif untuk sekedar mengatakkan. Diar bantu aku memahamimu…!!. Selama ini aku berpura-pura menjadi orang yang paling mengerti tentang pemuda itu. Aku hanya tak ingin ada yang berubah dan cinta kita tak cepat berujung seperti kisah pasangan-pasangan muda di luar sana.
Di pinggir lapangan Indoor aku
memandangi kelincahan Diar memainkan bola basketnya. Aku tak pernah absen
memberikan support meski hanya dari pinggir lapangan, walaupun mungkin Diar
tidak menyadari kehadiranku. Lelaki itu benar-benar tampan menjadi bintang di
tengah lapangan. Menjadi pusat perhatian, bahkan membuat histeris para
penggemar yang sebagian cewek-cewek yang hanya tau bagaimana cara membenarkan
bedaknya saja. Bahkan tak jarang aku mendapatkan tatapan sinis dari para gadis
itu Mereka seperti tak rela melihat kami bersama hanya karena aku seorang siswi
biasa yang bertahan di sekolah dengan mengandalkan beasiswa dari para malaikat
pemerhati pendidikan. Namun tampaknya hari ini ada sedikit keberuntungan yang
tak sengaja menghampiriku, tiba-tiba tatapan Diar tertuju padaku. Ia tersenyum
begitu manis. Dan itu sesuatu yang patut aku syukuri. Meskipun ia terlalu
dingin untuk menunjukan perasaannya padaku, apalagi di hadapan
sahabat-sahabatnya. Karena terlalu memikirkan arti tatapan Diar, tampaknya aku
sedikit lengah tak menyadari ada sebuah bola melambung tanpa dosa di atas
kepalaku, dan akhirnya, Duagg!, O..oWw… pendaratan yang tak sempurna.
“Aww.!!”
Melihat aku meringis kesakitan Diar
dengan beberapa awaknya menghampiri keberadaanku, dan dari situlah sebuah
senyum menjengkelkan terlukis di bibirnya.
“Makanya, jangan terlalu terpukau liat
gue main basket!” Timpalnya lalu pergi setelah berhasil membuatku geram.
“Diar jelek…!!” Pekikku merasa
tersinggung atas perlakuan pemuda itu. Dia benar-benar tidak tau bagaimana
memperlakukan wanita dengan baik. Aku masih tertegun ketika salah satu dari
sahabat terdekat Diar menghampiriku.
“Des, lo baik-baik aja kan?” Tanya Riski
dengan seragam basket yang masih dibasahi oleh keringat.
“Kapten loe itu bener-bener Raja ngeselin
ya, kayaknya pas pembagian perasaan sama Tuhan dia absen deh” Kataku mulai
mengucapkan kalimat yang tak logis. Maklumlah, cewek mana yang bisa terima jika
diperlakukan seperti itu di depan orang banyak. Hemmt, tapi sepertinya aku
tidak termasuk ke dalam kategori itu. Buktinya, meski sering diperlakukan tidak
adil aku masih saja setia menjaga cinta yang terkesan rumit.
“Dih. Gitu-gitu juga Diar cinta mati
sama loe” Tukas Risky masih konsisten membela Diar.
“Hizztt. Makan tuh cinta!!” Celetukku
semakin gondok mendengar kalimat Risky.
Aku benar-benar prihatin pada diriku
sendiri. Bagaimana tidak…? Bukankah begitu menyedihkan untuk seseorang yang
memiliki kekasih harus melakukan semuanya sendirian?, termasuk siang ini.
Untungnya aku sudah cukup kebal mendengar kalimat sengit dari mulutnya. Aku
berusaha tegar, tetap mempertahankan senyum keramahan kepada setiap orang. Aku
butuh passion untuk sekedar memberikan kekuatan padaku. Setidaknya membantuku
untuk kembali berbaur dengan teman-teman sebayaku. Aku tidak ingin terlihat
lebih tua dari usiaku karena terlalu memikirkan Diar. Dengan wajah tegap aku
berjalan menyelusuri lorong-lorong sekolah membangun suasana seolah tidak
terjadi apa-apa. Risa tengah ongkang-ongkang kaki di atas meja ketika aku
sampai di depan kelas. Tidak ada siapapun di sana, hanya ada gadis tomboy itu
beserta alat-alat sekolah lainnya yang tampak mulai lusuh,
“Aiisshh. Ini kelas apa kuburan?”
Tanyaku keheranan.
“Prom Night benar-benar monster yang
paling menyeramkan. Loe juga pasti datang kan des sama Prince Diar” Hufft,
pertanyaan yang sama sekali tak kuharapkan.
“Hemt, Diar tau besok Prom aja udah
suatu anugerah luar biasa”
“Waww. Are you sure..?” Tanya Risa
dengan gaya bicara sok kebarat-baratan.
“Diar itu terlalu spesial, makanya gue
juga harus memperlakukan dia dengan cara yang berbeda dengan cara orang lain
memperlakukan dia. Karena cowok kaya Diar Limited edition” Papar Dedes membuat
Risa hampir ngiler saking irinya. Namun, aku menunda kelanjutan kalimatnya
ketika telingaku menangkap suara langkah kaki seseorang yang semakin menonjol.
Diar ditemani Riski muncul dari balik pintu kelas bak seorang pangeran bersama
ajudannya.
“Des, nanti gue mau ajak loe ke sebuah
tempat” Kata Diar pendek saja, lalu ia meneruskan langkahnya tanpa meninggalkan
barang sepatah katapun. Tatapannya yang dingin semakin membuatku frustasi.
“Cukup yar!!, Ini nggak adil. Gila ya…
kayaknya ada kesalahan dengan cinta gue.” Kataku tak tanggung-tanggung. Kalau
boleh jujur, sebenernya tidak tega melihat tampang Diar yang kalem. Rasanya
terlalu kejam memperlakukan Diar sekasar itu. Tapi selama aku tetap diam
terhadap sikap semena-mena Diar, selamanya pula aku hanya akan menjadi bayangan
tabu di dalam hidupnya.
Kali ini giliran Diar yang tertegun. Ia
seperti khawatir melukai hati kekasihnya. Karena meski sikapnya dingin, namun,
demikianlah cara lelaki itu mengekspresikan rasa cintanya.
Aku benar-benar tersinggung dengan sikap
Diar yang semakin membuatku beku. Aku juga butuh kehangatan. Bukankah
seharusnya cinta itu yang memberikan kehangatan?… Haruskah aku mencari
kehangatan lain dari cinta yang lain juga?. Iyah, mungkin itu akan terjadi jika
aku tidak terlanjur cinta padanya.
Selepas bel tanda pulang berdengung, aku
sengaja melenggang sendirian di tengah orang-orang yang berjalan saling
berpasangan. Bisakah mereka mengerti perasaanku…?. Seenaknya bergandengan
tangan di depan orang yang sedang meratapi kisah cintanya (hei.. it’s me). Di
mana si letaknya keadilan…?. Di saat mereka memadu kasih, aku masih bertahan di
atas perih.
Hemmm… Aku mendengus. Aroma ini
benar-benar tak asing. Masih sama seperti pertama bertemu. Aroma ambers yang
memberikan kesan misterius yang di bawa pemuda itu. Aroma vanilla,
bunga-bungaan, dan wood ini sangat cocok dengan mood Diar yang pasang surut jarang
stabil,
“Des, Ayolah!!, jangan keras kepala”
Suara itu semakin meyakinkanku bahwa
Tuhan lah yang terbaik.
Aku pura-pura acuh mengabaikan sumber
suara itu. Mungkin sesekali Diar yang harus mengalah padaku. Akhirnya Diar
mematikan mesin motor sportnya. Kali ini dia berjalan di sampingku
“Dingin ya, des” Katanya. Dan sepertinya
aku kembali menemukan letak kehangatan lelaki itu, apalagi setelah ia
menggenggam telapak tanganku dengan erat. Dan ini momen terindah selama setahun
masa jadian kami. Aku sengaja tak banyak bicara, tak ingin merusak suasana.
Sampai kami berhenti di sebuah danau buatan yang biasa kami lewati. Diar
menarik telapak tanganku lalu kami duduk berdekatan seperti remaja yang baru
jadian.
“Diar, Kamu pernah bilang kalau cinta
itu ketika kita bahagia saat melihat orang yang kita cinta bahagiakan?”
“Iya. Kenapa?”
“aku nggak pernah lihat kebahagiaan itu
di mata kamu, jadi, Ayo yar, kita akhiri sampai di sini saja.” Kataku
memberanikan diri.
“Zzzttt. Itu kalimat yang paling aku
benci, des”
“Oh ya?, Kalau begitu bantu aku untuk memahami
kamu yar. Karena aku berfikir kamu akan baik tanpa aku”
“Maaf, Tapi, aku nggak bisa pura-pura
sempurna, Ini caraku untuk mencintai kamu des.” Timpalnya membalikan pandangan
dariku. Kali ini tatapannya tampak mengambang seperti bunga teratai yang mengambang
di atas danau.
“aku rasa kamu belum memahami cinta,
yar. Cinta bukan begini.” Kataku berusaha menyanggah.
“Des, kamu hanya perlu percaya, karena
tanpa kamu, aku yakin diar tidak akan ada” Ucap Diar sungguh menghangatkan. Aku
sendiri tidak yakin apakah kalimat itu keluar dari mulut diar…?, Apakah lelaki
di hadapanku yang selama ini membuat malamku terjaga…?
Sore itu berakhir dengan sebuah kecupan
manis di keningku, tak tahu apakah esok aku masih bisa bertemu dengan sosok
Diar yang semanis ini…
Hari ini Prom Night tanggal dua belas
Juni, itu berarti hari jadian kami yang pertama. But I think there is nothing
special, bahkan hari ini tidak lebih buruk dari hari sebelumnya. Dengan
perasaan rikuh aku memandangi Diar yang saat itu tengah berbincang-bincang
akrab dengan Riski. Seperti ada sebuah batu besar yang menahan langkahku. Aku
tidak memiliki keberanian seperti biasa untuk bertemu dengan lelaki itu. Aku
seperti seorang pecundang. Hanya bisa menikmati wajah Diar dari kejauhan. Aku
hanya tak ingin kembali menelan kekecewaan darinya. Aku juga tak ingin membuat
layu perasaan berbunga yang baru kemarin sore ditanam oleh Diar.
“Woi, des. Sini!,” Pekik Riski dari
seberang lapangan. Aku ragu akan melangkah sampai Riski datang lalu menarik
lenganku ke tengah lapangan di mana Diar masih dengan nafas terengah-engahnya.
“Okey, gue balik, yar, des, jaga kapten
gue baik-baik lo!” Kata Riski sedikit membuat otot-ototku kendur. Bagian ini
yang paling aku benci. Aku melihat wajah Diar, wajahnya benar-benar menyebalkan
apalagi ditambah dengan senyum hambarnya. Raut wajahnya seperti menggambarkan
betapa kedatanganku sangat tidak diharapkannya.
“Yar, kita datangkan ke acara sekolah
nanti malam”
“acara apa?, kok gue nggak tau ya” Tukas
Diar masih konsisten dengan gaya bicaranya yang cuek.
“tapi, loe tau kan hari ini hari apa..?”
“Sorry, gue mau lanjutin latihannya”
Kata Diar hampir membuatku patah hati.
“Diar. Kenapa si loe harus berbeda
dengan orang lain?, loe terlalu spesial, yar. Bahkan karena terlalu spesial
kadang gue nggak tau bagaimana cara mempelakukan loe”
“Inilah gue. Kalau loe nggak bisa terima
sikap gue, berarti loe nggak mencintai gue karena gue Diar” Ucap Diar malah
menantang ucapanku. Padahal aku berharap lelaki itu akan datang menghampiriku
lalu berkata. Dedes maaf, Aku mencintaimu. Setelah itu dia akan merangkul
pundakku sehingga membuat gadis-gadis di sekitarnya akan merasa iri padaku.
Namun, itu semua hanya sepintas anganku. Pahit memang, tapi, aku hanya bisa
menerima, masih dengan alasan yang sama. Aku sudah jatuh terlalu dalam dan
tampaknya akan sulit untuk mencoba mendaki keluar dari hatinya,
“Cukup, yar. Okey, aku anggap ini
sebagai bonus dari hubungan kita” Kataku tak tahan lagi.
Untuk kesekian kalinya lelaki itu
membuatku jengkel. Dan untuk kesekian kalinya juga aku begitu mudah
memaafkannya. Jantungku berdegup keras menyaingi dengungan bel yang hampir ikut
membuatku gila. Seperti ada suara sirine yang mengiang-ngiang di telingaku.
Malam ini di bawah keremangan lampu
jalanan aku dalam perjalanan pulang ditemani rasa yang hampa. Setiap kali
bertengkar dengan Diar aku tidak dapat menunjukkan muka temaramku di hadapan
keluarga yang senantiasa menunggu kedatanganku. Apalagi menyadari kepulanganku
yang terlambat hari ini. Namun, ketika kakiku sampai di depan rumah bukan
pemandangan itu yang aku lihat. Sejenak aku mendongakkan wajahku ke langit,
barangkali ada hujan dan aku tidak menyadarinya. Entah apa yang membuat wajah
lelaki yang selalu mengingatkanku dengan Diar itu kerajinan nampang di depan
pintu rumah. Aku tersenyum kecut sementara matakku sebenarnya tengah
berkeliling barangkali ada Diar, hemm, ini sungguh memalukan, aku masih saja
mengharapkan kedatangan lelaki itu. Sebenarnya apa yang terjadi pada diriku.
Gilakah aku?. Pikiranku yang tadinya mulai beralih dari Diar tiba-tiba
menggempur deras dihujani nama Diar. Diar. Diar. Enough!!, ini terlalu
mengerikan, so, help me my mind, just stop thinking about him I want to get
back to normal.
“Dedes!” Panggil Risky untuk kesekian
kalinya.
“Hem, Risky, Sendirian?” Celetukku
dengan tatapan aneh.
“hamba adalah utusan dari Pangeran Diar
untuk menjemput Putri Dedes dari singgasananya” Papar Risky entah rencana
menyakitkan apalagi yang sedang disusun lelaki itu lewat sahabatnya.
“hidupku akan baik tanpa Diar, ky. Mungkin
lebih baik gue nggak ketemu lagi sama Diar.”
“Ok. Tapi, nanti atau kapanpun itu gue
nggak mau denger penyesalan kalau Tuhan jabar doa loe itu” Tukas Risky dengan
nada santai, namun tatapannya tampak mengancam.
Mana mungkin aku bisa menolak untuk
bertemu pemuda itu. Seribu kali ia menyakitiku seribu kali lipat pula cintaku
akan memaafkannya..
“Risky. Iya, gue ikut!, gue terlanjur
sayang sama Diar,”
“Itu juga yang Diar rasain, percaya sama
gue” Kata Risky mendukung ucapanku.
Aku memakai sweater hitam malam itu.
Angin malam terasa cukup menyakitkan. suhu seperti berada di minus derajat
celcius. Deretan lampu jalanan hampir semua padam. Hanya sorotan dari lampu
motor Risky yang membuat malam itu tampak lebih baik.
Beberapa saat motor Sport Risky
berhenti. Tempat ini begitu kukenal dengan baik. Siang itu Diar membagi
jaketnya denganku karena cuaca siang itu tidak cukup bersahabat. Di situlah aku
mulai menemukan letak kehangatannya. Waktu itu Diar memperlakukanku dengan
sangat baik. Ia tidak membiarkan seekor semut pun menggigitku. Dan itulah Diar
yang kukenal, Diar yang membuat kanvas hidupku penuh warna.
“Di mana Diar, ky?” Tanyaku mulai
khawatir.
“Sabar, nanti juga Pangeran berkuda loe
itu datang”
Kegelisahan hatiku semakin mengacaukan
malam yang semakin larut. Bintang seperti padam. Bulan pun tak jadi keluar.
Langit pun seolah ikut mendukung kegelisahanku. Awan hitam mulai bertandang.
Suara gemuruh petir diikuti oleh sekumpulan titik-titik gerimis memudarkan
harapanku..
“Des yuk kita neduh dulu!!” Ajak Risky
mendahuluiku.
Aku tak bergeming sedikit pun.
Pandanganku kosong. Tak peduli dengan tubuhku yang mulai basah kuyup. Semuanya
terasa beku. Dinginnn sekali…!!!. Sampai aku berdiri kaku tak sempat bergeming
sementara rasa dingin semakin mencengkram tubuh ini.
Melihatku tak bergerak Risky kembali
menghampiriku, mungkin merasa bertanggung jawab pada Diar. Hujan belum lelah
tak berniat mereda. Nada Fur Elise dari ponsel Risky ikut dalam keheningamn
malam itu,
“Diar. Loe di mana…” Tanya Risky
memberiku sedikit harapan. Namun, senyum Risky berubah menjadi senyum sayu yang
jarang dipertontonkannya.
“Apa?, Inna Illahi Wa inna Ilahi
Roji’un”
“Apa?, Kenapa Diar, ky. Dia baik-baik
aja kan, Diar pasti datangkan, ky?” pekikku menghujaninya dengan beberapa
pertanyaan.
“Tuhan begitu baik sama loe, des. Baru
aja doa loe terjabar. Diar pergi”
“Ngga mungkin. Pasti ada kesalahan, Diar
bilang dia akan selalu ada buat gue, Diar akan bilang kalau dia mau pergi, ky”
Pekikku mulai memberontak.
Hujan masih tandang. Risky menyalakan
mesin motornya. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Situasi ini terlalu
menegangkan. Aku hanya bisa menangis di pundak Risky. Jika ini benar-benar
terjadi, bisakah aku hidup tanpa Diar?.. Suara sirine Ambulan mulai terdengar
jelas di telingaku. Suaranya begitu menakutkan. Malam itu di sepanjang Jalan
Benjamin telah dipenuhi gemelut orang. Suara sirine Ambulan pun mulai
menghilang seiring dengan kedatanganku. Aku seperti orang idiot ketika lututku
jatuh di atas permukaan cairan merah yang masih terasa hangat. Pandanganku
tertuju kepada setangkai mawar di sana. Mawar itu masih utuh seakan pemiliknya
masih ada. Dan saat itulah aku baru merasakan kepergian lelaki itu. Kematian
Diar seperti seribu sembilu yang menusuk hatiku. Rasanya begitu perih, sampai
aku ingin mati saja karena tak dapat menahan rasa sakit itu. Mengapa dia harus
datang di hidupku jika akhirnya ia akan pergi juga…?, bukankah lebih baik dari
awal tak usah hadir saja. Di saat terakhirnya pun dia masih begitu egois
meninggalkanku sendiri menjaga cinta kami. Kenapa tak aku saja yang pergi dan
biarkan dia tetap tinggal. Dia hanya perlu hidup dengan baik dan aku akan
bahagia.
Dasar pembohong ulung. Katanya tak kan
pergi sebelum mampu menepati janji. Tapi kini Dia malah pergi. Membawa cinta
kami sampai mati. Rasanya saat itu aku ingin ikut saja bersamanya. Aku takut
dia kedinginan. Aku takut dia kesepian. Aku takut dan sangat takut. Diar Kenapa
semua begitu cepat. Jika kamu tak dapat menepati janji, maka sekarang aku yang
akan menggantikan janji itu. Aku janji akan menjadi satu cintamu yang abadi.
Aku janji akan membawa cintamu kemanapun aku pergi. Aku janji akan menutup hati
ini untuk cinta yang lain. Aku janji, dan pasti akan kutepati Tinggallah dengan
baik di sana, Diar.. Tunggulah aku…!!!, hanya tetap menunggu dan aku pasti akan
segera menghampirimu. Percayalah!!!.
Karena cinta adalah tentang
Kepercayaan…!!
Cerpen yang berjudul "Last Prom Night With My Soulmate" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Dian Setianingsih.
Posting Komentar untuk "Cerpen Sedih - Last Prom Night With My Soulmate | Dian Setianingsih"