Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Cinta - Kemeja Putih | Ahmad Zaini

cerpen cinta
Kemeja Putih - Ahmad Zaini

KakaKiky - Ruang tamu rumahku berantakan. Meja, kursi, vas bunga, serta taplak meja tak beraturan. Meja tamu yang semestinya terletak di tengah tengah kursi, sekarang berada di pojok ruang. Sedangkan kursi-kursinya tidak saling berhadapan. Posisinya sekarang saling bersinggungan. Bunga kertas yang biasanya menghiasi meja kini pun tercerabut dan berserakan di semua penjuru ruang.

Aku tak tahu mengapa ruang tamu rumahku seperti itu. Anakku pagi itu tidak di rumah. Dia berangkat ke sekolah sejak pagi. Istriku biasanya juga belum pulang. Ia masih menunggui anakku yang masih duduk di bangku TK. Lantas siapa yang melakukan semua ini? Dahiku berkerut memikirkan pemandangan yang jelas menyiksa mataku.

Aku kaget saat melihat ke teras luar. Di sana terdapat sepasang sandal istriku. Aku menduga istriku berada di rumah. Aku melangkah masuk ke rumah sambil memanggil-manggil istriku. Namun tidak ada jawaban darinya. Aku mencoba mencarinya ke dalam kamar. Eh, ternyata dia berada dalam kamar sambil tengkurap di ranjang. Aku mendekati dia dan ingin bertanya sebab musabab ruang tamu yang berantakan. Dia diam tak mau berkata. Aku sedikit memaksanya dengan membalikkan tubuhnya yang masih tengkurap untuk meminta penjelasan darinya tentang kejadian di pagi ini.

Rambut istriku acak-acakan. Mukanya cemberut tak beraturan. Matanya lembab bekas air mata yang berleleran. Mukanya merah padam seperti menyimpan amarah yang luar biasa. Mulutnya terkunci sambil membuang muka dariku.

“Ada apa, Dik?” tanyaku kepadanya. Dia diam memematung. Istriku tak menjawab pertanyaanku meskipun hanya sekata. Aku semakin heran dengan sikap istriku. Mengapa dia bersikap demikian?

Suasana dalam kamar senyap. Hening menyelimuti pagi yang semestinya ceria. Seluruh isi kamar diam tak mereaksi sikap dari wanita yang kunikahi sebelas tahun silam. Hatiku berdebar melihat perilaku istriku yang tidak seperti biasanya. Biasanya kalau dalam suasana pagi dan hanya berduaan seperti ini, kata-kata istriku selalu mencair menggodaku. Dia selalu ingin membuat aku tertawa. Akan tetapi, pagi ini entah mengapa semua membeku?

“Dik, bicaralah?” pintaku. Istriku tetap diam seribu bahasa. Dia puasa bicara padaku tanpa alasan yang jelas.

“Baiklah kalau begitu. Saya akan berangkat ke tempat kerja. Saya mendapat tugas keluar kantor untuk mengantar surat penting ke rekan bisnis bosku.”

“Tunggu!” cegahnya sambil melompat dari ranjang menyergapku.

“Mengantar surat penting ke rekan bisnis bosmu atau akan bertemu dengan mantan pacarmu?” tanya istriku dengan nada sinis.

“Apa maksudmu, Dik?”

“Jangan pura-pura tidak mengerti!”

“Aku benar-benar tidak mengerti dengan yang kau maksud, Dik.”

“Haalah! Aku tahu semuanya.” Istriku membuang muka lalu masuk lagi ke dalam kamar.

Aku benar-benar heran mengapa dia bertanya seperti itu. Padahal hari ini aku benar-benar akan mengantar surat penting ke rekan bisnis bosku. Aku tak sedikit pun berhasrat seperti yang dituduhkan istriku kepadaku.

“Jangankan janjian dengan Leni, mantan pacarku, bertemu saja tidak pernah,” gerutuku dalam hati.

Memang benar aku pernah berpacaran dengan Leni, tetapi itu lima belas tahun silam sebelum aku menikah dengan istriku. Leni gadis yang cantik. Lebih cantik daripada istriku sekarang ini. Hanya saja dia pengkhianat. Leni berpacaran dengan pemuda lain. Dia berpacaran denganku hanya untuk pelampiasan saja. Akhirnya, aku memutuskan tali ikatan cinta yang pernah mengikat jiwa kami berdua.

Setelah aku menikah dengan istriku, aku sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Leni. Kenangan-kenangan semasa masih pacaran telah kuhapus dari memori kehidupanku. Kecuali kemeja putih pemberiannya sebagai kenangan dan menjadi syarat utama dia rela kuputuskan cintanya yang harus kusimpan sampai kapan pun. Wajah Leni yang dulu setiap saat selalu kubayangkan, selalu kuimpikan, selalu kulamunkan hingga lisanku selalu melafalkan namanya kini telah sirna dari kehidupanku.

Secara tidak sengaja, ketika aku berwisata dengan istri dan anakku di kawasan wisata Malioboro Jogja, kami bertemu dengannya. Waktu itu dia juga berwisata bersama rekan-rekan kantornya.

“Mas Johan??” sapanya yang bernada tanya.

“Ya, benar,” jawabku.

Tanpa basa-basi wanita yang pernah singgah dalam kehidupanku langsung memeluk diriku sambil bertanya tentang kabarku. Saya menjawab sambil berusaha meronta melepaskan pelukan eratnya.

“Len, lepaskan!” bisikku ke daun telinganya yang juga menempel di pipiku.

Dia baru sadar apa yang telah dilakukan itu bisa menimbulkan prasangka yang tidak-tidak dari istriku. Dengan perlahan dia melepaskan pelukannya kemudian melihat istri dan anakku.

“Maaf, Mbak!” ujar Leni kepada istriku.

Istriku tidak merespon apa yang diucapkan Leni. Mukanya merah membara terbakar api cemburu. Dengan sikap yang dingin, istriku berdiri dari tempat duduk lalu menyeret anaknya menjauh dari tempatku berdiri dengan Leni.

Sepincuk lontong sate yang baru kami makan separo kugeletakkan begitu saja di bangku taman Malioboro. Sambalnya tumpah kubiarkan meleleh di bangku tersebut.

“Maaf, Len, saya harus menyusul istri dan anakku.”

“Tunggu, Mas! Aku masih kangen.”

“Kita bertemu kapan-kapan lagi. Ini kartu namaku.”

Ketika aku akan berlari mengejar istriku, Leni merangkulku lagi. Dia sepertinya masih memendam rasa kangen yang luar biasa kepadaku.

“Sorry, Len!” aku mendorong tubuh Leni hingga terhuyung-huyung menjauh dariku.

Aku menoleh ke arah istri dan anakku, tetapi mereka sudah lenyap di balik ribuan orang yang memadati Malioboro. Aku berlari menyusul mereka dengan menyelinap di sela-sela orang yang berpapasan denganku. Segala tenaga kukerahkan agar aku segera bisa menemukan mereka.

“Awas!” teriak orang-orang di sepanjang trotoar Malioboro.

Aku berhenti mendadak. Sedetik kemudian sebuah andong melaju kencang melintas di depanku. Untung saja aku mendengar teriakan para pengunjung Malioboro. Kalau tidak, tubuhku pasti terpental tertabrak andong yang mengangkut beberapa wisatawan asing tersebut.

Aku menghela napas panjang untuk meredakan kepanikanku. Setelah beberapa saat berhenti, aku melanjutkan pencarian istri dan anakku. Semua gang jalan telah kulintasi. Semua kerumunan orang telah kudekati. Namun, hingga kini aku belum juga menemukan istri dan anakku. Aku berjalan dengan perasaan kacau di sepanjang jalan Maloboro. Alunan musik indah dari para seniman Jogja yang berderet di trotoar menghibur para pengunjung, tak bisa kunikmati. Teriak ibu-ibu yang menawarkan lontong dan sate ayamnya tak kuhiraukan lagi. Aku hanya ingin segera menemukan istri dan anakku yang melarikan diri dari tempat kami menikmati makanan kuliner Malioboro.

Lelah sekali aku mencari mereka. Di sebuah tempat duduk berbahan beton aku duduk menenangkan diri. Aku termenung sambil memikirkan di mana kira-kira mereka berada. Telepon selulerku yang berada di dalam saku celana bergetar. Tangan kananku segera merogohnya. Ternyata sopir pribadiku yang sedang memanggil.

“Tuan Johan, segera ke mobil! Nyonya menangis.”

Setelah mendapat kabar bahwa istriku berada di mobil, perasaanku sangat lega. Namun, ada yang masih mengganjal di hatiku karena istriku dalam keadaan menangis. Aku sudah menduga penyebab dia menangis adalah kejadian itu.

Sesampai di lokasi parkir, aku segera membuka pintu mobil. Aku melihat istriku menangis karena terbakar api cemburu. Andaikan aku berada di posisinya, mungkin aku juga akan merasakan hal yang sama. Aku juga akan cemburu jika orang yang aku cintai dipeluk-peluk orang. Apalagi orang tersebut pernah menjalin cinta.

“Ayo, Pak Jaelani kita berangkat pulang!”

“Baik, Tuan.” Mobil merangkak pelan meninggalkan tempat parkir Malioboro.

Suasana di rumah masih mencekam. Istriku masih marah-marah dengan alasan yang tidak jelas. Dia masih mengejar kejujuranku tentang semua yang dituduhkan kepadaku. Isak tangis masih menyesakkan nafasnya. Mata beningnya masih berlumuran air mata.

“Jawab perntanyaanku, Mas Johan dengan jujur! Apakah, Mas masih mencintai Leni?”

“Kamu ini apa-apaan, Dik? Aku ini suamimu. Wanita yang kucintai di dunia ini hanyalah kamu, istriku.”

“Jangan bohong, Mas. Tadi sewaktu Mas berada di kamar mandi, Leni menghubungimu. Dari mana dia mendapatkan nomor teleponmu?”

Aku segera menjelaskan dari mana Leni mendapatkan nomor teleponku.

“Dia kuberi kartu namaku sewaktu kita bertemu dengannya di Malioboro beberapa waktu yang lalu.”

“Setelah itu, Mas saling menelepon, kan? Jawab, Mas!” tanya istriku sambil menahan isak tangisnya.

“Ya. Dia sering meneleponku. Namun, kami hanya bertanya tentang kabar.”

“Lantas, ini sms siapa yang memanggil Mas dengan kata sayang? Terus ini ada sms lagi kalau hari ini Mas akan bertemu di Restoran Ramayana,” kata istriku sambil menyodorkan telepon seluler itu ke arah wajahku.

Kali ini aku benar-benar tidak berkutik. Barang bukti berupa telepon genggam telah membuat aku mati kutu.

“Maaf, Dik! Kali ini aku mengakui kalau aku bersalah. Memang itu adalah sms dari Leni. Akan tetapi, perlu kamu ketahui bahwa saya sudah menjawab kalau saya tidak bisa bertemu dengannya karena ada tugas dari bosku.”

“Bohong! Mas Johan bohong!” Marah istriku semakin menjadi-jadi. Dia berlari menuju ke dalam kamar. Aku segera mengikutinya. Kulihat istriku membuka almari. Ia mengeluarkan seluruh pakaian dari dalam almari. Satu persatu pakaian yang berada di almari dikeluarkan hingga berserakan di lantai kamar.

“Apa yang kau cari?” tanyaku.

Dia tidak menghiraukan pertanyaanku. Istriku masih membongkar lalu melemparkan seluruh isi almari tersebut.

“Ini, Mas Johan. Kemeja putih kenang-kenangan dari Leni yang membuat Mas tidak bisa melupakannya. Kemeja ini Mas Johan lenyapkan atau aku dan anakku akan pergi dari kehidupan Mas Johan selamanya?”

Pertanyaan yang sulit aku jawab. Kedua pilihan dari pertanyaan istriku merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku dan tak mungkin kupilih salah satunya. Kalau aku memilih membakar kemeja itu, berarti saya akan merasa berdosa selama-lamanya karena itu adalah pemberian dari Leni yang harus kurawat sampai waktu yang tidak terbatas. Jika aku membiarkan kemeja putih tersebut masih tersimpan dalam almari, aku akan kehilangan dua orang yang sangat berrarti dalam hidupku. Mereka selalu mendampingiku dalam suasana suka maupun duka.

“Jangan, Dik! Jangan dibakar kemeja putih ini!”

“Baiklah kalau memang itu pilihan Mas Johan. Kami akan pergi ke rumah orangtuaku,” ucap istriku sambil menyeret lengan anakku.

“Jangan nekat, Dik! Jangan pergi, Dik! Kalian adalah separoh dari nyawaku,” cegahku.

“Kalau begitu, segera lenyapkan kemeja putih ini dari kehidupan kita!” pintanya.

“Baiklah kalau memang itu keinginanmu. Aku akan membakar kemeja putih ini,” sahutku mengalah.

Dengan berat hati aku melangkah ke tempat pembakaran sampah di samping rumah. Selipat kemeja putih yang menyimpan kenangan indah saat aku menjalin kisah asmara bersama Leni, kini diujung kemusnahan. Pahit getirnya pengalaman waktu itu akan segera lenyap bersama hangusnya kemeja putih ini.

“Maafkan aku Len. Saya melakukan ini karena saya tidak ingin keluargaku berantakan,” kataku dalam hati.

Korek api telah menyala. Kemeja putih telah kuangkat sedada. Lidah api yang menjilat-jilat perlahan kudekatkan pada kemeja putih yang penuh dengan kenangan. Jilatan api telah menyentuh ujung kemeja putih. Namun, kemeja itu tidak bisa terbakar. Aku heran. Lazimnya jika kain disentuhkan dengan api, maka api akan melahap habis kain tersebut. Aku mengusap air mata yang sempat menetes di pipiku sambil memastikan apakah kemeja itu sudah terbakar atau belum.

“Aneh. Ini aneh sekali!” kataku heran.

Entah mengapa tiba-tiba dari balik lipatan kemeja putih muncul bayangan wajah Leni. Tampak sekilas wajahnya dipenuhi air mata. Dia terlihat menangis sambil mencegahku agar tidak membakar kemeja putih ini.

Dengan serta merta aku memadamkan api yang menyala dari moncong korek api. Aku tidak jadi membakar kemeja putih yang menyimpan sejuta kenangan. Aku membawa kemeja putih yang sudah kurapikan kembali ke dalam almari. Aku menyimpannya rapi di rak almari yang paling tinggi agar istriku tidak bisa menemukannya lagi.

Bau kain terbakar menyengat dari tempat pembakaran sampah di samping rumah. Ya, kain bekas yang kubakar di tempat itu untuk mengelabui istriku. Asap mengepul kemudian menyelinap lewat celah jendela rumah hingga sampai ke hidung istriku. Raut wajah istriku sudah mulai menampakkan kepuasan. Dia telah mengira kalau kemeja putih yang dianggap menjadi biang keladi percekcokan selama ini telah menjadi abu. Dia pun tersenyum dan meminta maaf kepadaku atas sikap dan perkataannya selama ini.

Cerpen yang berjudul "Kemeja Putih" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Ahmad Zaini. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di @ahmad.zaini.148.

Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Kemeja Putih | Ahmad Zaini"