Cerpen Cinta - Kau Hanya Butuh Motivasi | Fachry Firdaus
Kau Hanya Butuh Motivasi - Fachry Firdaus
KakaKiky - Waahh… Kelas lantai tiga memang yang terbaik. Kau bisa memandang seisi kota dari sini. Angin yang menerobos masuk ruang kelas melalui jendela pun serasa lebih sejuk. Jadi begini rasanya menjadi siswa yang tertua di SMA, tidak terasa sudah dua tahun sejak aku masuk sekolah ini. Sudah saatnya memikirkan masa depan. Yap, setidaknya itulah yang dipikirkan orang-orang selain diriku.
“Ini, Mas, nasi lengkonya, hari ini
mengapa tidak ikut latihan basket, Mas?” ujar Ibu Kantin sambil menyuguhkan
nasi lengko pesananku.
“Oh iya makasih, Bu, kemarin aku ceroboh
dan jariku terkilir,” jawabku.
Sedang enak-enaknya makan sambil melihat
para juniorku yang sedang latihan basket tiba-tiba..
“Beeeppp…” handphoneku berdering.
“Beeeppp…” handphoneku berdering lagi.
“Beeeppp…” handphoneku berdering ketiga
kalinya.
Menyebalkan sekali, ganggu orang sedang
makan saja. Update bersamaan dengan caption yang sama pula membuatku kesal tiap
kali menghapus notifikasinya. Mungkin mereka terlalu senang menyambut semester
baru ini karena hari ini masih tujuh hari setelah semester baru dimulai. Tapi
apa yang membuat semester baru menjadi istimewa? Apa yang membuat tahun ajaran
baru menjadi istimewa? Jawabannya tidak ada. Kau hanya akan mengulang
remidi-remidi ulangan yang akan datang seperti ulangan semester sebelumnya.
Sepiring nasi lengko memang menu makan
siang terbaik. Perut ini rasanya terisi penuh kembali setelah kegiatan belajar
mengajar di kelas yang membosankan. Setelah membayar ke Ibu Kantin aku kembali
ke kelas.
“Oy, Rudi. Kau sedang belajar lagi
rupanya,” ucapku setelah memasuki ruang kelas dan melihat Rudi sedang
mengerjakan soal dari sebuah buku. Sejak kemarin dia melakukan hal ini. Wajar
saja karena ia adalah salah satu orang yang mewakili sekolah untuk olimpiade
biologi tingkat provinsi tahun lalu.
“Yo, Igar, ini tahun terakhir kita loh,”
jawabnya.
“Memangnya kenapa kalau ini tahun
terakhir kita?” tanyaku.
“Sudah saatnya kita berpikir ke depan,”
jawabnya.
Apa yang dikatakan Rudi ada benarnya.
Namun apa yang bisa aku lakukan? Cita-cita pun bahkan aku tak punya. Menjadi
pemain basket profesional? Masuk tim reguler pun tidak, aku malah hanya disuruh
pelatih untuk melatih anggota baru sejak tahun kedua. Aku penasaran ke mana
takdir akan membawaku pergi.
“Mau berbagung denganku?” tanyanya
tiba-tiba.
“Bukannya aku tidak mau, aku hanya akan
mengecewakanmu saja karena aku tidak bisa berkembang,” jawabku.
“Kemampuan manusia tidak sekecil itu
loh,” ujarnya.
“Ya terserah kau saja, aku ingin pulang
sekarang,” balasku sambil berjalan ke pintu kelas.
“Yang kau butuhkan hanyalah motivasi,”
ujarnya.
Namun aku berlalu tidak menjawab.
Sekali lagi perkataan Rudi terngiang di
kepalaku. Ada denganku? Itu bukanlah hal yang bisa aku lakukan. Itu adalah hal
yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bisa berkembang seperti…
“Bruukk!!!” aku menabrak seseorang.
“Aduhh…” suaranya tinggi, ternyata yang
kutabrak adalah seorang gadis.
Kertas-kertas yang ia bawa berserakan ke
mana-mana. Aku pun langsung memungutnya sebagai tanda permintaan maafku. Aku
sekilas melihat wajah menunduk orang yang kutabrak itu yang sedang memungut
kertasnya juga. Lisa, rupanya dia adalah gadis yang tidak sengaja kutabrak ini.
Dia adalah peraih medali perak olimpiade biologi seprovinsi. Dia cukup populer
di kalangan laki-laki kelas tiga. Namun anehnya aku tidak pernah melihatnya dekat
dengan seorang lelaki pun.
“Maaf ya, aku tadi sedang melamun,”
ujarku sambil menyerahkan kertas yang kupungut.
Kemudian ia mengangkat kepalanya dan
wajahnya hanya beberapa senti saja di depanku. Astaga frekuensi jantungku
meningkat, aku takut dia akan marah karena masalah sepele ini. Bisa rumit
urusannya kalau marah karena masalah sepele ini.
“Lain kali hati-hati kalau jalan, dasar
maniak bas…” mukanya memerah saat dan ia langsung mengambil kertas yang kuberi
dan beranjak pergi tanpa meneruskan kalimatnya. Fiuh… Aku selamat.
Sesampainya di rumah aku langsung
berbaring di tempat tidurku melepas rasa lelah usai berjalan kaki dari sekolah
ke rumah. Kalau diingat-ingat kejadian tadi, wajah Lisa lucu juga kalau sedang
malu. Mungkin itu pertama kalinya ia berada di dekat laki-laki sedekat itu.
Ejekannya pun tidak kalah lucu, apa ya tadi? Maniak bas…ket? Pfffttt… Bagaimana
bisa disebut maniak, masuk tim reguler pun tidak. Mengingat-ingatnya membuatku
senyum-senyum tidak karuan.
Keesokan harinya jari tanganku masih
tidak bisa digunakan untuk bermain basket, maka aku putuskan untuk libur
latihan lagi hari ini. Kegiatan belajar mengajar berlangsung membosankan
seperti biasanya. Namun hari ini perutku harus sedikit bersabar karena ada
ulangan dadakan dari seorang guru yang akan pergi menunaikan ibadah haji.
Ulangan harian pertama yang mengerikan
sudah terlewati. Kini saatnya mengisi perutku yang sudah banyak terisi angin. Dari
kejauhan aku melihat Lisa sedang duduk di kantin. Membuatku teringat saja
dengan kejadian kemarin.
“Bu, nasi lengko ya,” ujarku.
“Siap, Mas,” jawab Ibu Kantin.
Ketika aku berbalik menuju meja makan
aku melihat Lisa sudah beranjak pergi dari kantin. Haha, rupanya dia masih malu
atas kejadian kemarin.
“Ini, Mas, nasi lengkonya,” ujar Ibu
Kantin sambil menyuguhkan nasi lengko pesananku.
“Iya terimakasih, Bu,” jawabku.
“Loh Neng Lisa ke mana ya?” tanyanya
heran.
“Sudah pergi, mungkin ke kelasnya,”
jawabku.
“Walah, Neng Lisa belum bayar,” ujarnya
bingung.
Saking malunya dia langsung pergi ketika
melihatku dan lupa membayar makanannya. Hahaha, kejadian sekarang semakin
menambah gelak tawaku dalam hati. Tapi wajah malunya ternyata manis juga. Sial
mengapa jantungku menjadi deg-degan seperti ini. Apa aku tertular perasaan
gugupnya Lisa?
“Belum bayar? Ya sudah nanti jadikan
satu saja dengan pesananku, Bu,” ujarku.
“Mas Igar memang baik ya, seperti yang
dibilang Neng Lisa,” jawabnya.
“Ngaco Ibu ini, kami bahkan tidak pernah
mengobrol,” ujarku.
“Loh? Bukannya kalian itu teman dekat
ya? Soalnya Neng Lisa sering cerita sambil makan di sini tentang Mas Igar
ketika Mas Igar sedang latihan basket,” balas Ibu Kantin.
Aku sama sekali tidak mengerti perkataan
Ibu Kantin. Mengapa? Karena itu sangat bertentangan dengan kenyataan! Bayangkan
saja, aku dan Lisa selama di sekolah ini hanya pernah bertatap muka sebanyak
sekali saja. Mana mungkin dia bisa tahu tentangku. Gara-gara ini aku jadi
kehilangan mood untuk makan dan meminta Ibu Kantin untuk membungkus pesananku,
sementara itu aku pergi ke kelas mengambil tasku.
Seperti biasa, Rudi sedang asyik
mengutak-atik buku di depannya.
“Yo, Igar. Mau bergabung denganku?”
tanya Rudi.
“Bukankah aku sudah bilang padamu kalau
aku ini tidak bisa berkembang? Percuma saja,” balasku.
“Itu tidak benar!” teriak seseorang
gadis di pintu kelas.
Aku terkejut mendengarnya. Lisa,
ternyata pemilik suara itu adalah Lisa.
“Itu kenyataan, pecundang sepertiku bisa
apa? Masuk tim reguler di tahun kedua saja tidak,” balasku.
“Kau terus berlatih sendiri tiap sore di
gudang sekolah ketika kau tidak lolos di tahun pertama. Sampai seleksi di tahun
kedua pun kau terus berlatih. Ketika hari seleksi tahun kedua bahkan kau bolos
di jam terakhir kegiatan belajar mengajar hanya untuk berlatih mempersiapkan
untuk seleksi. Namun saat seleksi kau tidak lolos, mengapa? Apa karena kau
tidak mempunyai cukup skill? Tidak! Itu hanya karena kau datang terlambat!
Bahkan pelatihmu pun tahu dan memutuskan untuk menjadikanmu sebagai
asistennya!” balas Lisa dengan nada tinggi.
“Ini bayaran makan tadi!” tambahnya lagi
sambil menyerahkan sejumlah uang dengan kesal dan langsung pergi.
“Ya ampun terjadi juga,” celetuk Rudi.
Aku terdiam dan pergi meninggalkan ruang
kelas untuk bergegas pulang ke rumah namun tak lupa untuk mengambil pesananku
terlebih dahulu di Ibu Kantin.
Sesampainya di rumah aku membanting
tubuhku merebah di pulau kapuk. Ada banyak hal di pikiranku. Aku terus
memikirkanya hingga malam hari. Neng Lisa sering cerita sambil makan di sini
tentang Mas Igar… Kau terus berlatih sendiri tiap sore di gudang sekolah…
Maniak basket… Dia tahu semuanya, dia tahu yang selama ini aku lakukan. Jadi
selama ini dia memperhatikanku. Perasaan apa ini? Mengapa aku seperti merasa
senang diperhatikan oleh Lisa? Oy oy sadarlah aku hanya orang biasa yang tak
sepadan dengannya. Aarrgghh sial, tidak ada pilihan lain selain ini.
“Halo, Rudi. Aku akan datang ke rumahmu
malam ini!” seruku lewat telepon yang tersambung ke Rudi.
“Hooo.. Jadi apa yang telah membuatmu
berubah pikiran?” tanyanya menggodaku.
“Jangan banyak bicara! Aku akan segera
ke rumahmu!” jawabku kesal.
“Aku tunggu, maniak basket,” ujarnya.
Cerpen yang berjudul "Kau Hanya Butuh Motivasi" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Fachry Firdaus.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Kau Hanya Butuh Motivasi | Fachry Firdaus"