Cerpen Muslim - Saksi Mata Biru | Fais Nawawie
Saksi Mata Biru - Fais Nawawie
KakaKiky - Seorang pemuda terhampar dalam lautan pertempuaran sengit mempertahankan kemerdekaan di kota Surabaya. Kaki, tangan dan dadanya tertembak oleh salah satu pasukan Inggris. Nafasnya mulai tersengal, sekelebat pikirannya mengingat surga yang dirindukan oleh para suhada’, demi Allah ia tak akan pernah menyesal dengan kematiannya. Sedikit penyesalannya hanya kerena ia akan meninggalkan seseorang yang dicintainya sendirian dan meninggalkan para santrinya.
Pesan dari kiai Hasyim Asyari kepada
seluruh warga Indonesia. Menjadikan pegangan prinsipnya. Semua tubuhnya mulai
terasa dingin Apakah akhirnya akan selesai? atau bahkan ini adalah awal. Apakah
kita akan menang? ingin rasanya memastikan. Namun apalah daya, padahal nyawa
ini tinggal sehasta. Mata ini mulai lelah untuk tetap terbuka. Lambat laun,
jendela kehidupan ini mulai menutup, hingga mengintip, sampai semuanya menjadi
gelap.
Cerita bermula di suatu pagi penghujung
tahun 1935. terlihat lalu lalang para penduduk kota yang sedang sibuk
berdagang, pemandangan kota yang indah, penuh dengan bangunan yang kokoh,
menjulang di depan pintu-pintu nan tinggi khas Eropa.
Kehidupan terlihat damai ini, ternyata
tak seindah keadaan rakyat pribumi yang masih dalam jajahan belanda waktu itu.
Hanya orang-orang berkelas dan dari kalangan konglomeratlah yang bisa hidup
tentram. Selebihnya, para penduduk hanya menjadi pelayan dan kaki tangan para petinggi
belanda yang memanfaatkan tenaga mereka.
Matahari baru sepenggalah naik ketika
itu. Dari perempatan jalan kota, terlihat mobil classic keluaran terbaru
citroen C4G 1932. Warna mobil hitam mengkilat, dengan dua lampu sen besar
seperti dua mata katak, di dalam terlihat sepasang suami istri dan juga gadis
kecil berusia lima tahun yang imut dan manis. Memandang ke luar jendela. Sambil
tangannya menunjuk sesuatu. Ia kemudian menoleh ke mamanya.
“Ma…! Lihat orang tua itu, kasihan dia.
Kurus, namun membawa beban yang berat di pundaknya.” Mata si gadis itu
menyipit.
Ibunya pun tertawa mengelus kepala si
gadis.
“Jangan khawatir, Annabeth. Mereka lebih
kuat dibanding kelihatannya. Mereka sudah terbiasa membawa beban berat itu naik
turun kendaraan, bahkan satu di antara mereka, yang paling kurus pun, bisa
mengangkat beban lebih berat dari penjaga gerbang di rumah kita.”
Tak terasa perjalan mulai menjauhi kota
Surabaya, bergerak ke arah timur, mereka mulai memasuki hutan belantara. Mobil
itu dijaga enam opsir belanda yang berkuda.
Matahari semakin tinggi, suhu udara
semakin panas, dalam bayangan tingginya pohon, tetap saja tidak berdaya
terhadap ganasnya panas terik siang itu. Dari balik semak-semak terlihat
seseorang dengan bambu runcing di tangan kanannya. Mengintai mobil berwarna
hitam pekat beserta para penjaganya.
Anna dan ibunya di dalam mobil, dengan
ceria benyanyi-nyanyi lagu kebangsaan belanda, tiba-tiba dari arah jam dua
meluncur busur panah yang tepat menembus salah satu dari opsir belanda.
Keadaan semakin panik disaat puluhan
orang dari semak-semak, keluar dan menyerang para opsir belanda itu, mereka
kalah jumlah dengan para penyamun itu. Mobil berusaha melarikan diri, sedangkan
sebagian dari para penyerang itu ada yang mengejar mobil. Mobil berlari cepat
masuk ke dalam hutan belantara, semua keluarga di dalam pun panik.
Anna hanya bisa berteriak dan memeluk
mamanya, salah satu dari para penyerang itu membidik panah tepat mengenai sopir
mobil tersebut, hingga mobil itu berhenti, dan menabrak pohon besar, dari dalam
mobil, ayah Anna keluar dengan membawa pistol, ia sendirian menembaki
sekelompok perampok itu, namun nasib ayahnya sama dengan opsir-0psir lain, kini
tinggal Anna dan ibunya di dalam, melihat suaminya meninggal penuh dengan anak
panah, ibunya langsung mencengkaram kuat pundak Anna.
“Dengarkan ibu, Anna. Larilah sejauh
mungkin, hiduplah, bawalah kalung dan gelang ini.” Kemudian ibunya keluar dan
mengambil pistol suaminya.
“Mama, mama!” gadis itu berteriak, terus
menangis,
Tangisan gadis kecil itu semakin
menjadi. Ia sudah tidak bisa melihat ibunya dengan jelas. Matanya yang memerah
penuh airmata yang mengalir di pipinya yang merona merah. Tiba-tiba
pandangannya semakin kabur. Perlahan demi perlahan hingga semuanya menjadi
hitam.
Selepas sholat subuh, saat fajar masih
bersujud, para santri yang memenuhi masjid, melantunkan Ayat suci Al-Quran
hingga datang waktu dhuha.
Setelah sholat dhuha berjamaah, sang
kiai turun dari masjid. Ia disambut hangat oleh beberapa warga dan salah satu
pemuda berkopyah hitam mendekati kiai, ia menjelaskan prihal serangan yang
dilakukan para perampok kemarin siang terhadap salah satu kolonel belanda. Ia
juga mengatakan bahwa, ia mendapati salah satu putrinya masih hidup, dan
sekarang dirawat di salah satu rumah warga.
“Terus, apa yang akan kalian lakukan
terhadapnya?” Kiai bertanya dengan nada tenang, memegani tangan pemuda itu,
sambil berjalan beriringan, ia menoleh ke arah pemuda itu.
“Bagaiman kalau kita jadikan tawanan,
kiai?” Ia mencoba mengusulkan.
“Jangan! Bukankah rasulullah selalu
mewanti-wanti para sahabatnya ketika perang agar membiarkan para wanita, anak
kecil dan ahli ibadah, tidak menyakiti mereka, bukankah itu juga yang telah aku
ajarkan kepada kalian.” Kiai menghela nafas, para pemuda hanya mengangguk.
“Terus kita harus bagaimana?” Ia agak
kebingungan.
“Masukkan dia ke pesantren!” Kiai
meyakinkan.
“Mengembalikan ke pihak belanda pun
sangat beresiko bagi kita, salah satunya cara adalah dengan menyembunyikannya,
bukankah dulu para tawanan pasukan islam, malah bisa memahami islam dengan baik
saat mereka hidup bersama orang islam?” Kiai mencoba memahamkan dan
menasehatinya dengan bijak. Pemuda itu hanya mengangguk. Memang sudah biasa
dalam dunia kepesantrenan, seorang kiai selalu menjadi panutan dan perkataannya
adalah harga mutlak bagi para santri-santrinya.
“Jadi apakah kiai serius ingin
memondokkan dia, walau pun belum ada jaminan juga ia akan masuk islam”
“Agama itu pilihan, tak ada paksaan,
Rasulullah hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq dan budi pekerti, hidayah
itu datangnya dari Allah, walaupun ia tetap dengan agama nenek moyangnya, namun
tetap terdidik dan berbudi luhur, minimal ia akan menjadi orang yang baik tidak
seperti penjajah, walaupun kebaikannya hanya sebatas di dunia.” Perkataan
terakhir kiai telah mengakhiri perbincangan mereka berdua di saat sang kiai
sampai di depan rumahnya.
Sepuluh tahun kemudian, pasca
kemerdekaan, 9 November 1945. tepatnya di masjid pondok. Pagi itu para santri
terlihat bersemangat membaca Al-quran, kabar tentang gerakan mempertahankan
kemerdekaan semakin memanas, setelah kematian jendral mallaby pada tanggal 30
okt 1945, besoknya Panglima AFNEI Letjen Philip Christison dengan tegas
mengeluarkan ancaman dan ultimatum, jika para pelaku serangan yang menewaskan
Brigjen Mallaby tidak menyerahkan diri, maka pihaknya akan mengerahkan seluruh
kekuatan militer darat, udara, dan laut untuk membumihanguskan Surabaya.
Di belakang tiang masjid terlihat gadis
putih, dengan pipi kemerah-merahan sedang membaca Al-Quran, semenjak kejadian
suramnya ketika ia melihat kedua orangtuanya tewas di hadapannya. Kini ia
sekarang menjadi anak angkat keluarga kiai, namanya kini adalah Ana ‘Abidah, di
sampingnya duduk seorang ibu angkatnya berpawakan agak gemuk namun berwibawa
bernama Miskiyyah.
Setelah selesai mengaji Al-Quran, para
santri mendengarkan seorang pemuda yang dengan tegas dan jelas menerangkan ilmu
agama di depan mimbar, gadis itu menatap wajah pemuda yang penuh cahaya di
hatinya, tak ada yang tahu apa yang dipikirkan gadis ini, guz Ilzam merupakan
salah satu pengganti kiai yang telah wafat tiga tahun lalu, sekaligus menjadi
kakak angkatnya juga.
Melihatnya berceramah, berkobar-kobar.
Memotivasi para santri dan warga untuk berperang, siap mati untuk mempertahankan
negara NKRI. Ia teringat waktu bertemu dia pertama kali, saat ia baru saja
sadar dari tragedi kematian kedua orangtua, rasanya ingin sekali mengikuti
mereka, aku yang hanya terdiam di kamar melihati kalung perak bulat, berbentuk
lambang matahari dengan ukuran agak besar dan gelang tarbuat dari rajutan
jerami, membuatku mengingat mereka. Aku selalu memukul dan membentak orang
pribumi yang mendekatiku, ingin rasanya aku menyusul mereka, tak mau makan,
bahkan aku sempat membuang nasi tepat di wajah wanita yang kelak menjadi ibu
angkatku.
Namun kenapa hatiku luluh, ketika anak
berusia 12 tahun mendatangiku. Ia tersenyum. Akunya cemberut saat itu.
Kagetnya, ia tiba-tiba menyapaku dengan Bahasa belanda fasih, awalnya aku
kaget. Ia terus merayuku agar makan, namun aku bersikukuh, bahkan ia memilih
tidak makan bersamaku.
“Kenapa kau tidak makan?” Aku bertanya,
polos.
“Karena kau tidak mau makan.” Ia menatap
langit-langit, kemudian menoleh padaku.
“Kenapa kau sangat peduli terhadapku,
kenapa ikut sedih?”
“Bukan hanya aku, semua orang di sini,
peduli terhadapmu, termasuk orang yang membuatkan makan juga. Yang membunuh
orangtuamu adalah seorang penjahat, mereka juga terkadang merampok golongan
kami, jadi, makanlah!” ia mulai menyuapiku. Aku masih enggan. Kurang puas
dengan jawabannya. Lengang sejenak antara kita.
“kenapa? Kalau kau tidak mau makan, aku
juga tidak akan makan, bagiamana aku bisa makan. Apalah arti impianku
menyelamatkan negeri ini, jika aku tidak bisa menyelamatkan nyawa seorang gadis
cantik di depanku.” Terdiam sejenak. Hatiku luluh. Ia Mengingatkanku dengan
kakak kandungku di Belanda, lebih-lebih ia berbahasa belanda, kemudian Ia
kembali terseyum, mencoba menyuapiku.
“Ayo, buka mulutnya” tangannya
menyodorkan sendok.
Aku makan dengan lahap ketika itu, aku
mulai nyaman bersamanya, tak lama setelah itu kiai menjadikanku anak angkatnya,
sering kak Ilzam mengajakku bermain, dan ia juga selalu menggendongku saat
pulang sore.
Pernah suatu hari aku tersesat. Hingga
malam tiba, ketika itu aku sempat membayangkan kak Ilzam yang datang sebagai
kolongwewe, sampai aku menggigit tangannya hingga berdarah. Saat ia memelukku,
ia menyuruhku agar merasakan detak jantungnya, akhirnya aku sadar dan meminta
maaf, ia hanya tersenyum kemudian menggendongku pulang. Hingga saat usiaku
mulai menginjak 9 tahun, barulah ia menjaga jarak. Menjauhi fitnah, karena kami
tidak memiliki hubungan darah. Terlebih, sejujurnya aku sudah mulai jatuh hati
kepadanya.
Tak terasa, ceramah pagi telah selesai,
diluar ada utusan yang mengabarkan perintah langsung dari Hadratussyaikh KH
Hasyim Asy’ari sebagai komando tertinggi Laskar Hizbullah telah
menginstruksikan Laskar Hizbullah dari berbagai penjuru memasuki Surabaya untuk
bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan satu sikap akhir. Menolak
menyerah. Dengan KH Abbas Buntet Cirebon sebagai memimpin langsung komando
pertempuran.
Setelah utusan itu izin pamit, untuk
pergi ke tempat lain. Kak Ilzam langsung mengumpulkan para santri. Ia
berceramah, memberikan semangat, mengobarkan semangat perjuangan.
Bawalah senjata seadanya, yang penting
adalah tekad. Lihatlah dahulu umat islam di perang badar berjumlah 313 bisa
mengalahkan kaum kafir, yang jumlahnya jauh lebih banyak, saat berperang mereka
tak mencari apapun kecuali surga yang telah Allah persiapkan, dan sekarang
surga itu berada di kota ini, siapa yang ingin kenikmatan selamanya? takbir!?”
Berteriak, Sambil mengepalkan tangannya ke angkasa.
“Allahu akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar!” para santri mengepalkan tangan, kerumunan suaranya, memecah ketakutan.
“Takbir!?” Kata Ilzam. Dengan nada lebih
keras.
“Allahu akbar!” gemuruh takbir memenuhi
angkasa pondok pesantren.
Aku yang melihat dari luar, sedikit
merinding melihat sekumpulan santri dan semangat kak Ilzam, sedikit merasa
takut Takut kehilangan, seseorang yang aku gemari semenjak kecil, setelah
sebelumnya gara-gara belanda aku harus kehilangan abah kiai, apakah kak Ilzam
juga?
Malam hari, semua santri bersiap, ada
instruksi dari mas Ilzam sebelum berangkat, agar menyampaikan pesan terakhir
kepada para keluarga, kerabat, bagi yang rumahnya jauh bisa menulis surat, kita
berniat mempertahankan negara ini sampai titik darah penghabisan, dengan
menyisakan dua pilihan merdeka atau syahid.
Mas Ilzam memakai baju serba putih,
membawa keris. Ia keluar dari kamarnya, membenarkan baju yang dipakainya.
“kita hanya bisa berdo’a, semoga ia bisa
kembali dengan selamat.” Ibu mencoba menenagkanku. Kemudian kak Ilzam mendekati
kami.
“Ibu, Adek. Aku telah menulis surat,
bacalah surat ini, jika aku memang tak kembali” tangisanku pun semakin menjadi,
“Aku tak pernah sekali-kali mengharapkan
keselamatan, yang kuharapkan negeri ini bisa bebas dari penjajah, merdeka, atau
aku syahid.” Ilzam terlihat sangat mantap, ibu langsung memeluknya, dengan
kerinduan, aku hanya bisa memegang pundak ibuku, entah kenapa akhirnya aku
memberanikan diri menatap wajahnya. Ia tersenyum.
“Kak, bawalah ini. Entah berguna atau
tidak, tapi paling tidak jika Allah berkenan, kakak harus kembali ke sini,
cita-cita kakak, bukan sampai sini kan?” Aku menyerahkan kalung perak
peninggalan ibuku. Ia mengambil dan berkata.
“Ana, InsyaAllah, aku pasti kembali.” Ia
meletakkan kalung itu di saku bagian atas.
Tepat pada jam 23.00 malam Gubernur
Soerjo mengumumkan melalui radio keputusannya bahwa Surabaya akan melawan
sampai titik darah penghabisan. Akhirnya mereka berangkat.
Puluhan tank, pesawat tempur dan kapal
perang beserta puluhan ribu pasukan militer menyerang Surabaya sejak jam 06
pagi. Ilzam beserta para santri yang mengikuti Pasukan Kiai Abbas berhasil
memaksa pasukan Inggris kocar-kacir dan berhasil menembak jatuh tiga pesawat
tempur RAF Inggris, pertempuran lebih dari 3 minggu ini menelan banyak korban,
salah satunya adalah gus Ilzam, sebagian saksi mengatkan bahwa kakinya
tertembak saat menyelamatkan warga sipil, begitu juga setengah tangan kirinya
terputus, dan yang terakhir saat ia melawan tiga pasukan musuh sekaligus, salah
satu peluru menembus tepat di dadanya, hingga ia terkapar, namun pasca
pertempuran, tak ada satu pun yang menemukan mayatnya.
Tahun 1962, pondok bersejarah ini
menjadi saksi atas kematian para pejuang, terlihat seorang wanita bermata biru,
berkerudung panjang, menuntun dua anaknya untuk mengaji di pesantren.
“ayo, sowan ke Abah dulu, Aisyah,
khodijah!”
Dua bidadari kecil itu langsung
menyalami seseorang yang memakai kursi roda. Setelah keduanya bersalaman, kini
perempuan itu yang mencium tangan lelaki tersebut. Lelaki itu kemudian memegang
kepalanya dan mencium keningnya, terlihat kembang senyum merekah dari wanita
itu. Ia memandang dalam lelaki itu.
“Abah Ilzam, Ana pamit ngantarkan
bidadari kecil kita dulu, ya?” Sambil bangkit dari duduknya, memandang suaminya
penuh cinta. Ia hanya membalas dengan isyarat senyuman.
Di depan gedung pondok yang sekarang
memiliki ribuan santri dan santriwati itu, terdapat figura berisi kalung perak
yang bengkok. Sang mata biru itu menjadi saksi keajaiban kemerdekaan Indonesia.
Cerpen yang berjudul "Saksi Mata Biru" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Fais Nawawie. Kamu dapat mengikuti instagram penulis di @fah1m_ahmad.
Posting Komentar untuk "Cerpen Muslim - Saksi Mata Biru | Fais Nawawie"