Cerpen Horor - Copy And Paste - Who Am I? | Bintang Andini
Copy And Paste, Who Am I? - Bintang Andini
KakaKiky - Kulihat dia mulai berteriak histeris, menangis, meraung seperti induk singa yang kehilangan anaknya. Di tangannya masih menempel beberapa serpihan cermin yang berserakan di lantai tepat di bawah kakinya. Aku langsung menghambur ke dalam kamarku, dan kupeluk adikku dan menariknya keluar dari kamarku. Aku menduga pasti ia tak sengaja menemukan cermin ketika memasuki kamarku.
“Sudah, jangan menangis,” kataku dan
tetap memeluk Narita, adik perempuanku. “Mengapa ada cermin di rumah ini?!”
sembur Narita, mendorongku hingga tubuhku menghantam meja. Teriakan Narita
semakin histeris diiringi tangisannya. Seketika, Narita menjadi liar dan
melempariku dengan barang yang ada di sekitarnya.
Kedua orangtuaku dan saudara kembarku
yang mendengar teriakan histeri Narita tergopoh menghampiri kami yang sedang
berada di lantai dua. “Narita! Anggoro!” Ibu sontak berseru ketika melihat
Narita hendak melempariku dengan bingkai foto keluarga kami. Rafsanjani segera
menarikku dari sana, dan ayah beserta ibu berusaha menenangkan Narita. Ayah dan
ibu segera menyeret Narita ke kamarnya.
Rafsanjani, kembaranku, khawatir melihat
kondisiku yang sedang memar dan kondisi Narita yang semakin mengerikan.
Rafsanjani mengusap kepalaku yang –untungnya– tidak begitu memar sambil
berkata, “Harusnya kamu tidak meletakkan cermin itu sembarangan, Anggoro.”
Aku hanya diam, dan mengangguk pelan.
Teriakan Narita masih terdengar, kata-kata sumpah serapah terdengar di telinga
kami. Bulu kudukku berdiri, begitu pula bulu kuduk Rafsanjani. “Jika Narita
dibawa ke rumah sakit jiwa, bagaimana menurutmu?” tanyaku sekaligus meminta
pendapat. Rafsanjani menatapku sangsi, bahkan alis kanannya naik. Ia menggeleng
cepat, “Itu sama saja menyiksa Narita. Kamu tidak tega kan menyiksa adik kita?
Membawanya ke rumah sakit jiwa itu membuatnya semakin ‘liar’ dan ia seperti terpenjara
di sana,” tolak Rafsanjani tegas.
Otakku mencerna kalimat Rafsanjani, lalu
aku mengangguk setuju. Lagi pula, meski mental Narita terganggu kami tetap
menyayangi Narita.
Sayup-sayup, suara Narita tidak
terdengar lagi dari kamarnya. Aku ingin menemui Narita untuk meminta maaf,
namun Rafsanjani mencegahku. Bukan waktu yang tepat. Napasku mendesah keras,
aku hanya mengangguk perlahan. Lalu, Rafsanjani mengajakku kembali ke kamar
karena kondisi badanku yang memar terkena lemparan dari Narita.
Aku dan Rafsanjani tahu, ibu sudah
memperingatkan seisi rumah untuk tidak meletakkan cermin sembarangan. Bahkan
ibu memilih untuk tidak berdandan dan menjual kembali meja rias yang terdapat
cermin besarnya demi Narita…, dari pada melihat Narita menangis histeris. Jika
Narita memilih, ia akan menghadapi tantangan menceburkan diri ke kawah panas
dibandingkan menatap cermin.
Dulu, hidup kami bertiga tidak begini.
Kami adalah tiga bersaudara yang bahagia. Aku dan Rafsanjani adalah kakak
kembar yang beruntung memiliki adik seperti Narita. Umur Narita 13 tahun,
sedangkan umur kami 17 tahun.
Hidup Narita tidak seperti saat ini.
Hidup Narita dipenuhi mimpi yang biasa hinggap di kepala banyak gadis yang
beranjak remaja, ingin menjadi inilah ingin menjadi itulah. Sebagai anak
bungsu, kedua orangtua kami memberikan segalanya untuk memfasilitasi
mimpi-mimpi Narita. Saat Narita ingin menjadi pemandu sorak, kami tidak segan
mensupport Narita dengan berbagai hal (bahkan aku dan Rafsanjani rela kelelahan
dan demam demi Narita setelah mensupportnya).
Ketika Narita ingin bermain softball,
Rafsanji rela memberikan waktu delapan jam untuk mengajari Narita bermain
softball pada hari Minggu hingga Narita menjadi juara satu bermain softball.
Lalu, ketika Narita akan mengikuti kontes menyanyi, aku rela kehabisan suaraku
demi mengajari Narita hingga ia menyabet juara satu. Narita termasuk gadis yang
beruntung karena semua keinginannya bisa diwujudkan.
Tapi, Narita lebih suka berbicara pada
dirinya sendiri, melalui cermin. Menurut Narita, ia bisa melihat kesempurnaan
seorang Narita. Narita merasa dirinya terbelah menjadi dua, ada Narita yang di
sini, dan ada Narita yang ada di dalam cermin yang seringkali memotivasinya
untuk terus bergerak dan bergerak. Bahkan Narita menganggap cermin sebagai
orang ketiga yang bisa mengatur hidupnya setelah aku dan Rafsanjani.
Yang menyedihkan, Narita tidak percaya
pada kata persahabatan. Narita dengan egoisnya menganggap orang yang berada di
dekatnya adalah orang-orang yang memang ingin berkenalan dengan seorang manusia
yang berkualitas seperti dirinya. Narita memiliki rasa curiga berlebih terhadap
manusia lain, terutama aku dan Rafsanjani. Setelah ia mencoret kata
persahabatan dari hidupnya.
Namun, segalanya berubah. Suatu hari,
November tahun 2015, aku dan Rafsanjani tanpa sengaja menemukan sebuah amplop
hitam yang menempel di cermin kamarnya ketika Narita belum pulang sekolah.
Penasaran, kami segera membawa amplop ini ke kamar dan membaca sebuah surat
yang ada di dalam amplop hitam itu. Betapa terkejutnya kami, seperti ada gunung
meletus, surat itu berisi:
Perhatianku mulai dicuri dan teralihkan
padanya, dia pintar dalam segala bidang… Bahkan dia menguasai satu bidang yang
sangat sulit kupelajari yaitu teater. Perlahan reputasiku menurun sejak pria
yang kubenci ini datang di sekolahku! Pria ini pintar dalam semua hal, tapi dia
bisa menjadi sahabat semua orang, sangat baik hati, ramah, dan yang sangat
kubenci dia begitu baik terhadapku! Cih!
Aku merasa dia sedang menyombongkan
segala kemampuan yang ia miliki padaku. Aku merasa kalah total, Narita yang ada
di dalam cermin! Kau tahu, instingku berkata kalau dibalik kebaikannya pasti ia
punya niat jahat untukku! Akal bulusnya tercium, Narita yang ada di dalam
cermin. Kamu pasti punya rencana yang hebat untuk membuatnya tenggelam dan
hancur! Pasti reputasiku akan naik kembali!
Kamu tahu, Narita yang ada di dalam
cermin, besok ada pementasan teater di sekolaku, dan pria yang menjadi rivalku
menjadi bintang utamanya! Sedangkan aku? Bah! Aku tidak sudi duduk dan
mengamati aksinya yang semakin menurunkan reputasiku. Semua orang antusias pada
acara ini, sedangkan aku? Aku sama sekali tidak peduli!
Narita yang ada di dalam cermin, sahabat
terbaikku, kita sudah berhasil merancang aksi untuk menghancurkan rivalku. Aku
sudah melaksanakannya. Sebelum pentas dilaksanakan kupotong tali lampu yang
menggantung di atas langit-langit panggung, kuhitung dan kukira di mana dia
akan berdiri dan pada menit keberapa dia akan berdiri di sana. Lalu aku juga
menyalin beberapa dokumen diaolog teater. Sedikit membuatnya cacat, hahaha!
Semua ide ini kudapatkan dari kamu,
Narita yang ada di dalam cermin, terima kasih sahabatku!
“Gila! Ini gila!” teriakku pada waktu
itu, sambil meremas kertas itu. “Kita harus mencegah Narita sekarang juga!”
seru Rafsanjani dan segera menarik tanganku. “Sudah terlambat! Pasti dia sudah
menjalankan aksinya!” seruku. Kami mengendarai motor matic masing-masing menuju
sekolah Narita yang lumayan jauh dari rumah kami.
Kami memarkirkan motor dan segera
berlalu masuk ke dalam gedung sekolah Narita pada hari pementasan teater
tersebut. Kami tergopoh mencari Narita ke sana dan ke sini, sampai akhirnya
terdengar teriakan histeris dari sebuah ruangan aula. “Ayo Anggoro!” seru
Rafsanjani bergegas menarik lenganku dan berlari menuju pintu aula.
Terlambat! Kami benar-benar terlambat
pada waktu itu. Pria yang merupakan rival Narita tewas terhantam lampu. Di
antara lautan manusia yang masih histeris, kami berhasil menemukan Narita yang
meringkuk di sudut aula. Narita menangis, memelukku dan Rafsanjani. Segera
tanpa sepengetahuan siapa pun kami membawa Narita pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Narita membanting
pintu kamarnya. “Narita! Narita!” seruku dan Rafsanjani sambil menggedor pintu
kamarnya. PRAAANNG! Terdengar bunyi kaca pecah yang dibanting. “PEMBOHONG!!
PEMBOHOOOONNNGGG!!!!” Narita menjerit histeris.
“Narita!!” aku dan Rafsanjani mendobrak
pintu semakin keras. Pintu terbuka. Narita tersimpuh di lantai, menangis.
Serpihan cermin berserakan di depannya. Aku dan Rafsanjani segera menghampiri
Narita. Kupeluk Narita, dan Rafsanjani membersihkan serpihan cermin itu. “Aku
benci cermin! AKU BENCI CERMIN!!!” Narita meraung, kakinya mengentak-entak,
tubuhnya berontak.
Detik itu juga, Narita membenci cermin.
Beberapa tahun ia mempercayakan segala keputusan atas tingkah lakunya yang
berada di dalam cermin. Narita membiarkan Narita yang ada di dalam cermin terus
berpendapat atas apa yang harus ia lakukan. Narita percaya padanya, namun ia
telah membunuh dirinya langsung, menembak tepat dengan sebuah peluru meluncur
ke dalam otak. Narita sudah menganggap dirinya yang ada di dalam cerminnya
adalah orang lain, bahkan ia sudah anggap sebagai sahabatnya. Seumur hidup
Narita akan terus berada di dalam belenggu penyesalan.
“Narita,” aku mengetuk pintu kamar
Narita pada malam itu. Rafsanjani berdiri di belakangku, menanti reaksi dari
Narita. Rafsanjani mendekat, ikut mengetuk pintu kamar Narita, “Narita, buka
pintunya,” pinta Rafsanjani. Hening. Tidak ada jawaban. Kuputar gagang pintu
kamar Narita. Pintu tidak terkunci, kamar Narita gelap.
“Narita?” panggilku, sambil menekan
saklar lampu kamar.
Tidak.
“Narita!!!” sontak aku dan Rafsanjani
menjerit histeris. Kami menemukan Narita dalam keadaan sekarat. Wajahnya pucat,
matanya nanar, tubuhnya lemas sekali, dan tergeletak di lantai. Di sudut kamar,
ada sosok perempuan yang mirip dengan Narita. Menyeringai jahat, matanya
menatap kami dengan jahat. Dia tertawa, keras.
Segera kami memeluk Narita yang dalam
perbatasan hidup dan mati ini. “Kamu, Narita yang ada di dalam cermin, mengapa
kamu kemari?!” bentakku. Narita yang ada di dalam cermin hanya tertawa
mengerikan. “Pergi sana kamu!!!” bentak Rafsanjani. Seperti pasir, makhluk itu
perlahan menghilang tersapu angin. “Jika kamu ingin adikmu aman maka jangan ada
cermin di rumah ini…” Sayup-sayup terdengar suara makhluk itu.
Narita bernapas tersengal, dan
terbatuk-batuk. Tubuhnya dingin sekali. Matanya menatap kami. “Kak Anggoro…,
Kak Rafsanjani…,” gumamnya pelan, “jangan ada cermin…, karena tadi aku nekat
menatap cermin… tiba-tiba Narita yang ada di dalam cermin muncul…,
mencekikku…,”
Aku dan Rafsanjani segera membawa Narita
keluar dari kamarnya. Malam itu, semua lampu rumah dinyalakan. Tirai-tirai
ditutup. Narita tidur bersama kami, begitu pula esok dan seterusnya. Esok pagi,
aku memecahkan cerminku dan membuangnya jauh-jauh. Copy and paste. Seperti di
laptop, mengkopi file yang asli ke dalam sebuah folder. Sama seperti Narita. Ia
mengkopi dirinya ke dalam cermin, namun kopian dirinya tidak sesuai dengan
aslinya. Itu kopian palsu.
Cerpen yang berjudul "Copy And Paste - Who Am I?" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Bintang Andini.
Posting Komentar untuk "Cerpen Horor - Copy And Paste - Who Am I? | Bintang Andini"