Cerpen Sedih - Pulang | Alfiah Sundara
KakaKiky - Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, kulirik jendela kamarku yang telah terbuka sehingga cahaya matahari membangunkanku. Mungkin si Mbok telah membukanya ketika aku masih terlelap tidur. Seketika aku bangun dari tempat tidurku dan langsung bergegas mandi.
Kutatap bayangan diriku di cermin.
‘Pucat’ ketika aku menatap wajahku sendiri, aku hanya tersenyum tipis seraya
mengoleskan lipgloss pink ke bibirku. Mungkin kini, ada sedikit warna yang
tergambar di wajahku berkat lipgloss ini. Kulirik jam yang terletak di atas
meja riasku, pukul 06.30. Aku langsung berlari menghampiri jendela kamarku, dan
melakukan rutinitas yang setiap hari aku lakukan. Di luar jendela terlihat
anak-anak seumuranku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, kutatapi
anak-anak yang lewat dari atas sampai bawah, aku tersenyum sendiri ketika
membayangkan, aku memakai seragam sekolah seperti mereka juga. Seketika suara
si Mbok membangunkanku dari lamunan.
“Rachel…” sambil membuka pintu kamarku.
“Kenapa Mbok?”
“Ayo sarapan, tuan dan nyonya sudah
menunggu” jelasnya,
Aku langsung menghampirinya lalu
mengikutinya ke ruang makan. Di sana memang sudah ada orangtuaku yang menunggu,
mereka menyunggingkan senyuman kepadaku, aku pun membalasnya.
“Apa kau tidur nyenyak sayang?” tanya
ibuku sambil menyondorkan segelas susu.
“Hmm” aku tersenyum.
“Ayah apa aku boleh minta sesuatu?”
tanyaku.
“Kau ingin apa?” dia membalas bertanya
sambil melahap rotinya.
“Aku ingin berhenti Home Schooling dan
sekolah seperti anak-anak lain” rengekku.
“Sayang, kau ha-”
“Ayah, aku sehat, aku baik-baik saja,
tidak akan ada yang terjadi…” potongku.
“Ayah kumohon, bukankah sebentar lagi
ulang tahunku?”
“Ini yang kumau” Lanjutku.
Terdengar Ayah membuang napas pelan,
menatap kedua lensa mataku dengan tatapan sendunya. Ibu hanya menatap kami
bergantian, matanya menggambarkan semburat kekhawatiran akan jawaban yang
dilontarkan ayahku. Aku terus memohon dalam hati agar permohonanku dikabulkan.
“Ayah akan pikirkan nanti, sekarang ayah
harus berangkat kerja” Balasan yang tidak kuinginkan.
“Jangan lupa minum obat ya” lanjutnya
lagi.
Dia beranjak dari tempat duduknya. Aku
masih lekat menatap ayahku. Dia hanya tersenyum lalu mengusap rambutku lembut.
Aku menatapi punggung ayahku yang beranjak pergi, lalu membuang napas kasar
karena kecewa.
“Ini, minumlah” ibuku memberikanku beberapa
obat dan segelas air putih.
Aku menatap malas obat-obat itu. Ingin
sekali kusingkirkan obat ini dari hadapanku. Bisakah aku tak meminumnya untuk
kali ini saja?. Sudah tujuh tahun aku meminum ini semua, penyakit kanker darah
yang kuderita sejak umurku sembilan tahun, membuat kondisiku seperti ini. Bukan
hanya fisik yang berubah, tapi juga pola kebiasaan hidupku. Aku tidak sebebas
dulu untuk keluar rumah, bahkan ayahku mengambil keputusan untuk pendidikanku
melalui Home Schooling, lebih tepatnya keputusan sepihak, karena itu aku selalu
melihat anak-anak yang bersekolah dari jendela kamarku. Hanya sedikit teman
yang kupunya, bahkan mungkin tidak ada karena mereka melupakanku. Kadang aku
merasa hanya sendiri di antara jutaan manusia yang hidup di kota ini.
“Kenapa belum diminum?” tanya ibuku,
lalu duduk di sebelahku.
Aku menggeleng “Haruskah aku meminumnya
bu?” aku sekedar bertanya.
“Ini pahit, kenapa harus selalu
kumakan?” lanjutku sambil menatap obat yang berada di hadapanku.
Ibuku terdiam, sambil menatap ke arahku.
Aku tahu sebenarnya, jawaban dari pertanyaan bodohku itu, hanya saja kali ini
aku merasa lelah dengan semuanya, aku hanya ingin meluapkannya saja.
Kupalingkan wajahku ke arah ibuku. Matanya sedikit berkaca-kaca. Dia tersenyum
tulus ke arahku.
“Mau ibu buatkan teh manis, supaya tidak
pahit?” dia membelai rambutku dengan tangan hangatnya.
“Tidak usah bu, akan kuminum” ucapku.
Kutelan obat itu satu persatu. Rasa ini
sudah tidak asing lagi di lidahku. Bahkan baunya pun sudah kukenal jelas di
indera penciumanku. Rasa dan bau yang kubenci, namun tetap saja harus
kurasakan.
“Rachel…” teriak ibuku dari luar
kamarku.
“Kenapa bu?” tanyaku saat dia ada di
hadapanku.
“Ada Ibunya Andra di ruang tamu, dia mau
bersilaturahmi, Rachel juga harus menemuinya” Jelas Ibuku.
“Andra? Temen SD ku?” aku berusaha
mengingat namanya.
“Iya, yang dulu suka main ke rumah”
“Sudah, mending temui saja dulu, nanti
juga ingat” Lanjutnya, Ibuku menarik lenganku.
‘Andra’, teman main kecilku dulu sebelum
aku menderita penyakit ini. Dia sangat dekat denganku, tapi dulu. Dan ibunya
pun cukup dekat dengan ibuku.
“Ehh ini Rachel”
“Sudah besar ya sekarang” ucapnya saat
melihatku, aku tersenyum.
“Sudah lama gak bertemu ya tante” sapaku
lalu bersalaman dengannya.
“Iya, gara-gara kalian pindah jadi
jarang bertemu” ucapnya lagi, aku dan ibu tertawa kecil.
“Andranya gak diajak Mir?” tanya Ibuku,
‘Mira’ nama ibu Andra.
“Ada tuh di depan gak mau masuk, malu
katanya” Tante Mira menunjuk ke pintu luar rumahku.
“Kenapa harus malu?”
“Coba deh kamu ajak dia masuk, atau ajak
dia ngobrol di bangku depan supaya dia gak bosan” Ibu menyikutku.
“Iya, sekalian silahturahmi kan sudah lama
gak ketemu” ucap Tante Mira.
Aku mengangguk lalu beranjak keluar
rumah. Ada sedikit keraguan yang menyelimutiku ketika aku melangkah keluar. Apa
dia akan mengingatku?. Tapi aku harus berbuat apa lagi, yang benar saja jika
aku harus menolak suruhan ibuku di depan Tante Mira.
Seorang pria bertubuh tinggi dengan
rambut spikeynya sedang berdiri menyender di sebuah pilar rumahku. Sepertinya
Andra banyak berubah. Aku bermaksud mendekatinya perlahan, tetapi dia
sepertinya sadar akan kehadiranku. Dengan refleks aku menatapnya. Dia
tersenyum, sepertinya dia mengingatku.
‘Dia mengingatku’ Batinku.
“Hai” sapaku sedikit canggung.
“Hai, lama gak bertemu ya” ucapnya,
sedikit tersenyum lebar.
“Iya, sini duduk” ajakku.
“Sekarang kau sekolah dimana?” aku
sedikit bingung untuk menjawabnya.
Aku menggeleng “Aku Home Schooling
sekarang”.
“Kenapa?” Aku semakin bingung untuk
menjawabnya. Kuhela napasku perlahan.
“Aku sakit, Leukimia” aku tersenyum ke
arahnya. Dia menatapku tanpa bersuara. Kurasakan suasana yang menyelimuti kami
semakin menjadi canggung. Aku tahu apa yang sekarang dipikirannya. Kusenderkan
tubuhku ke punggung kursi.
“Rachel, aku-”
“Tidak apa-apa kok, tenang aja”
potongku.
“Kau sendiri sekarang sekolah dimana?”
Aku berusaha mencairkan suasana.
“Di SMA 1” Balasnya
“Dekat dengan rumahku dong” aku
tersenyum sedikit antusias.
“Kau banyak berubah ya” dia menatapku
sambil sedikit menyelidikku.
“Kau juga, sangat banyak” Balas.
Kami larut dalam perbincangan yang
menurutku sangat mengasyikkan. Berbagai topik kami bicarakan. Sampai akhirnya
Tante Mira keluar dari rumah dan mengajak Andra untuk pulang. Tante Mira
berpamitan kepada aku dan ibu.
“Pulang dulu ya” ucap Andra.
“Iya, hati-hati”
“Boleh dong, aku main lagi ke sini” Dia
tersenyum.
Aku hanya mengangguk sambil sedikit
tertawa.
Perlahan mobil yang Andra kendarai
menjauh dari rumahku. Aku tersenyum sendiri mengingat pembicaraanku bersama
Andra. Sampai akhirnya Ibu menyuruhku masuk.
“Ayo masuk na”
“Iya bu” aku mengikuti ibuku masuk ke
rumah.
Dari pertemuan itu, kami menjadi dekat.
Andra bahkan jadi sering mengunjungiku ke rumah untuk sekedar mengobrol atau
mengajakku keluar tak jauh dari rumah, tentu saja harus meminta izin kepada
orangtuaku dulu. Rasa sepi yang tujuh tahun menyelimutiku kini mulai sedikit
terobati.
Suatu hari, aku dan Andra terduduk di
balkon rumahku. Semilir angin malam menerpa wajahku dengan lembut. Aku hanya
tersenyum sambil melihat ke langit malam. Tak kusangka malam ini banyak bintang
yang bertaburan di langit Bandung. Aku menoleh ke arah Andra. Dia hanya menatap
lurus ke depan sambil sesekali memainkan jarinya. Kualihkan pandanganku ke
langit kembali. Sebuah bintang jatuh melintasi langit yang memang tak sengaja
sedang kunikmati.
“Ada bintang jatuh Dra” aku menunjuk ke
arah bintang itu.
“Iya, jarang sekali ya” ucapnya sambil
meminum teh hangat yang memang sudah disiapkan ibuku.
“Kau tidak memohon sesuatu?”
“Apa sih Hel? Itu kan hanya mitos” dia
sedikit tersenyum geli.
“Tapi setidaknya kita coba saja”
“Bagaimana jika ada keajaiban” Lanjutku.
“Baiklah”
Andra menurutiku. Kusebutkan keinginanku
satu persatu di dalam hati. Berharap suatu hari keinginnan ini akan terkabul
sepenuhnya sebelum aku menutup mata selamanya. Suatu keinginan yang mungkin
cukup untuk mengobati rasa hampa selama tujuh tahun di hatiku.
“Memangnya kau ingin apa?” tanya Andra.
“Hanya keinginan kecil, mungkin bisa
dikatakan bodoh” balasku.
“Apa itu?” Aku menatapnya.
“Ada banyak Dra, gak berarti lagi, yakin
mau denger”
“Sebutin aja kali Hel, aku dengerin kok”
“Pertama, aku ingin berdiri di dua
tempat sekaligus”
“Kedua, aku ingin merasakan hujan
membasahiku dan hanya beralaskan rumput”
“Ketiga, aku ingin merasakan bagaimana
sensasi jauh dari rumah dan bermain hanya bersama teman, seperti anak-anak
lain”
“Keempat, aku ingin bersekolah memakai
seragam”
“Dan yang terakhir…” sejenak aku
terdiam. Bersiap untuk mengatakannya
“Apa?” Dia mengernyitkan keningnya.
“Aku ingin ada sebuah ke ajaiban untuk
penyakitku, sehingga aku tidak menjadi beban untuk orang-orang di sekelilingku”
Andra membulatkan matanya. Kurasakan
mataku memanas, tapi masih bisa kutahan supaya air mata tak jatuh membasahi
pipiku. Aku tersenyum ke arahnya. Andra ikut tersnyum, senyuman yang terlihat
sangat tulus.
“Permohonan yang gila kan?” aku
tersenyum pahit. Andra hanya terdiam.
“Ayo, kita wujudkan keinginanmu” ucap
Andra dengan wajahnya yang sedikit melukiskan semangatnya.
“Bisakah itu terwujud?” aku tersenyum.
Dia mengangguk yakin.
Langit yang sedikit mendung, di hari
Minggu Pagi ini. Andra datang dengan membawakanku sebatang cokelat. Tanpa
alasan yang jelas dia ingin berbicara dengan orangtuaku. Dia berkata, aku akan
tahu alasannya nanti.
“Ada apa Andra?” tanya ayahku dengan
ramah.
“Pak, saya mau meminta izin membawa
Rachel keluar, sebentar saja” Aku membulatkan mataku, ketika mendengar alasan
Andra. Ayah dan ibu sama terkejutnya denganku. Apa yang ada dipikiran Andra?.
“Memangnya, mau pergi kemana?” Tanya
ibu.
“Tidak jauh kok bu”
“Andra cuman mau minta anter beli buku saja
sama Rachel” Dia tersnyum.
Agak lama orangtuaku menjawab pertanyaan
Andra. Selama ini belum pernah ada orang yang meminta izin kepada orangtuaku
untuk mengajakku keluar. Aku tersenyum kagum kepada Andra. Dia hanya terdiam
sekarang, menunggu sepatah kata yang keluar dari orangtuaku. Aku tak bisa
berbuat apa-apa, hanya bisa mendengar keputusan dari orangtuaku.
“Baiklah, jangan terlalu lama tapi ya
Dra” ucap ayahku sambil tersenyum.
“Kalau ada apa-apa telepon ibu saja ya
Dra” Lanjut ibuku.
“Tenang bu, Rachel aman kok”
Aku langsung pergi ke kamarku, lalu
berganti baju. Andra sudah menunggu di mobilnya. Dia menyuruhku masuk. Dia
tersenyum ke arahku. Aku hanya mengangkat alisku.
“Kita beneran mau beli buku?” aku bertanya
disela radionya yang menyala. Dia mengecilkan volume radio itu.
“Nggak, kau maunya apa?” dia malah
bertanya balik.
“Aku?” dia mengangguk.
“Apa ya?”
“Emm, terserah deh aku bingung”
lanjutku.
“Oke”
Perlahan mobil yang dikendarai Andra
sampai di parkiran sebuah mall. Aku berpikir mungkin dia benar-benar mengajakku
ke toko buku. Tapi ketika kami mulai masuk dia malah mengajakku ke tempat arena
bermain.
“Kau ingat kan keinginanmu” Aku
mengangguk, lalu tersenyum ke arahnya.
Ketika kami menginjakkan kakiku di arena
bermain. Andra lansung menarik lenganku untuk bermain sebuah permainan basket.
Aku hanya tersenyum dan mengikuti permainannya. Aku kalah dari Andra, dia terus
mengejekku. Aku mendecak sebal sambil berpura-pura marah kepadanya.
“Jangan marah dong” dia menggodaku.
“Maaf deh” lanjutnya.
“Kalau kau mau kumaafkan menangkan
boneka itu” aku menunjuk ke sebuah permainan boneka yang di dalamnya terdapat
sebuah boneka panda yang lucu.
Aku mendorong tubuh Andra ke permainan
itu. Dia memasukkan koinnya. Lalu perlahan dia menggerakkan pencapit di
permainan itu. Beberapa kali dia gagal, tapi entah kenapa dia sangat keras
kepala untuk memenangkan boneka itu. Padahal aku sudah bilang bahwa aku sudah
memaafkannya.
“Andra, sudah yu main yang lain aja aku
bosan” rengekku.
“Andra…” rengekku lagi.
“Baiklah, ayo kita main yang lain” ucapnya
sambil sedikit tertawa.
Kami bermain penuh tawa. Belum pernah
kurasakan itu sebelumnya. Aku merasakan hatiku tidak kosong lagi. Sangat hangat
saat itu. Kurasakan kepalaku sedikit pusing. Aku dengan refleks memegang lengan
Andra, karena tiba-tiba penglihatanku gelap lalu terang kembali.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya. Aku hanya
menatapnya.
“Rachel…” dia memanggilku dengan suara
khawatir
“Kita pulang saja yu” akhirnya aku
bersuara.
Andra mengangguk lalu membantuku untuk
berjalan.
Di perjalanan Andra mengemudi dengan
sedikit cepat, dapat kurasakan semburat kekhawatiran pada dirinya.
“Andra” aku memanggilnya lirih. Dia
sedikit menoleh kepadaku.
“Pelan saja” lanjutku.
“Apa kau baikan?” dia tetap menatap
lurus ke depan.
“Aku sudah lebih baik” dia memperlambat
kecepatannya.
Dia terus menanyakan keadaanku, meskipun
sudah beberapa kali kujawab. Kini Andra memberhentikan mobilnya di tepi jalan.
Aku menatap Andra bingung. Dia keluar dari mobil lalu membukakan pintu mobil
untukku dan membantuku berjalan, tapi aku menolaknya sekarang. Dia menyuruhku
berdiri di sana, lalu melebarkan kakiku sambil menghadap jalan.
“Kau berdiri di dua tempat sekarang”
“Jika kau melangkah kesini kau ada di
Dago dan jika kau melangkah kesana kau bukan lagi di Dago” Lanjutnya.
Dia tersenyum ke arahku. Mataku memanas
tapi kali ini aku tak bisa menahan air mataku untuk jatuh. Aku menunduk supaya
Andra tak melihatnya. Kurasakan tangannya mengangkat kepalaku lalu mengusap air
mata yang mengalir di pipiku dengan lembut. Dia tersenyum ke arahku. Aku membalas
senyumnya di sela tangisku.
Sudah enam hari Andra tidak mengunjungiku
lagi. Terakhir dia mengunjungiku hanya untuk mengatakan bahwa dia akan fokus
untuk UAS dulu, dan berjanji akan mengunjungiku lagi. Kali ini aku merasa
sangat lemah. Aku menatap selang infus yang menempel di lenganku. Aku tersenyum
kecut. Sangat sepi di ruangan ini, hanya ada ibuku yang menemaniku. Suara
ketukan pintu terdengar. Ibuku beranjak dari sofa lalu membuka pintu.
“Eh Mir” ucap Ibuku. Aku menatap sosok
yang datang.
“Hai Rachel, bagaimana keadaannya
sekarang?” dia tersenyum.
“Ini Tante bawain ini” Lanjutnya sambil
menunjukkan sekeranjang buah.
“Terimakasih, baikkan kok tante” ucapku,
aku masih mencari sosok Andra.
“Maaf ya Andra gak bisa ikut, tadi
asalnya mau ikut, cuman dipanggil gurunya ke sekolah lagi” ucapnya, seolah dia
bisa membaca pikiranku.
“Di panggil kenapa memangnya?” Tanya
ibuku sambil memberikan segelas air dan beberapa cemilan kepada Tante Mira.
“Dia menolak study pertukaran pelajaran
ke Australia, aneh kan Rachel?” Tante Mira menatapku
“Iya” ucapku sedikit berpikir.
Aku berusaha untuk duduk menyender,
dibantu ibuku. Ibuku melanjutkan mengobrol dengan Tante Mira. Aku merasa bosan
sekarang, kulirik sekeliling kamar rawatku. Sebuah buku telepon beserta
bolpoint tergeletak di meja dekat ranjang. Tanganku menyambar buku dan bolpoint
itu, dan mulai menulis atau mencoret-coret tak jelas. Terdengar suara ketukan
pintu lagi tapi kali ini pintu itu langsung terbuka. ‘Andra’. Aku langsung
tersenyum ke arahnya.
“Untung ada Andra”
“Ibu dan Tante Mira mau ke lobi dulu
sebentar ya” Aku mengangguk. Mereka keluar kamar rawatku.
“Kau sedang apa?” tanyanya sambil duduk
di kursi samping tempat tidur.
“Coba aku lihat” lanjutnya.
“Cuma coretan kok Dra” aku tidak
memberikan buku itu kepada Andra.
“Ohh”
“Aku bawa ini nih” dia memberikan sebuah
boneka panda yang waktu itu.
“Kau berhasil mendapatkannya” ucapku
antusias sambil memegang boneka itu. Dia mengangguk sambil tersenyum.
“Terimakasih, kau melakukan banyak hal
untukku”
“Ah, apa sih Hel” dia mengelak.
“Oh ya, kau terpilih pertukaran pelajar
kan, kenapa kau menolaknya”
“Itu kesempatan langka loh Andra”
lanjutku.
“Tidak, aku hanya ingin menemanimu
sampai sembuh saja” dia tersenyum.
“Andra tidak usah-”
“Aku tidak mau, pokoknya aku pengen di
sini” dia memotong perkataanku.
“Jangan membujukku untuk pergi ya?”
Kedua lensa cokelatnya menatapku lekat.
“Andra, aku gak mau merusak
kesempatanmu, jadi pergilah…”
“Bahkan mungkin setelah keluar dari
rumah sakit pun mungkin aku masih akan sakit” lanjutku.
“Kau tahu kan aku keras kepala” dia
semakin dalam menatapku.
“Asal kau tahu kesempatan aku sembuh itu
tipis, jangan jadikan aku sebagai beban untukmu Andra”
“Kau, bukan BEBAN untukku” ucapnya
sedikit menekan kata beban lalu pergi keluar kamarku.
Sudah dua minggu aku dirawat di rumah
sakit ini. Tapi sepertinya kondisiku semakin memburuk. Kini selang oksigen pun
ada di hidungku. Sepertinya aku bertengkar lama dengan Andra hanya karena
permasalahan itu. Sejak itu dia tak pernah menjungukku lagi sampai sekarang.
Aku masih memejamkan mataku.
“Jadi kemonya kapan dok?” tanya ibuku.
“Kemoterapi akan dilakukan besok sore,
tapi…” kurasa dokter itu menatap ke arahku berbaring. Aku berpura-pura tidur.
“Tapi, penyakitnya semakin mengganas,
dan sulit untuk ditangani, kita hanya menunggu keajaiban”
Perkataan dokter itu terdengar jelas di
telingaku. Tidak ada suara ibu berbicara. Dapat kutebak ibu pasti sangat syok
mendengar itu. Sama denganku. Kuremas selimut yang kupakai, tapi masih dalam
keadaan mata terpejam. Aku tak sanggup untuk melihat wajah ibuku sekarang.
Kurasakan tangan hangat ibuku memegang tanganku lalu memeluk dan mencium
punggung tanganku. Sedikit basah, kurasa dia menangis. Aku hanya beban untuk
mereka. Terdengar suara seseorang masuk ke kamarku. Aroma parfum yang sangat
kukenal, ‘Ayah’. Semakin tercium parfumnya, dia mengusap rambutku dengan sangat
lembut.
Aku membuka mataku dengan berat. Silau
lampu membuatku sedikit mengerjapkan mataku. Entah kenapa aku sangat lelah
sekarang. Orangtuaku ada di hadapanku sekarang, beserta Andra. Aku tersenyum
lemas ke arahnya. Sedikit sembap ketika aku melihat mata ibuku. Andra menatapku
terdiam.
“Selamat ulang tahun sayang” Ibuku
mencium keningku, air matanya mengalir di wajahnya. Ini hari ulang tahunku?.
“Ayah mendaftarkanmu di sekolah, jadi
cepatlah sembuh” Ayahku mengusap lembut rambutku.
“Terimakasih Ayah”
“Ibu aku…”
“Lelah” ucapku terbata. Ibuku mengangguk
air mata masih terus mengalir di wajahnya. Aku menatap ke arah Andra, aku
berusaha menggambarkan seulas senyum di bibirku, walau sedikit. Matanya
berkaca-kaca menatapku.
“Andra, kau ingat kan saat di balkon,
aku tidak ingin menjadi beban untuk orang lain” suaraku terdengar sangat pelan
dan lemah. Kurasakan penyakit ini semakin menguasai tubuhku, sakit yang kurasakan.
“Pergilah ke Australia, itu permohonanku
di ulang tahunku” ucapku lirih. Dia mengangguk. Aku tersenyum.
“Ibu aku sangat lelah, aku ingin tidur
lima menit saja” ucapku.
“Rachel, Selamat ulang tahun…”
“Cepat sembuhlah, kau ingat kan masih
ada beberapa keinginanmu yang belum terkabulkan” Suara Andra mengisi indera
pendengaranku.
Dia tersenyum sendu ke arahku. Aku ingin
mengatakan sesuatu tapi tenggorokanku terasa tercekat. Kuangkat tanganku
berusaha memegang lengan Andra, tapi aku terlalu lemas.
“Aku… ingin tidur… hanya lima menit”
ucapku lirih bahkan sangat pelan.
Perlahan aku memejamkan mataku. Silau
cahaya lampu itu seketika tergantikan menjadi kegelapan. Sangat lelah.
For my first love
When I’m dreaming of
When I go to bed
When I lay my head upon my pillow
Don’t know what to do
My first love
He thinks that I’m too young
He doesn’t even know
Wish that I coud show what I’m feeling
Cause I’m feeling my first love
Sebuah lirik lagu terdapat di coretan
buku telepon. Ini sudah lebih dari lima menit, bahkan ini sudah berganti bulan,
Rachel tidak menepati janjinya untuk bangun. Bahkan dia mungkin tidak akan
pernah bangun lagi. Masih ada beberapa keinginannya yang belum terpenuhi tapi
dia malah tertidur bersama permohonan-permohonan yang dia bilang bodoh itu. Dia
meninggalkan beberapa kenangan yang mungkin tersimpan rapih di ruang hati Andra
dan orangtuanya. Dia pasti tenang dan bahagia disana.
Cerpen yang berjudul "Pulang" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Alfiah Sundara. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di Alfiah Sundara.
Posting Komentar untuk "Cerpen Sedih - Pulang | Alfiah Sundara"